Liputan6.com, Brasilia - Kandidat sayap kanan Jair Bolsonaro dikabarkan meraih kemenangan besar dalam pemilihan presiden Brasil tahun ini.
Dari hampir seluruh suara yang dihitung, Bolsonaro memiliki 55 persen suara banding 45 persen milik pesaingnya, Fernando Haddad dari Partai Buruh sayap kiri.
Dikutip dari BBC pada Senin (29/10/2018), Bolsonaro berkampanye dengan janji memberantas korupsi dan menurunkan tingkat kejahatan yang tinggi di Brasil.
Advertisement
Namun, menurut pengamat, kampanye pemilu dinilai sangat memecah-belah. Setiap kubu berpendapat bahwa kemenangan bagi yang lain bisa menghancurkan Brasil.
Kemenangan Bolsonaro merupakan pencapaian baru dalam demokrasi terbesar di Amerika Latin, yang diperintah oleh Partai Buruh sayap kiri selama 13 tahun antara 2003 dan 2016.
Â
Baca Juga
Selama dua tahun terakhir, negara tersebut dipimpin oleh seorang konservatif, Michel Temer, meneruskan pemerintahan Presiden Dilma Rousseff yang tersandung kasus korupsi. Keduanya, menurut berbagai sumber, telah terbukti sangat tidak populer di kalangan rakyat Brasil.
Dengan tingkat persetujuan presiden yang jatuh hingga rekor terendah 2 persen, pemilih berteriak-teriak untuk perubahan, tetapi mereka sangat terbagi tentang kemana perubahan itu harus mengarah.
Kemenangan Bolsonaro atas selisih tipis di atas Hadad, berarti bahwa visi yang diajukan untuk menata kembali hukum, ketertiban, dan nilai-nilai keluarga, akan dijadikan prioritas awal pemerintahannya.
Dalam pidato kemenangannya, Jair Bolsonaro mengatakan pemerintahannya akan menjadi "pembela demokrasi dan konstitusi" Brasil.
Dia menambahkan: "Ini bukan janji pesta, atau kata laki-laki. Ini adalah sumpah di hadapan Tuhan."
Bolsonaro melanjutkan dengan memberi tahu pendukungnya yang bersorak-sorai: "Komitmen yang saya asumsikan dengan orang-orang Brasil adalah untuk menciptakan pemerintahan yang baik, berkomitmen kepada negara dan rakyat. Dan saya jamin bahwa saya akan melakukannya.
"Kami akan mengubah nasib Brasil bersama."
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Risiko Kembali di Bawah Kekuasaan Militer
Di lain pihak, muncul kritik terhadap Bolsonaro yang merupakan mantan kapten tentara, bahwa akan ada "risiko nostalgia" yang akan kembali membawa Brasil berada di bawah kekuasaan militer, dapat mengurangi kebebasan warga dan merusak konstitusi Negeri Samba.
Mereka juga khawatir tentang hak-hak minoritas terkait pernyataan Bolsonaro yang menyiratkan homofobia, rasis, dan misoginis selama kampanye dan sebelumnya.
Lawannya, Fernando Haddad, mengatakan dia memiliki "tanggung jawab untuk bergabung dengan oposisi politik" melawan Bolsonaro, dan berjanji untuk "membela kebebasan dari 45 juta orang" yang memilihnya.
Hadad juga menuntut agar hak-hak mereka yang tidak memilih Bolsonaro dihormati.
Sementara itu, Hadad dilaporkan menang di timur laut Brasil, yang merupakan jantung Partai Buruh dan kubu mantan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, yang tadinya maju sebagai capres, namun dilarang karena dugaan terlibat korupsi.
Advertisement