Sukses

LGBT di Tanzania Diburu Pasukan Khusus

Komunitas LGBT di Tanzania bersembunyi dan takut setelah seorang pejabat senior menggelar operasi penangkapan massal.

Liputan6.com, Dar es Salaam - Komunitas LGBT di Tanzania bersembunyi dan takut akan keselamatan mereka, setelah seorang pejabat senior menyerukan kepada publik untuk melaporkan orang-orang yang dicurigai sebagai bagian dari kelompok itu, sehingga, aparat dapat mulai melakukan penangkapan pada awal pekan depan.

Paul Makonda, komisaris regional (gubernur) Ibu Kota Dar es Salaam, mengumumkan tindakan keras itu pada Senin 29 Oktober 2018, dengan mengatakan bahwa "sebuah tim akan dibentuk untuk mengidentifikasi dan menangkap banyak homoseksual," demikian seperti dikutip dari media Irlandia RTE.ie, Sabtu (3/11/2018).

Paul Makonda mengatakan pada konferensi pers pada hari Selasa 30 Oktober bahwa dia telah menerima lebih dari 5.700 laporan dari publik yang menyebut lebih dari 100 nama yang diduga gay.

Makonda juga membentuk 'Komite 17', tim yang akan ditugaskan untuk mengidentifikasi orang gay di situs media sosial --seperti Facebook dan Twitter-- untuk kemudian menangkap mereka.

Di Tanzania, homoseksual bisa menghadapi ancaman maksimal 30 tahun penjara.

Pengumuman Makonda telah memicu kepanikan dan ketakutan di antara ribuan orang LGBT di negara Afrika timur itu. Beberapa mengatakan bahwa mereka terlalu takut untuk pergi keluar pada siang hari, sementara yang lain memilih nomaden karena khawatir akan ditangkap.

"Sejak hari Senin, saya telah meninggalkan rumah saya dan berpindah ke sana kemari. Saya selalu melihat ke belakang jika sedang berjalan," kata Nathan (24) kepada Reuters melalui telepon dari Dar es Salaam.

"Ada begitu banyak ketegangan dalam komunitas gay saat ini. Tidak hanya di Dar, tetapi di seluruh negeri. Kami benar-benar takut. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan dan ke mana harus pergi."

Meskipun tindakan keras itu akan dimulai pada hari Senin 5 November 2018, Nathan mengklaim bahwa rumah-rumah sudah digerebek di kota pelabuhan dan orang-orang gay ditangkap.

Kelompok kampanye Equality Now mengatakan bahwa mereka terkejut dan khawatir dengan tindakan keras itu --yang juga menargetkan pekerja seks. Ia meminta pemerintah federal untuk mengutuk pernyataan Makonda dan memberlakukan hukum dan kebijakan untuk melindungi hak semua orang.

"Orang-orang LGBT dan prostitusi sudah sering dikucilkan dan menghadapi berbagai kekerasan dan ketidaksetaraan," kata Tsitsi Matekaire dari Equality Now.

"Penangkapan terhadap mereka melanggengkan ketidaksetaraan itu, mengakibatkan marjinalisasi lebih lanjut dan kerusakan pada kesejahteraan mereka."

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Kekerasan terhadap LGBT di Tanzania Meningkat

Negara-negara Afrika memiliki beberapa hukum era kolonial yang melarang homoseksual. Hubungan sesama jenis dipandang sebagai tabu dan merupakan kejahatan di sebagian besar benua, dengan hukuman mulai dari penjara sampai mati.

Salah satu yang menerapkan hukum semacam itu adalah Tanzania, tetapi, sejak 2016, peraturan tersebut tak lagi ditegakkan. Meluasnya desakan komunitas internasional kepada Tanzania agar tak memberlakukan hukum itu pun membuat negara tersebut memiliki reputasi untuk menjadi lebih toleran daripada tetangganya Uganda.

Tetapi baru-baru ini, homophobia, serangan serta penangkapan pada orang-orang lesbian, gay, biseksual dan transgender telah meningkat sejak pemilihan Presiden John Magufuli pada tahun 2015, kata para aktivis kemanusiaan. Pada Juni tahun lalu, Presiden Magufuli juga mengatakan bahwa "bahkan sapi" tidak menyetujui homoseksualitas.

Akibatnya, penganiayaan, diskriminasi, dan eksploitasi minoritas seksual di Afrika menjadi sangat parah, kata para aktivis. Perlindungan, representasi dan kebebasan yang dimiliki orang LGBT juga sedang terkikis perlahan.

Organisasi masyarakat sipil yang mendukung orang gay telah ditutup dan aktivis telah ditangkap. Pihak berwenang juga menangguhkan program pencegahan HIV/AIDS untuk pria gay.

Kini, komunitas LGBT di Tanzania meminta pertolongan komunitas internasional agar dapat menekan pemerintah untuk meninggalkan kampanye anti-gay. Mereka juga memanggil PBB untuk melindungi mereka dengan memberi mereka keamanan di negara lain.

"Saya belum meninggalkan rumah sejak empat hari terakhir (usai pengumuman Makonda). Saya takut setengah mati," kata pekerja seks berusia 19 tahun Michael, melalui telepon dari kota Arusha di timur laut.

"Kami tidak punya siapa-siapa untuk melindungi kami. Kami meminta PBB dan negara-negara lain untuk membantu kami pergi ke tempat lain di mana kami tidak harus bersembunyi dalam ketakutan."