Sukses

HEADLINE: Kematian Jamal Khashoggi Ancam Gulingkan Putra Mahkota Arab Saudi?

Jamal Khashoggi kini mungkin lebih 'berbahaya' dibanding saat ia masih hidup. Pembunuhannya yang sadis berpotensi melengserkan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman.

Liputan6.com, Istanbul - Jamal Khashoggi dibungkam secara sadis. Konon, ia dihabisi karena terlalu kritis. Namun, yang tak disadari para algojonya, sang jurnalis yang tewas mungkin lebih 'berbahaya' daripada saat masih hidup.

Kematiannya yang tragis dianggap menghadirkan ancaman nyata pada dua hal yang selalu ia kritisi: Kerajaan Arab Saudi dan khususnya putra mahkota, Mohammed bin Salman (MBS).

Siang itu, Selasa 2 Oktober 2018, menjadi pertemuan terakhir Hatice Chengiz dan Jamal Khashoggi. Keduanya berpisah di depan pagar pembatas. Perempuan Turki itu menanti di luar saat tunangannya memasuki kompleks konsulat Arab Saudi di Istanbul. Untuk mengurus dokumen pernikahan mereka.

Pria 59 tahun tersebut melangkah gagah. Jas hitam yang ia kenakan tak dikancing. Setelah menganggukkan kepala pada penerima tamu, Khashoggi masuk ke gedung konsulat pada pukul 13.14 waktu setempat. Rekaman CCTV yang beredar kali terakhir merekam penampakannya sedang berdiri di depan loket. 

Setelah itu, Khashoggi tak pernah keluar. Ia raib tanpa jejak. Saat pria yang ia cintai tak kunjung muncul, Chengiz segera menghubungi aparat.

"Mereka merampas ragamu dari duniaku. Namun, tawa indahmu abadi dalam jiwaku. Kekasihku #jkhashoggi," tulis Hatice Chengiz Sabtu malam, 20 Oktober 2018, tak lama setelah Arab Saudi mengakui, Khashoggi tewas di dalam gedung konsulat.

Perempuan itu menyertakan salah satu video Khashoggi, kala jurnalis sekaligus analis itu tertawa ketika seekor kucing melompat ke pangkuannya, menginterupsi wawancara yang tengah dilakukan.

Hatice Chengiz kini berada dalam pengawalan aparat Turki. Upaya perlindungan 24 jam/hari disahkan Gubernur Istanbul pada Minggu 21 Oktober 2018.  

Tak diketahui apa persisnya yang terjadi dalam gedung konsulat Arab Saudi di Istanbul saat kejadian. Namun, sejumlah temuan yang didapatkan aparat Turki mengarah pada dugaan, Jamal Khashoggi dihabisi secara tragis. 

Kemunculan tangan kanannya di pusaran pembunuhan membuat Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman dikaitkan dengan kematian bekas orang dekat istana itu.

Konon, pangeran berusia 33 tahun itu bahkan sempat menelepon Khashoggi sebelum ia dihabisi. Oleh pelaku yang diduga 15 agen yang dikirim dari Riyadh. 

"Khashoggi ditahan oleh tim Saudi di dalam gedung konsulat. Kemudian, Pangeran Mohammed bin Salman menghubunginya lewat telepon, berusaha meyakinkan dia untuk kembali ke Riyadh," demikian laporan yang dimuat media pro-Pemerintah Turki Yeni Safak, seperti dikutip dari situs News.com.au, Senin (22/10/2018).

Namun, media Turki itu menambahkan, Khashoggi menolak tawaran sang putra mahkota. Ia khawatir akan ditahan atau bahkan dihabisi jika kembali ke Arab Saudi. "Para algojo kemudian membunuh Khashoggi, segera setelah pembicaraan berakhir." Belum ada keterangan pihak Riyadh maupun aparat yang mengonfirmasi hal tersebut. 

Pembunuhan Khashoggi dilaporkan berlangsung tragis. Mengutip sejumlah sumber aparat Turki, Al Jazeera melaporkan ia dihabisi setelah beberapa menit memasuki gedung konsulat. Pejabat forensik di Departemen Keamanan Umum Arab Saudi, Salah al-Tubaigy konon menjadi pemutilasi. Dengan menggunakan gergaji pemotong tulang (bone saw).

Al-Tubaigy adalah salah satu dari 15 agen yang dikirim ke Istanbul. Ia dilaporkan melakukan tindakan brutal di depan konsul jenderal Mohammed al-Otaibi.

