Liputan6.com, Jakarta - Jatuhnya pesawat Lion Air JT 610, pada 29 Oktober 2018, menyisakan beberapa pertanyaan krusial yang belum terjawab seputar sebab-musabab insiden itu.
Sebelumnya, pesawat itu -- yang membawa 178 penumpang dewasa, 1 penumpang anak-anak dan 2 bayi, juga 2 pilot dan 5 pramugari-- dilaporkan hilang kontak setelah lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta 13 menit setelah lepas landas pada pukul 06.10 WIB.
Kecelakaan itu cukup mengejutkan karena pesawat terbang tersebut merupakan salah satu keluaran terbaru Boeing, tipe Boeing 737 MAX 8 registrasi PK-LQP. Burung besi tersebut baru dikirim dari Seattle --markas Boeing-- ke Indonesia pada Agustus 2018, menurut laporan situs pemantau kedirgantaraan Flight Radar 24.
Advertisement
Baca Juga
Pilot dan kopilot pesawat itu pun memiliki jam terbang yang tergolong senior di dunia 'Papa Kilo', masing-masing mengantongi 6.000 dan 5.000 jam terbang.
Oleh karenanya, faktor 'human error' dan malfungsi pesawat seharusnya bisa dikesampingkan sebagai penyebab kecelakaan. Namun, mengapa Lion Air JT 610 tetap jatuh, meski pesawat itu produk baru dan diterbangkan oleh pilot berpengalaman?
Fakta yang Saat Ini Ada
Sebelum jatuh, pilot dilaporkan menghubungi kontrol lalu-lintas udara di Jakarta untuk meminta izin kembali (return to base), tak lama setelah lepas landas.
Fakta itu memunculkan dugaan kuat bahwa pesawat Boeing 737 MAX 8 penerbangan Lion Air JT 610 mengalami masalah teknis --yang dialami usai pesawat itu menyelesaikan penerbangan kedua dari terakhirnya pada Minggu 28 Oktober 2018 tujuan Denpasar-Jakarta, demikian seperti dikutip dari BBC, Selasa (30/10/2018).
Log teknis yang diperoleh BBCÂ untuk penerbangan kedua dari terakhir pesawat itu menunjukkan bahwa pembacaan kecepatan udara pada instrumen kapten tidak dapat diandalkan, dan pembacaan altitudo pada instrumen pilot dan kopilot mengalami perbedaan.
Kondisi tersebut membuat pilot menyerahkan kontrol pesawat ke kopilot. Usai itu para kru melanjutkan penerbangan mereka dan mendarat dengan selamat di Jakarta pada 28 Oktober 2018.
Lion Air belum mengonfirmasi laporan itu, tetapi hal tersebut mungkin merupakan 'masalah teknis yang belum jelas adanya'. Kendati demikian pimpinan perusahaan Lion Air ketika pesawat itu membenarkan bahwa burung besi tersebut telah 'mengalami masalah' saat terbang dari Denpasar ke Jakarta.
Namun, lebih lanjut CEO Lion Air, Edward Sirait mengatakan bahwa masalah itu "telah diselesaikan sesuai prosedur".
Dia menambahkan bahwa Lion Air saat ini mengoperasikan 11 pesawat dengan model yang sama dan tidak ada rencana untuk "mempensiunkan" seluruh armada usai insiden nahas Lion Air JT 610.
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
Kemungkinan Penyebab: Snags atau 'Ragam Masalah'
Analis aviasi, Gerry Soejatman mengatakan kepada BBC, meski pesawat tua adalah yang paling berisiko tinggi celaka, namun, ada juga pesawat baru yang 'bermasalah' dan meningkatkan risiko insiden.
"Jika itu sangat baru, kadang-kadang ada ragam masalah (snags) yang hanya menampakkan diri setelah mereka digunakan secara rutin," katanya. "Itu biasanya bisa disortir (dalam) tiga bulan pertama."
Dalam istilah dunia kedirgantaraan, snags adalah ragam masalah yang dirasakan oleh pilot dan kopilot saat menerbangkan pesawat. Ragam masalah itu, sesuai namanya, bermacam-macam dengan tingkat keseriusan yang berbeda-beda, seperti 'getaran aneh di kokpit', 'suara mesin yang tak wajar', dan lain sebagainya.
Snags yang dirasakan pilot dan kopilot saat menerbangkan pesawat kemudian dicatat dalam 'log book' atau catatan penerbangan. Usai melakukan penerbangan, 'log book' itu kemudian diserahkan kepada teknisi maskapai agar mereka bisa menyelesaikan masalah yang dirasakan pilot saat terbang.
Analis lain, Jon Ostrower dari majalah penerbangan ternama The Air Current mengatakan, "selalu ada masalah, termasuk pesawat baru ... itu biasa, tetapi (pada pesawat baru) masalah itu jauh dari sesuatu yang akan mengancam keselamatan sebuah pesawat terbang".
Dia menambahkan bahwa pesawat baru umumnya "menikmati liburan pemeliharaan karena semuanya sangat baru, bukan sebaliknya".
Kedua analis mengatakan masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan pasti tentang apa yang salah dengan Penerbangan JT 610.
"Saya tidak tahu apa yang akan membuat pesawat baru ini mengalami kecelakaan," kata Ostrower kepada BBC. "Ada banyak faktor berbeda yang dapat menyebabkan kecelakaan seperti ini."
Sementara Gerry Soejatman mengatakan dia percaya mungkin ada masalah teknis yang menjadi penyebab kecelakaan, tetapi, "masih sangat dini untuk menyimpulkan".
"Kami benar-benar dapat hanya menentukan penyebabnya ketika kami mendapatkan lebih banyak informasi," katanya.
Sedangkan pakar lain percaya bahwa faktor-faktor seperti kesalahan manusia atau pengawasan air traffic yang buruk mungkin berada di balik tragedi Lion Air JT 610.
Menurut Boeing, seri 737 MAX adalah pesawat dengan penjualan tercepat dalam sejarahnya, dan telah mengumpulkan hampir 4.700 pesanan. Seri MAX 8 telah dipesan oleh berbagai maskapai penerbangan termasuk American Airlines, United Airlines, Norwegia, dan FlyDubai.
Advertisement