Sukses

AS Resmikan Sanksi atas Iran, Harga Minyak Turun

Harga minyak melemah pada 5 November 2018, akibat tertekan langkah AS yang memberikan sanksi terhadap sektor perminyakan Iran.

Liputan6.com, Washington DC - Harga minyak melemah pada Senin, 5 November 2018, akibat tertekan langkah AS yang memberikan sanksi terhadap sektor perminyakan Iran pada hari yang sama.

Sementara itu, Teheran mengatakan akan menentang sanksi Washington dan terus menjual minyak mentah, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (6/11/2018).

Harga minyak acuan jenis Brent turun sebanyak 30 sen menjadi US$ 72,53 per barel. Harga minyak Amerika juga turun sebanyak 30 sen menjadi US$ 62,84 per barel.

Kedua harga acuan minyak sudah tergerus lebih dari 15 persen sejak menyentuh harga tertinggi dalam empat tahun pada awal Oktober, karena perusahaan hedge funds memangkas prakiraan bullish pada harga minyak menjadi terendah dalam satu tahun.

Washington menerapkan kembali sanksi terhadap Iran sejak hari ini, Senin, 5 November 2018. Sanksi tersebut sempat dicabut setelah AS di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, menyetujui perjanjian nuklir pada 2015. Sanksi baru juga menambah sekitar 300 target baru, termasuk industri perminyakan Iran, asuransi, dan perbankan.

Sebagai balasan, Presiden Iran Hassan Rouhani dalam pidato yang disiarkan TV pemerintah, mengatakan Iran tidak akan mengikuti sanksi dan terus menjual minyak.

Washington juga memberikan pengecualian. Jumat, 2 November 2018, AS mengatakan akan sementara waktu mengizinkan delapan importir untuk membeli minyak mentah Iran.

"Dampak dari sanksi-sanksi tersebut akan diperlunakan sebagai akibat dari pengecualian itu," kata Surfeit Vijayakar, direktur energi dari perusahaan konsultan, Trisect, seperti dikutip dari VOA Indonesia.

Washington sejauh ini tidak mengungkap delapan importir minyak Iran. Tapi, China, India, Korea Selatan, Turki, Italia, Uni Emirat Arab, dan Jepang sudah lama menjadi pengimpor terbesar minyak Iran. Taiwan hanya sesekali membeli minyak dari Iran.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Respons Iran

Merespons sanksi 5 November, Presiden Iran Hassan Rouhani bersumpah akan melanggarnya. Ia mengatakan, "Amerika ingin mengurangi penjualan minyak Iran ... tetapi kami akan terus menjual minyak kami ... untuk menghentikan sanksi," kata Rouhani kepada para ekonom dalam sebuah pertemuan yang disiarkan langsung di televisi pemerintah, Senin 5 November.

Kepercayaan diri Rouhani turut didukung oleh Uni Eropa, yang mengusulkan agar perusahaan global tetap berdagang dengan Iran meskipun ada sanksi baru ini. Eropa juga telah memperjelas niat mereka untuk tidak mengikuti jejak AS.

Tapi, nada optimisnya sangat kontras dengan kekacauan ekonomi yang meluas yang dialami Iran selama 12 bulan terakhir, termasuk menukiknya nilai mata uang rial, goyahnya tim ekonomi Presiden Hassan Rouhani--yang melihat beberapa menteri senior diberhentikan-- dan protes nasional terhadap kenaikan harga dan kondisi ekonomi yang mengerikan.

Berdasarkan angka-angka dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), ekspor minyak Iran mencapai US$ 52.728 miliar pada tahun 2017. Ekspor minyak mentahnya mencapai 2.125.000 barel per hari pada tahun yang sama, sementara ekspor gas alamnya mencapai 12,9 miliar meter kubik.

Angka-angka itu, bagaimana pun, telah menurun pada tahun ini.

Di India, misalnya, impor minyak mentah dari Iran turun dari 690.000 barel per hari pada bulan Mei 2018, menjadi sekitar 400.000 barel per hari pada bulan Agustus 2018, kata Vandana Hari, seorang analis pasar minyak global yang berbasis di Singapura, seperti dikutip dari Al Jazeera.

Ekspor energi Iran menyumbang hingga 80 persen dari pendapatan negara itu, menurut Badan Informasi Energi AS, sehingga sanksi akan menghujam keras keuangan dan orang-orang di Negeri Para Mullah.