Forensik Turki mencari barang bukti hilangnya jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi di kediaman Konjen Saudi Mohammed al-Otaibi di Istanbul, Rabu (17/10). Khashoggi terlihat memasuki Konsulat Saudi di Istanbul pada 2 Oktober 2018. (AP Photo/Emrah Gurel)

"Operasi itu berlangsung tujuh menit. Tubaigy meminta rekan-rekannya untuk mendengarkan musik sementara dia memutilasi korban," kata sumber. 

Diduga, Khashoggi tidak diinterogasi sebelum dibunuh. Sumber menambahkan bahwa pemerintah Turki memiliki rekaman yang menjadi bukti bahwa Khashoggi dibius dan dipukuli sebelum dihabisi di sebuah meja rapat. 

Instruksi pembunuhan Khashoggi disebut-sebut disampaikan via Skype. Seorang pejabat konon meminta kepalanya.

Aparat Turki kini sedang mencari keberadaan jasad Khashoggi, berdasarkan pelacakan terhadap dua kendaraan milik konsulat Arab Saudi yang menuju dua lokasi terpisah.

Mobil pertama mengarah ke Hutan Belgrad di pinggiran Istanbul. Sementara, lainnya menuju Yalova, kota yang bisa ditempuh satu jam berkendara dari lokasi konsulat. 

Pihak Turki bersumpah akan menguak secara rinci kasus pembunuhan terhadap Jamal Khashoggi. "Mengapa 15 orang ini datang ke sini? Mengapa 18 orang ditangkap? Semua perlu dijelaskan secara rinci," kata Presiden Recep Tayyip Erdogan di depan parlemen.

Rincian pembunuhan Jamal Khashoggi akan dirilis Selasa ini. 

Penyangkalan Arab Saudi

Ungkapan duka cita disampaikan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud untuk keluarga dan kerabat Jamal Khashoggi.

Seperti dikutip dari Arab News, Senin (22/10/2018), Putra Mahkota Mohammed bin Salman bahkan menelepon langsung putra almarhum, Salah Jamal Khashoggi.

Pihak Riyadh bersikukuh, sang putra mahkota tak terkait dengan kematian Khashoggi. Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir mengatakan bahwa pembunuhan jurnalis tersebut adalah sebuah "kesalahan besar" dan bagian dari operasi yang sangat tidak bertanggung jawab.

"Orang-orang yang melakukan ini melakukannya di luar lingkup otoritas mereka," katanya kepada jurnalis Fox News, Bret Baier pada hari Minggu 21 Oktober 2018, seperti dikutip dari CNN, Senin (22/10/2018).

"Jelas ada kesalahan besar yang dibuat, dan apa yang menambah kesalahan itu adalah upaya untuk mencoba menutup-nutupinya. Itu tidak bisa diterima di pemerintahan mana pun."

Pernyataan Menlu Arab Saudi tak bersesuaian dengan klaim sebelumnya. Pada Sabtu 20 Oktober 2018, pihak Riyadh menyebut, Khashoggi tewas di tengah perkelahian dengan  sejumlah orang di gedung konsulat. 

Berdasarkan penyelidikan awal, 18 warga Arab Saudi ditahan untuk diperiksa terkait kasus kematian Khashoggi.

Kerajaan juga memecat deputi kepala intelijen Ahmad al-Assiri dan Saud al-Qahtani, pembantu senior Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Raja Salman juga dilaporkan memerintahkan pembentukan komite kementerian, yang dipimpin oleh putra mahkota, untuk merestrukturisasi dinas intelijen.

Sebelumnya, Arab Saudi sempat membantah laporan aparat Turki yang menyebut Khashoggi hilang di konsulat. 

"Sepemahaman saya, ia masuk dan kemudian keluar setelah beberapa menit atau sejam. Saya tak yakin soal itu. Kami sedang menyelidiki kasus ini lewat kementerian luar negeri untuk mengetahui apa yang terjadi pada saat itu," kata Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman kepada Bloomberg pada Rabu 3 Oktober 2018.

Saat dikonfirmasi apakah Jamal Khashoggi tak ada di dalam gedung konsulat, sang putra mahkota menjawab, "Ya, dia tidak ada di sana."

 

2 dari 3 halaman

Dalih Pembunuhan

Pada hari ketika dilaporkan tewas, penampakan 'Jamal Khashoggi' dilaporkan terlihat di sejumlah titik di Istanbul. Itu bukan sosok asli, melainkan palsu belaka.

Seperti dikutip dari CNN, Senin (22/10/2018), salah satu dari 15 agen yang dikirim Arab Saudi diduga sengaja mengenakan pakaian korban, janggut palsu, dan kaca mata, keluar dari pintu belakang gedung konsulat.

