Sukses

Iran Bantah Jadi Penyebab Penutupan Konsulat AS di Irak

Iran menolak anggapan bahwa negaranya bertanggung jawab atas peningkatan acaman terhadap konsulat Amerika Serikat di kota Basra, Irak.

Liputan6.com, Seoul - Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif pada Minggu 30 September 2018 menolak anggapan bahwa negaranya bertanggung jawab atas peningkatan acaman terhadap konsulat Amerika Serikat di kota Basra, Irak.

"Tentu saja kami punya pengaruh di Irak tapi itu tidak berarti kami mengendalikan orang-orang di Irak, seperti Amerika Serikat tidak mengendalikan orang-orang di negara-negara yang memiliki hubungan baik dengannya," kata Zarif dalam acara "Fareed Zakaria GPS" di CNN, sebagaimana dikutip dari Antara (2/10/2018).

Zarif menambahkan bahwa peringatan baru-baru ini terhadap pemerintah Iran oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan penasihat keamanan nasional Gedung Putih John Bolton adalah langkah yang tidak produktif.

"Tuan Pompeo dan Tuan Bolton, daripada membuat ancaman-ancaman yang tak ada kaitannya dan tidak akan memberikan hasil positif, perlu memperhatikan kebijakan-kebijakan mereka sendiri," kata Zarif.

Amerika Serikat pada Jumat mengumumkan akan secara efektif menutup konsulatnya setelah ada peningkatan ancaman dari Iran dan kelompok militan dukungan Iran, termasuk melalui tembakan roket.

Ketika menjelaskan langkah tersebut, Pompeo kembali memperingatkan bahwa Amerika Serikat akan menganggap Iran bertanggung jawab secara langsung atas serangan apa pun terhadap warga dan sarana-sarana diplomatik AS.

"Sudah saya jelaskan, Iran harus mengerti bahwa Amerika Serikat akan secara cepat dan tepat mengambil tindakan atas serangan-serangan seperti itu," kata Pompeo dalam sebuah pernyataan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Bahram Qasemi mengatakan, Sabtu, penutupan konsulat itu merupakan langkah "yang tidak bisa dibenarkan dan tidak perlu diambil".

Qasemi mengatakan Iran mengecam serangan apa pun terhadap diplomat ataupun kantor diplomatik, menurut laman Kementerian Luar Negeri Iran.

 

* Liputan6.com yang menjadi bagian KapanLagi Youniverse (KLY) bersama Kitabisa.com mengajak Anda untuk peduli korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala. Yuk bantu Sulawesi Tengah bangkit melalui donasi di bawah ini.

 

 

Semoga dukungan Anda dapat meringankan beban saudara-saudara kita akibat gempa dan tsunami Palu di Sulawesi Tengah dan menjadi berkah di kemudian hari kelak.

wajib pakai di semua artikel baru

 

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Presiden Rouhani: Iran Akan Tetap Ada di Suriah

Presiden Hassan Rouhani, dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB mengatakan bahwa Iran akan terus ada di Suriah selama rezim Presiden Bashar al-Assad menginginkannya.

Akan tetapi, keberadaan Iran di Suriah bukan untuk mencari konflik dengan Amerika Serikat yang turut terlibat dalam perseteruan menahun di negara beribu kota Damaskus itu.

Berpidato pada 26 September 2018, Rouhani kembali menegaskan dukungan Iran terhadap rezim Assad dan mengklaim bahwa bantuan Teheran diperlukan untuk membentengi Suriah dari kelompok teror ISIS.

"Kehadiran kami di Suriah akan terus berlanjut selama pemerintah Suriah meminta kehadiran kami," kata Rouhani dalam konferensi pers di New York, seperti dikutip dari surat kabar The Times of Israel, Jumat 28 September.

Lebih lanjut, Rouhani mengatakan, "Kami tidak ingin berperang dengan pasukan AS di manapun di kawasan ini. Kami tidak ingin menyerang mereka dan meningkatkan ketegangan."

"Tapi kami meminta Amerika Serikat untuk mematuhi undang-undang dan menghormati kedaulatan negara," katanya.

Pemerintahan Trump menikmati hubungan dekat dengan saingan regional Iran, Arab Saudi dan Israel, dan telah memperingatkan Teheran bahwa ia mengamati dengan seksama tindakan.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, berbicara pada hari Selasa, bersumpah untuk bertindak "dengan cepat dan tegas" terhadap tindakan Iran yang merusak kepentingan AS di wilayah tersebut.

Merespons komentar Pompeo, Presiden Iran menyindir, "Ketika Menlu AS mengatakan kami akan dimintai pertanggungjawaban, mengapa mereka pergi ke Irak di tempat pertama?" --merujuk pada invasi AS ke Irak pada 2003 yang dikritik keras oleh komunitas internasional.