Liputan6.com, Houston - Seorang pria yang didakwa atas pasal menyebarkan kebencian karena membakar sebuah masjid di Negara Bagian Texas dijatuhi vonis 24 tahun 6 bulan penjara oleh pengadilan setempat, kata otoritas di Amerika Serikat pada 18 Oktober 2018.
Menurut pengadilan Texas, aksi Marq Perez (26) yang membakar Victoria Islamic Center (200 kilometer barat daya Houston) pada 28 Januari 2017 didasari oleh rasa benci dan niat jahat, demikian seperti dikutip dari Voice of America, Kamis (18/10/2018).
Dalam pembacaan vonis, hakim John Rainey mengatakan bahwa kejahatan kebencian merupakan "kanker bagi masyarakat kita" dan "sebuah hal yang tidak bisa ditoleransi."
Advertisement
Sementara itu, jaksa berargumen bahwa kejahatan yang dilakukan Perez "jelas-jelas sebuah kasus kejahatan kebencian."
Baca Juga
Di sisi lain, pengacara untuk Perez mengatakan bahwa kliennya tidak menyulut api yang membakar Victoria Islamic Center. Perez beralibi, ia sedang bersama putranya yang baru lahir ketika kebakaran terjadi, menurut laporan surat kabar San Antonio Express-News.
Namun, jaksa punya argumen lain, yang menyebut bahwa Perez memiliki niat untuk melakukan aksi pembakaran dan secara lebih luas meneror komunitas muslim.
Menurut jaksa, sepekan sebelum kebakaran terjadi, Perez menerobos ke Victoria Islamic Center untuk meninjau tempat itu.
Dalam serangan pembakaran, Perez meletakkan kertas di dalam masjid dan membakarnya dengan korek api, kata seorang saksi, menurut penuturan jaksa.
Jaksa juga mengatakan, ketika masjid itu hendak dibangun kembali usai dilalap api, Perez--yang belum terciduk--mengatakan kepada seorang saksi bahwa dia "akan membakarnya lagi jika mereka hendak membangunnya kembali."
Perez ditangkap dan didakwa atas aksi pembakaran masjid Victoria Islamic Center pada Maret 2017. Penangkapan tersebut sehubungan dengan upaya Perez untuk meledakkan sebuah mobil, yang mana ia juga menerima dakwaan terpisah untuk itu, dengan pasal pelanggaran hukum federal dan kepemilikan bahan peledak.
Komunitas muslim dan kelompok hak asasi manusia di Texas memandang aksi Perez sebagai indikasi bertumbuhnya rasa intoleransi terhadap pemeluk Islam di negara bagian itu, dan secara luas, di Amerika Serikat.
Simak video pilihan berikut:
Pasca-Donald Trump Jadi Presiden, 4 Masjid Dibakar dalam 7 Minggu
Pada 7 Januari 2017, Islamic Center di Lake Travis, Austin Texas, terbakar. Dua minggu kemudian, masjid di kawasan Bellevue, Washington, bernasib sama. Insiden itu terjadi setelah Donald Trump menang sebagai Presiden AS.
Dua minggu setelah itu, tepatnya 27 Januari 2017 atau beberapa jam setelah perintah eksekutif anti-imigran dari 7 negara muslim diteken, api menghanguskan masjid di Victoria, Texas.
Pada 24 Februari 2017, api terlihat di gerbang masuk Masjid Daarus Salaam di Tampa, Florida.
Otoritas mengatakan, tiga dari empat kebakaran itu terjadi akibat serangan arson atau disengaja. Sementara investigasi yang dilakukan pemadam kebakaran di Lake Travis pada 7 Januari lalu masih dilakukan. Demikian seperti dikutip dari Buzzfeed, Jumat, 3 Maret 2017.
"Kami tak pernah melihat insiden di mana empat masjid terbakar dalam waktu berdekatan selama tujuh minggu," kata Mark Potok, peneliti senior di Southern Poverty Law Center (SPLC). Lembaga itu yang mengumpulkan data serangan atas nama kebencian di AS.
"Ini adalah bagian dari serangan dramatis kepada muslim," ia melanjutkan.
Kebakaran sejumlah masjid menjadi momok ketakutan bahwa penyebaran kebencian terhadap kelompok minoritas meningkat setelah Trump jadi presiden.
Dalam beberapa minggu, sejumlah ancaman bom menimpa sekolah-sekolah dan rumah ibadah Yahudi. Puncaknya adalah perusakan makam Yahudi di St Louis dua pekan lalu.
Pada Minggu, 26 Februari, sesorang melempar batu ke jendela Masjid Abu Bakr di Denver.
Dua hari setelah inaugurasi Trump, seorang perempuan menghancurkan jendela-jendela Dave Islamic Center di California. Ia juga meninggalkan bacon atau daging asap babi mentah di tiap gagang pintu.
"Jawaban atas pertanyaan mengapa serangan datang bertubi-tubi adalah, kita tak pernah melihat hal itu di masa lalu," ucap Potok lagi.
Sementara itu, Corey Saylor, direktur dari Department to Monitor and Combat Islamophobia di the Council on American-Islamic Relations mengatakan, "Di masa normal, ada satu dua insiden menyerang masjid. Tapi bukan dibakar."
"Saya tak pernah melihat level kekerasan setinggi ini semenjak 2009," lanjutnya.
Jumlah laporkan kejahatan kebencian anti-Islam meningkat sebelum kampanye Presiden AS pada 2016. Menurut laporan Dewan hubungan Amerika-Islam, ada 78 kasus masjid menjadi sasaran, di antaranya pembakaran, vandalisme dan perusakan lainnya pada tahun 2015.
Sebagai perbandingan, pada 2014 hanya 20 insiden serupa.
Sebuah laporan yang dirilis tahun lalu oleh Center for Muslim-Christian Understanding di Georgetown University menemukan pada 2015 ada delapan kasus pembakaran yang menargetkan masjid, atau bisnis dan rumah yang berhubungan dengan Muslim.
Data FBI menunjukkan, jumlah kejahatan kebencian anti-Muslim melonjak sebesar 67 persen pada 2014-2015. Sayangnya, data FBI terkait hal itu untuk 2016 belum tersedia.
Akan tetapi, dalam beberapa bulan terakhir, SPLC melaporkan kenaikan kasus kejahatan kebencian menyusul terpilihnya Trump jadi presiden.
"Kampanye dan kemenangan Donald Trump telah membuat kelompok sayap kanan radikal lebih berani menyerang minoritas tertentu," kata Potok.
"Mereka merasa bahwa pandangan mereka telah dilegitimasi oleh orang yang justru adalah seorang Presiden Amerika Serikat."
Advertisement