Pria yang sama terlihat di area Blue Mosque atau Masjid Sultan Ahmed beberapa jam kemudian.

Sumber aparat Turki mengungkapkan, pria mirip Khashoggi yang tertangkap kamera video, diidentifikasi sebagai Mustafa al-Madani.

Madani diketahui berusia 57 tahun. Usia, tinggi badan, dan perawakannya mirip Khashoggi.

Sumber pejabat keamanan Turki kepada CNN menyebut, tak perlu ada sosok ganda dalam proses interogasi. "Penilaian kami belum berubah sejak 6 Oktober lalu. Ini adalah pembunuhan terencana dan jasad korban dipindahkan keluar dari konsulat," kata dia. "Pakaian Khashoggi mungkin masih hangat saat dikenakan oleh Madani."

Informasi tersebut membantah klaim pihak Saudi yang menyebut, kematian Jamal Khashogi tak disengaja. Sebuah 'kesalahan'.

Tak hanya keberadaan jenazahnya yang masih misterius. Tanda tanya besar pun muncul, mengapa Khashoggi harus dihabisi secara sadis?

Dr Andrea Galli, analis, kolumnis, penyelidik swasta, sekaligus dosen di University of Lucerne, Swiss berteori bahwa Jamal Khashoggi dianggap berbahaya oleh Arab Saudi.

Bukan karena ia membelot atau mengkritik negara itu, namun, lebih kepada karena ia merupakan salah satu pilar dalam struktur kemapanan monarki Saudi yang dekat dengan lingkaran berkuasa selama beberapa dekade. Ia diduga terlibat dalam operasi intelijen yang disponsori oleh pihak asing untuk menggulingkan putra mahkota.

"Menurut informasi intelijen, beberapa anggota keluarga kerajaan yang asetnya disita secara keseluruhan atau sebagian selama persekusi massal pada November 2017 diketahui telah merencanakan operasi untuk menggulingkan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Menurut sumber, Jamal Khashoggi terlibat dalam konspirasi ini," kata Galli dalam kolom opininya untuk Moderndiplomacy.eu, dikutip pada 22 Oktober 2018.

Hal senada seputar dugaan bahwa Khashoggi merupakan intel asing dan dianggap berbahaya oleh Saudi, juga disampaikan oleh penulis sekaligus pengamat Timur Tengah John R Bradley dalam kolomnya untuk The Spectator.

"Saat Khashoggi bekerja sebagai penasihat untuk duta besar Saudi untuk London dan kemudian Washington, Pangeran Turki Al Faisal --yang juga merupakan Kepala Badan Intelijen Saudi dari 1977-2001, ia banyak bercampur dengan pejabat intelijen Inggris, AS, dan Saudi dalam hal berbagi informasi seputar Osama bin Laden. Singkatnya, ia secara unik mampu memperoleh informasi dalam yang tak ternilai. Saudi, mungkin khawatir Khashoggi telah menjadi aset AS," tulis Bradley.

Sementara itu, Asiem El Difraoui, co-founder dari think-tank Candid Foundation Berlin, yang bertemu Khashoggi untuk pertama kalinya pada beberapa tahun lalu mengatakan kepada surat kabar Jerman Die Welt bahwa sang jurnalis dibunuh bukan semata-mata karena aktivitas jurnalismenya.

Menurut dia, Khashoggi intens mengkritik pemerintahan Arab Saudi di bawah Raja Salman dan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman.

"Saya akan sangat terkejut jika ia dibunuh hanya karena aktivitas jurnalismenya," kata Diafroui kepada Die Welt.

"Saudi sendiri memiliki setengah dari media Arab internasional. Mereka umumnya membangun perisai media yang sangat efektif. Sebagai seorang jurnalis dan aktivis, Khashoggi mungkin sangat menjengkelkan, tetapi tidak ada ancaman nyata."

"Tetapi, Khashoggi tahu banyak hal. Dia bukan hanya pejabat media biasa. Dia adalah salah satu penasihat utama intelijen Saudi dan dikatakan bekerja untuk organisasi itu untuk sementara waktu."

"Khashoggi sangat akrab dengan isu-isu sensitif kerajaan. Dan dia adalah anggota super-elite. Dia mungkin sudah tahu terlalu banyak," kata Diafroui.

Diafroui kemudian menjelaskan hal-hal soal Arab Saudi yang diketahui oleh Jamal Khashoggi dan oleh karenanya, membuat ia menjadi sosok yang 'berbahaya' bagi Saudi. "Seperti keterkaitan Saudi dengan kelompok ekstremisme di masa lampau (Saudi dulu sempat mendukung Ikhwanul Muslimin dan dekat dengan keluarga Bin Laden), konflik internal dan aib di keluarga kerajaan," ujarnya.

