Liputan6.com, Dar es Salaam - Amerika Serikat memperingatkan warganya di Tanzania untuk waspada setelah ibu kota Dar es Salaam mengumumkan operasi penangkapan massal terhadap para homoseks.
Menurut hukum lokal, homoseks adalah sebuah tindak pidana dan pelanggar bisa menghadapi ancaman maksimal 30 tahun penjara.
Dalam peringatan di situsnya pada Sabtu 3 November 2018 malam waktu lokal, Kedutaan AS di Tanzania menyarankan warga Amerika untuk meninjau profil media sosial dan jejak internet mereka.
Advertisement
"Hapus atau lindungi gambar dan bahasa yang mungkin melannggar hukum Tanzania mengenai praktik homoseksual dan aktivitas seksual eksplisit," lanjut keterangan dari Kedutaan AS di Tanzania seperti dikutip dari The Guardian, Senin (5/11/2018).
Keterangan itu juga mengimbau agar setiap warga negara AS yang ditahan atau ditangkap harus memastikan pihak berwenang Tanzania memberi tahu pihak Kedutaan AS.
Baca Juga
Imbauan itu muncul beberapa hari setelah Paul Makonda, komisaris regional (gubernur) Ibu Kota Dar es Salaam, menyerukan kepada publik untuk melaporkan orang-orang yang dicurigai sebagai homoseks, sehingga, aparat dapat mulai melakukan penangkapan pada pekan ini.
Makonda mengumumkan tindakan keras itu pada Senin 29 Oktober 2018, dengan mengatakan bahwa "sebuah tim akan dibentuk untuk mengidentifikasi dan menangkap banyak homoseks."
Paul Makonda mengatakan pada konferensi pers pada hari Selasa 30 Oktober bahwa dia telah menerima lebih dari 5.700 laporan dari publik yang menyebut lebih dari 100 nama yang diduga homoseks.
Makonda juga membentuk 'Komite 17', tim yang akan ditugaskan untuk mengidentifikasi orang homoseks di situs media sosial --seperti Facebook dan Twitter-- untuk kemudian menangkap mereka.
Pengumuman Makonda telah memicu kepanikan dan ketakutan di antara ribuan orang LGBT di negara Afrika timur itu. Beberapa mengatakan bahwa mereka terlalu takut untuk pergi keluar pada siang hari, sementara yang lain memilih nomaden karena khawatir akan ditangkap.
Meskipun tindakan keras itu akan dimulai pada hari Senin 5 November 2018, namun, warga lokal mengklaim bahwa rumah-rumah sudah digerebek di kota pelabuhan dan orang-orang gay ditangkap sejak pekan lalu.
Kelompok kampanye Equality Now mengatakan bahwa mereka terkejut dan khawatir dengan tindakan keras itu --yang juga menargetkan pekerja seks. Ia meminta pemerintah federal untuk mengutuk pernyataan Makonda dan memberlakukan hukum dan kebijakan untuk melindungi hak semua orang.
"Orang-orang LGBT dan prostitusi sudah sering dikucilkan dan menghadapi berbagai kekerasan dan ketidaksetaraan," kata Tsitsi Matekaire dari Equality Now. "Operasi penangkapan akan melanggengkan ketidaksetaraan itu, mengakibatkan marjinalisasi lebih lanjut dan kerusakan pada kesejahteraan mereka."
Oktober lalu, setidaknya 12 orang ditangkap di sebuah hotel di Dar es Salaam, dalam sebuah penggerebekan terhadap sebuah pertemuan yang menurut pihak berwenang adalah untuk mempromosikan hubungan sesama jenis.
Â
Simak video pilihan berikut:
Tidak Didukung Pemerintah Pusat, Tapi...
Pemerintah pusat Tanzania, melalui kementerian luar negeri-nya, mengatakan bahwa inisiatif gubernur Dar es Salaam Paul Makonda "merupakan gagasannya pribadi dan tindakan keras yang direncanakan itu tidak didukungan oleh pemerintah nasional."
"Pemerintah Tanzania mengklarifikasi bahwa itu adalah pandangannya sendiri dan bukan posisi pemerintah," kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
Meski menyatakan sikap tidak mendukung kebijakan Makonda, tapi, pemerintahan Presiden John Magufuli punya rekam telah menindak keras para homoseks sejak ia memenangkan kekuasaan pada tahun 2015, memicu skeptisisme.
Homoseksualitas tetap tabu di sebagian besar Afrika dan orang gay menghadapi diskriminasi atau penganiayaan, dengan kelompok-kelompok hak asasi sering enggan untuk berbicara secara terbuka dalam membela hak-hak gay.
Negara-negara Afrika memiliki beberapa hukum era kolonial yang melarang homoseksual. Hubungan sesama jenis dipandang sebagai tabu dan merupakan kejahatan di sebagian besar benua, dengan hukuman mulai dari penjara sampai mati.
Salah satu yang menerapkan hukum semacam itu adalah Tanzania, tetapi, sejak 2016, peraturan tersebut tak lagi ditegakkan. Meluasnya desakan komunitas internasional kepada Tanzania agar tak memberlakukan hukum itu pun membuat negara tersebut memiliki reputasi untuk menjadi lebih toleran daripada tetangganya Uganda.
Tetapi baru-baru ini, homophobia, serangan serta penangkapan pada orang-orang lesbian, gay, biseksual dan transgender telah meningkat sejak pemilihan Presiden John Magufuli pada tahun 2015, kata para aktivis kemanusiaan. Pada Juni tahun lalu, Presiden Magufuli juga mengatakan bahwa "bahkan sapi" tidak menyetujui homoseksualitas.
Akibatnya, penganiayaan, diskriminasi, dan eksploitasi minoritas seksual di Afrika menjadi sangat parah, kata para aktivis. Perlindungan, representasi dan kebebasan yang dimiliki orang LGBT juga sedang terkikis perlahan.
Organisasi masyarakat sipil yang mendukung orang gay telah ditutup dan aktivis telah ditangkap. Pihak berwenang juga menangguhkan program pencegahan HIV/AIDS untuk pria gay.
Kini, komunitas LGBT di Tanzania meminta pertolongan komunitas internasional agar dapat menekan pemerintah untuk meninggalkan kampanye anti-gay. Mereka juga memanggil PBB untuk melindungi mereka dengan memberi mereka keamanan di negara lain.
Advertisement