Liputan6.com, New York - Gempa berkekuatan magnitudo 7,7 yang mengguncang pantai utara Pulau Sulawesi pada 28 September 2018 menyebabkan kerusakan yang luar biasa. Nyaris seluruh rumah yang berada di Palu rata dengan tanah karena terdampak serangkaian gelombang tsunami, yang juga menghancurkan garis pantai.
Aliran lumpur dan tanah menghancurkan beberapa daerah pinggiran di kota yang dihuni oleh (kurang lebih) 300.000 orang.
Operational Land Imager (OLI) milik Landsat 8 (satelit observasi Bumi buatan Amerika yang dibangun oleh NASA dan Survei Geologi Amerika Serikat) menangkap gambar warna alam Palu pada 2 Oktober 2018.
Advertisement
Potret tersebut menampilkan perbedaan lanskap Palu sebelum dan sesudah tsunami. Gambar-gambar dengan warna semu membuat Landsat 8 mudah untuk membedakan antara daerah perkotaan (ungu-kelabu), vegetasi (hijau), dan area tanah menyembul (cokelat dan sawo matang).
Saat wilayah pesisir mengalami kerusakan berat karena tsunami, gambar yang diabadikan satelit NASA itu juga mengungkapkan tiga aliran lumpur besar yang menyebabkan kerusakan parah di daerah padat penduduk.
Getaran yang intens dari gempa bumi mungkin telah memicu pencairan dan penyebaran lateral, proses di mana pasir basah dan lumpur mengambil karakteristik cairan. Proses-proses ini, yang sangat umum terjadi di dekat sungai dan di tanah reklamasi, dapat menghasilkan lumpur yang sifatnya merusak, bahkan di daerah yang relatif datar.
Para ilmuwan terkejut bahwa gempa bumi di Donggala bisa menyebabkan tsunami besar di Palu. Biasanya, tsunami besar terjadi setelah gempa bumi megathrust yang menyebabkan perpindahan vertikal. Tetapi gempa Sulawesi terjadi di sepanjang sesar yang datar, yang artinya perpindahan itu horisontal.
Beberapa ilmuwan NASA menduga bahwa tanah longsor yang terjadi di bawah laut, terguncang akibat gempa sehingga memberikan energi yang memicu tsunami. Selain itu, bentuk Teluk Palu yang sempit dan menyerupai jari tampaknya memperbesar gelombang air laut yang bergerak cepat dan membuatnya lebih berbahaya.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kata LAPAN
Sementara itu, gabungan tim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), ITB, dan AIT Thailand berhasil menghitung lebih dari 5000 bangunan rusak akibat gempa yang terjadi di Palu dan Donggala. Untuk saat ini, tim telah menghitung sebagian wilayah yang terpotret citra satelit.
"Data satelit yang digunakan adalah Satelit Pleiades tanggal 6 Juli 2018 (sebelum gempa) yang diterima oleh Stasiun Bumi LAPAN di Parepare dan tanggal 30 September 2018 (setelah gempa) yang diterima oleh Internasional Disaster Charter," demikian seperti dikutip dari situs web LAPAN, Rabu (3/10/2018).
Metode yang digunakan adalah interpretasi visual dengan membandingkan data citra satelit sebelum dan sesudah gempa.
Hasil perhitungan menunjukkan adanya 418 kerusakan di Kabupaten Donggala dan 2.403 di Palu. Sedang yang kemungkinan rusak adalah 315 di Donggala dan 2.010 di Palu. Data ini kemungkinan akan bertambah banyak, karena belum seluruh wilayah dampak gempa terpotret dari citra satelit.
"Dari total 5.146 bangunan rusak yang terdata, 1.045 bangunan terdapat di Perumnas Balaroa yang amblas dengan luasan sekitar 47,8 hektar. Tim gabungan ini masih terus bekerja dengan data-data satelit lainnya dan terus berkomunikasi dengan komunitas internasional disaster charter,"Â tulis LAPAN.
Advertisement