Anggota Jurnalis Freelance Indonesia unjuk rasa hilangnya Jamal Khashoggi di depan Kedutaan Besar Arab Saudi, Jakarta, Jumat (19/10). Aksi simpati ini mengecam dugaan pembunuhan terhadap jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi. (Merdeka.com/Imam Buhori)

 

Upaya Menjilat Atasan?

Dugaan lain menyebut, bisa jadi para bawahan sang putra mahkota bekerja atas inisiatif sendiri.  

"Arab Saudi punya kelompok intelijen yang mungkin bergerak atau beroperasi tanpa sepengetahuan Pangeran Bin Salman," kata Teuku Rezasyah, co-founder Centre for Internasional Relations Studies (CIRS) Universitas Padjajaran kepada Liputan6.com, Senin 22 Oktober 2018.

"Kelompok ini, sebagaimana yang ramai dilaporkan Turki tentang tim pembunuh beranggotakan 15 orang, mungkin bergerak untuk melakukan pembunuhan terhadap Khashoggi."

"Mengingat keterangan dari pejabat Saudi --salah satunya Menlu Saudi Adel al-Jubeir-- yang mengatakan bahwa Bin Salman tidak terlibat, mungkin, tim intelijen itu bergerak atas perintah dari pejabat tinggi setingkat eselon."

Kerajaan sendiri diketahui telah memecat Mayor Jenderal Ahmed al-Assiri, deputi direktur Badan Intelijen Arab Saudi (GIP/GID) atas tuduhan mengambil peran sebagai salah satu pengorganisir pembunuhan Jamal Khashoggi.

Assiri dipromosikan tahun lalu ke pekerjaannya saat ini di bidang intelijen, setelah sebelumnya menjadi juru bicara koalisi militer Saudi untuk Perang di Yaman sejak 2015.

Dan, keputusannya untuk turun tangan dalam 'operasi' Khashoggi dilihat sebagai upaya Assiri untuk membuktikan dirinya terhadap komunitas intelijen dan lingkaran pemerintahan Pangeran MBS, kata seorang sumber yang dekat dengan Monarki Saudi, seperti dikutip dari The Strait Times.

Senada, Teuku Rezasyah mengatakan, "Figur atau grup seperti itu mungkin bertindak di luar tugas dan sepengetahuan raja dan putra mahkota. Tujuannya, demi kenaikan pangkat atau keuntungan pribadi."

Perwira Saudi berpangkat rendah mungkin percaya bahwa Jenderal Assiri memberi mereka perintah dengan mengatasnamakan Pangeran MBS, lanjut sumber yang dekat dengan Monarki Saudi, seperti dikutip dari The Strait Times.

Akan tetapi, kabar lain menyebut bahwa sosok Assiri justru dikambinghitamkan menjadi figur yang bertanggung jawab.

The Strait Times melaporkan, sebelum ramai pemberitaan bahwa Khashoggi terbunuh di konsulat Saudi pada 2 Oktober, laporan sumber anonim mengindikasikan penguasa Saudi akan mengatakan bahwa Jenderal Assiri menerima otorisasi lisan dari Pangeran MBS untuk menangkap Khashoggi agar dapat diinterogasi di Arab Saudi. Tapi, otorisasi itu disalahpahami atau melangkahi ketentuan, yang kemudian berujung pada tewasnya Khashoggi.

Apa pengaruhnya bagi Mohammed bin Salman?

"Tentunya ini mencoreng Arab Saudi, terlepas apakah Pangeran MBS terlibat atau tidak. Kalau ada jejak digital yang mengarah ke MBS atau keluarga Saud secara keseluruhan, bisa makin buruk lagi dampaknya," kata Teuku Rezasyah.

"Jika benar MBS tidak terlibat, ia harus mengumumkannya sendiri ke hadapan publik dan mengutuk kejadian itu. Ia mesti bersikap dan menegaskan bahwa penyelidikan akan dilakukan secara benar dan teruji."

3 dari 3 halaman

Putra Mahkota Terancam Turun Takhta?

Pada 21 Juni 2017, Mohammed bin Salman ditunjuk ayahnya sendiri sebagai putra mahkota. Ia menyingkirkan sepupunya sendiri, Pangeran Mohammed bin Nayef yang berusia jauh lebih matang, 57 tahun.

