Liputan6.com, Teheran - Hari ini, Senin 5 November, Amerika Serikat (AS) akan mengeluarkan sanksi "terberatnya" terhadap Iran, menyusul gelombang protes di negara kaya minyak itu.
Pemerintahan Donald Trump mengembalikan semua sanksi yang dihapus berdasarkan perjanjian nuklir tahun 2015, dengan menargetkan Iran dan negara-negara yang berdagang dengannya.
Sanksi ini, menurut para pengamat, akan berdampak buruk pada ekspor minyak, pengiriman uang dan aktivitas perbankan, di mana ketiganya merupakan bagian inti dari perekonomian Iran.
Advertisement
Dikutip dari BBC pada Senin (5/11/2018), ribuan orang Iran berkumpul meneriakkan "Death to America" --Amerika terkutuk-- pada Minggu 4 November, menolak seruan untuk melakukan pembicaraan terkait rencana sanksi AS.
Militer Iran juga dilaporkan akan mengadakan latihan udara pada hari Senin dan Selasa untuk membuktikan kemampuan pertahanan negara itu.
Demonstrasi berlangsung pada peringatan ke-39 tahun pendudukan kedutaan AS di Teheran, yang menyebabkan empat dekade permusuhan di antara keduanya.
Baca Juga
Washington kembali memberlakukan sanksi pada Teheran, setelah pada bulan Mei, Donald Trump menarik diri dari kesepakatan 2015 yang ditujukan untuk membatasi ambisi nuklir Iran.
Washington juga mengatakan ingin menghentikan apa yang disebutnya sebagai kegiatan "memfitnah" oleh Teheran, termasuk serangan dunia maya, uji coba rudal balistik, serta dukungan untuk kelompok teror dan milisi di Timur Tengah.
"Kami bekerja keras untuk mendukung (kebebasan) rakyat Iran, dan memastikan bahwa perilaku buruk Republik Islam Iran berubah," kata Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, kepada Fox News Sunday.
"Itulah tujuannya, itulah misinya, dan itulah yang akan kami raih atas nama presiden."
AS telah secara bertahap memberlakukan kembali sanksi, tetapi para analis mengatakan putaran terakhir ini adalah yang paling signifikan.
Lebih dari 700 individu, entitas, kapal dan pesawat akan dimasukkan dalam daftar sanksi, termasuk bank-bank besar, eksportir minyak dan perusahaan pelayaran.
Menlu Pompeo mengatakan bahwa lebih dari 100 perusahaan internasional besar telah ditarik dari Iran karena sanksi beruntun itu.
Dia juga mengatakan ekspor minyak Iran telah turun hampir satu juta barel per hari, mencekik sumber utama pendanaan untuk negara tersebut.
Selain itu, jaringan Swift --layanan pembayaran internasional-- yang berbasis di Brussels diperkirakan akan memotong hubungan dengan lembaga-lembaga Iran yang ditargetkan, mengisolasi Iran dari sistem keuangan internasional.
Simak video pilihan berikut:
Menemukan Altenatif Niaga
Sementara itu, pemerintah Inggris, Jerman dan Prancis --bagian dari lima negara yang masih berkomitmen pada pakta nuklir Iran-- semua merasa keberatan dengan sanksi tersebut.
Mereka telah berjanji untuk mendukung perusahaan-perusahaan Eropa yang melakukan "bisnis sah" dengan Iran, dan telah menyiapkan mekanisme pembayaran alternatif --atau Special Purpose Vehicle (SPV)-- yang akan membantu kegiatan niaga tanpa bersinggungan dengan sanksi AS.
Namun, analis meragukan alternatif ini --secara material-- akan mengurangi dampak sanksi terhadap Iran.
Dan dalam beberapa hari terakhir, Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin mengatakan bahwa Washington akan "agresif" menargetkan setiap perusahaan atau organisasi yang menghindari sanksi terkait.
Meski disebut paling berat, Donald Trump telah memberikan pengecualian ke delapan negara untuk terus mengimpor minyak Iran, tanpa menyebut mereka.
Menurut prediksi beberapa analis, kedelapan negara tersebut adalah para sekutu AS, seperti Italia, India, Jepang dan Korea Selatan, bersama dengan Turki, China, dan India.
Pompeo mengatakan bahwa negara-negara di atas telah membuat "pengurangan signifikan dalam ekspor minyak mentah mereka", tetapi membutuhkan "lebih banyak waktu untuk mencapai nol".
Dia mengatakan dua pada akhirnya akan menghentikan impor dan enam lainnya sangat mengurangi jatah pembeliannya ke Iran.
Advertisement
AS dan Iran Bermusuhan Sejak 1979
Sanksi AS waktunya bertepatan dengan peringatan pengepungan kedutaan AS pada 4 November 1979, di mana terjadi segera setelah jatuhnya shah --kerajaan muslim Iran-- yang didukung AS.
Sekitar 52 orang Amerika disandera di kedutaan tersebut selama 444 hari, dan sejak itu kedua negara menjadi musuh.
Kelompok garis keras mengadakan protes untuk memperingati pengepungan setiap tahunnya, tetapi pada hari Minggu, para pemrotes juga melampiaskan kemarahan mereka terkait sanksi.
Media pemerintah Iran mengatakan jutaan orang muncul baik di perkotaan maupun pedesaan, bersumpah setia kepada Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Namun, jumlah pasti demonstran tidak bisa dikonfirmasi.
Aksi ini mengikuti pidato berapi-api dari Ayatollah Khamenei pada Sabtu 3 November, di mana ia memperingatkan AS untukan tidak "membangun kembali dominasi" yang telah terjadi atas Iran sebelum 1979.
Namun, beberapa orang Iran melampiaskan kekecewaan mereka kerapa rezim Khomeini, dengan berkicau menggunakan tanda pagar (tagar) #Sorry_US_Embassy_Siege, dan berhasil menarik lebih dari 19.000 twit.
Satu pengguna Twitter berkicau dalam bahasa Inggris: "Selama 40 tahun terakhir, rezim Islam Iran mencoba menghadirkan AS dan Israel sebagai musuh Iran. Tetapi orang-orang Iran tidak berpikir seperti mullah (Khomeini). Kami mencintai semua bangsa dan semua orang di dunia."
Yang lain berkata: "Amerika bukan musuh kita, musuh kita telah menjadikan kita sebagai sandera di rumah kita sendiri (pemerintah Iran)".