Liputan6.com, Washington DC - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo akan bertemu dengan orang nomor dua Korea Utara, Kim Yong-chol di New York pada Kamis 8 November 2018, kata Kemlu AS.
Kim Yong-chol adalah jenderal, mantan kepala intelijen dan tangan kanan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.
Mereka "akan membahas upaya untuk membuat kemajuan pada semua empat pilar pernyataan bersama KTT Singapura, termasuk mencapai denuklirisasi yang komplet, dan terverifikasi", kata pernyataan itu, mengacu pada perjanjian yang ditandatangani pada pertemuan puncak Juni 2018 antara Presiden Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di Singapura, demikian seperti dikutip dari The Strait Times, Rabu (7/11/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dalam mengumumkan pertemuan dengan Kim Yong-chol pada hari Minggu, Pompeo mengatakan dia berharap untuk "membuat beberapa kemajuan nyata" termasuk meletakkan dasar untuk pertemuan kedua antara Trump dan Kim Jong Un.
"Kami sedang bekerja untuk menemukan tanggal, waktu dan tempat untuk masing-masing dua pemimpin," kata Pompeo pada waktu dan kesempatan terpisah.
Pertemuan Pompeo-Kim Yong-chol dilakukan di tengah perselisihan antara kedua negara selama hampir lima bulan terakhir setelah KTT, di mana Trump dan Kim tampak tak satu frekuensi dalam mengupayakan target denuklirisasi semenanjung Korea.
Kementerian Luar Negeri Korea Utara telah memperingatkan bahwa Pyongyang akan "serius" mempertimbangkan untuk menghidupkan kembali program senjata nuklirnya kecuali sanksi AS dicabut.
Dalam sebuah wawancara dengan Fox News pada Jumat pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan kembali bahwa sanksi akan tetap berlaku sampai Pyongyang melakukan komitmen denuklirisasi yang dibuatnya di Singapura Juni lalu, dan menambahkan bahwa ia akan bertemu rekan Korea Utara pekan depan.
Â
Simak video pilihan berikut:
Korut Ancam Buat Senjata Nuklir Lagi
Korea Utara memperingatkan Amerika Serikat bahwa mereka akan mempertimbangkan untuk membuat senjata nuklir lagi, jika Washington DC tidak mengakhiri sanksi ekonominya yang keras terhadap pemerintahan Kim Jong-un.
Selama bertahun-tahun, Korea Utara telah mengambil kebijakan "byungjin", yakni mengembangkan kemampuan nuklir demi memajukan perekonomian.
Namun, pada April 2018, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, dengan mengatakan adanya "iklim segar dan penurunan tensi" di Semenanjung Korea, menyatakan bahwa kebijakan nuklir mereka telah selesai. Mereka kini mulai akan berfokus pada "pembangunan ekonomi sosialis".
Namun, pernyataan yang dikeluarkan oleh Kemeterian Luar Negeri Korea Utara baru-baru ini mengatakan bahwa Pyongyang dapat kembali ke kebijakan sebelumnya jika AS tidak mencabut sanksi.
"Kebijakan 'byungjin' mungkin akan muncul lagi dan itu akan dipertimbangkan secara serius," kata pernyataan resmi dari Kemlu Korea Utara, seperti yang yang disiarkan oleh kantor berita resmi KCNA pada Jumat, 2 November 2018 malam, seperti dikutip dari Channel News Asia, Senin 5 November 2018.
Niat itu tampak akan tidak diterima dengan baik oleh Amerika Serikat. Karena, pada pertemuan bersejarah di Singapura Juni lalu, Presiden AS Donald Trump dan Kim Jong-un menandatangani kesepakatan--yang samar--tentang denuklirisasi.
Namun pada gilirannya, kesepakatan itu hanya sedikit membuat kemajuan dan tensi antara kedua negara tampak kembali meninggi dengan AS mendorong untuk mempertahankan sanksi terhadap Korea Utara sampai "denuklirisasi akhir yang sepenuhnya diverifikasi" dan Pyongyang mengutuk tuntutan AS sebagai "seperti preman".
Pernyataan itu adalah tanda terbaru meningkatnya kekecewaan Pyongyang dengan Washington.
Bulan lalu, media negara bagian Utara membawa hampir 1.700 kata komentar panjang yang menuduh AS memainkan "permainan ganda", secara implisit mengkritik Trump karena komentarnya yang ditujukan untuk melarang Korea Selatan mencabut sanksi terhadap Pyongyang.
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in telah lama menginginkan kedekatan dengan Korea Utara, dengan syarat mereka tetap tunduk pada beberapa sanksi Dewan Keamanan PBB atas program rudal nuklir dan balistiknya.
Sebagai gantinya, Presiden Moon telah menjanjikan investasi besar dan proyek-proyek lintas batas bersama sebagai insentif untuk langkah-langkah menuju denuklirisasi.
Namun, Amerika Serikat tak setuju dengan rencana itu hingga Pyongyang sepenuhnya membongkar program persenjataannya.
Advertisement