Pangeran yang lahir pada 31 Agustus 1985 itu merupakan putra tertua dari istri ketiga Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud, Fahdah binti Falah bin Sultan.

Pengangkatannya penuh kontroversi. Pada usia 32 tahun ia melompati 36 pangeran lain yang dianggap mampu memerintah Arab Saudi.

Dalam sistem suksesi Arab Saudi, kekuasaan diberikan secara bergiliran antara anak-anak dan keturunan pendiri kerajaan, Raja Abdulaziz atau Ibn Saud sejak kematiannya pada 1953.

Itu mengapa, pemilihan raja Arab Saudi dilakukan dengan mengedepankan primus inter pares alias musyawarah daripada monarki absolut.

Ada yang menyebut bahwa Pangeran Mohammed dipilih sang raja karena ia dianggap sebagai putra favorit ketimbang keponakannya, bin Nayef.

Sebagian yang lain menduga bahwa pemilihan Pangeran Mohammed sebagai putra mahkota dilakukan atas penilaian yang objektif. Kata mereka yang pro, Arab Saudi butuh darah segar untuk perubahan. 

Media Barat menggambarkan sosok Mohammed bin Salman sebagai 'reformis'. Ia akhirnya mengizinkan perempuan mengemudikan mobil di Arab Saudi, mendiversifikasi perekonomi negara di sektor non-minyak dengan proyek raksasa Vision 2030.

Fakta bahwa ia mengobarkan perang di Yaman yang memicu krisis kemanusiaan di negara itu seakan diabaikan. Pun ketika menciduk 11 pangeran, empat menteri yang masih menjabat, dan belasan eks anggota kabinet dengan dalih pemberantasan korupsi pada 2017 lalu.

Namun, kasus pembunuhan Jamal Khashoggi bisa jadi mengakhiri 'bulan madu' sang pangeran dengan pihak Barat.

Presiden AS Donald Trump memegang informasi perlengkapan militer AS yang dijual kepada Arab Saudi dalam pertemuan dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Gedung Putih, Washington, Selasa (20/3). (AP Photo/Evan Vucci)

Anna Sunik, dari GIGA Middle East Institute di Hamburg berpendapat, tak peduli ke mana kasus Khashoggi bermuara, insiden itu telah mencoreng Mohammed bin Salman.

"Sampai sekarang, Mohammed bin Salman, di sebagian besar kalangan di dalam dan terutama di luar kerajaan, dilihat sebagai seorang reformis dan modernis yang melakukan perubahan yang diharapkan. Namun, penculikan atau pembunuhan ini tidak dapat dilihat sebagai prosedur yang sah dari proses reformasi tersebut," kata dia seperti dikutip dari dw.com.

Sementara, Nabeel Khoury, mantan diplomat AS sekaligus peneliti Middle East and National Security di the Chicago Council for Global Affair mengatakan, pembunuhan Khashogi bisa berarti, "Tidak ada lagi yang tersisa dari citra Mohammed bin Salman sebagai seorang pembaharu."

Dia berpendapat, hanya politikus, profesional media, dan lembaga penelitian yang didukung secara finansial oleh pemerintah Saudi yang masih mendukung putra mahkota.

Senator Amerika Serikat, Rand Paul berpendapat senada. "Tak mungkin 15 orang dikirim ke Turki untuk membunuh seorang pembangkang tanpa persetujuan putra mahkota," kata dia seperti dikutip dari Fox News.

Wacana pelengseran Mohammed bin Salman pun mengemuka. Seperti dikutip dari Newsweek, sejarawan Arab Saudi, Madawi al-Rasheed meminta Raja Salman mengganti putranya yang 'bermasalah' dengan sejumlah kandidat.

Sejumlah nama disebut pantas menjabat sebagai putra mahkota, di antaranya, saudara lelaki raja Pangeran Ahmad atau keponakannya Pangeran Pangeran Mutaib bin Abdullah atau Muhammad bin Nayef, yang sebelum dilengserkan adalah calon pewaris takhta.

Koran Prancis Le Figaro, mengutip sumber diplomatik di Paris melaporkan, Raja Salman kemungkinan ingin melengserkan putranya.

Dewan Kesultanan Arab Saudi, otoritas terkait suksesi kerajaan, dikabarkan telah bertemu secara diam-diam untuk menentukan siapa yang akan menggantikan Mohammed bin Salman.

Penggantinya diduga adalah saudara laki-lakinya, Pangeran Khalid bin Salman, yang saat ini menjabat sebagai duta besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat.

Sejauh ini belum ada konfirmasi resmi dari pihak Kerajaan Arab Saudi terkait isu suksesi itu.