Sukses

Inggris Tuduh Rusia Perintahkan Banyak Serangan Siber Berbahaya

Inggris menuduh Rusia telah melakukan banyak serangan siber yang merugikan ke berbagai belahan dunia.

Liputan6.com, London - Pemerintah Inggris menuduh intelijen militer Rusia berada di balik serentetan "serangan maya tanpa pandang bulu", yang dilakukan atas perintah Kremlin dari Vladimir Putin, termasuk peretasan di tahun 2016 pada markas Komite Nasional Demokrat AS.

Klaim itu adalah pendahulu dari pengumuman hasil penyelidikan intelijen Inggris, tentang keterlibatan Rusia dalam aksi peracunan agen saraf pada Sergei Skripal, seorang agen ganda, di Salisbury.

Dalam sebuah pernyataan terbaru, Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt, mengatakan Pusat Keamanan Siber ​​Nasional (NCSC) telah menemukan bahwa sejumlah peretas, secara luas diketahui melakukan serangan di seluruh dunia, di bawah perlindungan dinas intelijen GRU Rusia.

Menlu Hunt menambahkan bahwa serangan siber tersebut telah dilakukan dengan persetujuan dan sepengetahuan Kremlin, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Kamis (4/10/2018).

Pemerintah Inggris mengklaim serangan siber terkait dilakukan "dalam pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional, telah memengaruhi warga di sejumlah besar negara, termasuk Rusia, dan telah menghabiskan jutaan dolar dari pendapatan ekonomi nasional".

Kementerian Luar Negeri Inggris mengaitkan enam serangan khusus oleh peretas yang didukung GRU, dan mengidentifikasi 12 nama kode grup peretas sebagai front untuk intelijen Rusia, yakni Fancy Bear, Voodoo Bear, APT28, Sofacy, Pawnstorm, Sednit, CyberCaliphate, Cyber ​​Berku, Aktor BlackEnergy, STRONTIUM, Tsar Tim dan Sandworm.

Pernyataan oleh pemerintah Inggris memenuhi janji yang dibuat oleh Perdana Menteri Theresa May, untuk mengungkap sepenuhnya gangguan GRU di tengah kasus peracunan Skripal, awal tahun ini.

Skripal sendiri telah menjadi anggota GRU sejak 1979, sebelum kemudian membelot ke Inggris.

Pemerintah Inggris disebut bersikap agresif dalam mengidentifikasi dua orang, yang diduga bepergian ke Salisbury untuk meracuni Skripal dan putrinya, Yulia, sebagai agen intelijen Rusia.

Penjelasan resmi Rusia untuk kunjungan dua pria ke Salisbury itu secara luas ditertawakan, mendorong ketegangan di dalam pemerintah Rusia atas penanganan episode yang tidak kompeten.

Dalam pernyataannya, Inggris untuk pertama kalinya mengidentifikasi empat serangan siber sebagai tindakan yang bersumber dari Rusia.

Daftar tudingan itu termasuk serangan pada Oktober 2017 melalui virus BadRabbit, yang membuat sistem teknologi informasi tidak dapat beroperasi, gangguan jaringan kereta bawah tanah di Kiev, dan lain sebagainya.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Tindakan Intelijen Rusia Dinilai Sembrono

Dalam sebuah pernyataan, Menlu Hunt mengatakan: "Serangan siber tidak membahayakan kepentingan keamanan nasional tingkat tinggi, tapi justru berdampak pada kemampuan orang di seluruh dunia untuk menjalani kehidupan sehari-hari."

Tindakan GRU itu sembrono dan tidak pandang bulu, kata Menlu Hunt, menyebut bahwa mereka mencoba melemahkan dan mencampuri pemilihan di negara lain, dan bahkan siap untuk merusak perusahaan dan warga Rusia sendiri.

"Pola perilaku ini menunjukkan keinginan mereka untuk beroperasi tanpa memperhatikan hukum internasional, atau norma-norma yang ditetapkan dan melakukannya dengan perasaan impunitas dan tanpa konsekuensi," kata Menlu Hunt.

Di lain pihak, Profesor Malcolm Chalmers dari lembaga think-thank pertahanan Rusi mengatakan, "Kebanyakan dinas intelijen mencoba untuk mendapatkan keuntungan dengan mencuri rahasia musuh mereka. Tetapi kegiatan GRU jauh melampaui peran spionase (dalam) masa damai saat ini, mengaburkan batas antara perang dan perdamaian."

Peringatan dari Kementerian Luar Negeri Inggris itu datang ketika AS bersiap menawarkan operasi pertahanan siber atas nama NATO, yang beranggotakan 29 negara.

Dalam pidatonya pada Senin malam, mantan penasihat keamanan nasional Inggris Sir Mark Lyall Grant, memperingatkan bahwa serangan siber merupakan salah satu ancaman besar saat ini, bagi kelangsungan tatanan dunia liberal.

Dia mengatakan, 50 persen dari semua perusahaan Inggris telah diserang, dan akibatnya harus menginvestasikan jutaan dolar dalam sistem keamanan siber.