Sukses

Di PBB, China Didesak Tutup Kamp Konsentrasi Warga Uighur

Negara Barat mendesak China berhenti menahan warga Uighur dan warga Muslim lainnya dalam kamp konsentrasi.

Liputan6.com, Jenewa - Beberapa negara barat termasuk Amerika Serikat dan Australia telah mendesak agar China berhenti menahan warga Uighur dan warga Muslim lainnya dalam kamp konsentrasi, yang menurut pegiat berjumlah sekitar satu juta orang.

Namun China menolak kritikan bahwa mereka melakukan penahanan massal dan melakukan pengawasan ketat terhadap warga Uighur di Provinsi Xinjiang dan mengatakan tuduhan itu 'sangat jauh dari kenyataan."

"Kami tidak akan menerima tuduhan bermotif politik dari beberapa negara yang dipenuhi dengan prasangka, dan tidak berdasarkan kenyataan." kata Le Yucheng, Wakil Menteri Luar Negeri China yang membawa delegasi berjumlah 66 orang ke Dewan HAM PBB, seperti dikutip dari ABC Indonesia, Kamis (8/11/2018).

Dalam debat yang berlangsung di Jenewa yang membahas mengenai pelanggaran HAM setiap negara anggota PBB setiap lima tahun (universal periodic review) dan membicarakan masalah China hari Selasa - Beijing mengatakan negara itu melindungi kebebasan 55 kelompok etnis minoritas di sana.

Selama perdebatan tersebut, Amerika Serikat mendesak China untuk 'menghapus penahanan tidak berdasar, termasuk kamp penahanan di Xinjiang, dan segera membebaskan ratusan ribu, dan mungkin jutaan orang yang ditahan di sana." kata kuasa usaha AS Mark Cassayre said.

Wakil Australia dalam debat itu juga menyerukan kepada China untuk mengakhiri penahanan tanpa dasar hukum yang jelas di Xinjang, memberikan kebebasan bergerak bagi warga Uighur dan Tibet, dan memberikan akses bagi media dan pejabat ke Xinjiang dan Tibet.

Baik Amerika Serikat dan Australia juga menyerukan kepada China untuk membebaskan beberapa pegiat HAM yang dipenjarakan, dengan Cassayre khusus menyebut nama-nama pegiat Wang Quanzhang, Ilham Tohti and Huang Qi.

Sekitar seribu warga Tibet dan Uighur dari seluruh Eropa melakukan protes di luar kantor PBB di Jenewa (Swiss) selama debat HAM tersebut.

Mereka membawa plakat bertuliskan "STOP China ethnic cleansing of Uighurs" (Hentikan Pembasmian etnis China terhadap warga Uighur) dan "Tibet dying, China lies" (Tibet sekarat, China berbohong).

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Menlu AS Kecam Perlakuan China

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo telah mengecam perlakuan pemerintah China terhadap kelompok etnis muslim Uighur.

Dalam pidato tentang kebebasan beragama di dunia pada Jumat 21 September 2018 lalu, Pompeo mengemukakan "ratusan ribu dan mungkin jutaan suku Uighur ditahan bertentangan dengan kehendak mereka di yang disebut 'kamp pendidikan kembali' di mana mereka dipaksa menjalani indoktrinasi politik serta pelecehan lain yang memualkan," demikian seperti dilansir VOA Indonesia, Selasa (25/9/2018).

Menyikapi komentar Pompeo, Beijing menyanggah taksiran bahwa lebih dari satu juta Muslim Uighur yang minoritas telah ditahan di kamp-kamp internir di Provinsi Xinjiang, China barat.

Orang Uighur adalah kelompok etnis muslim keturunan Turki yang terkonsentrasi di Provinsi Xinjiang barat, di mana mereka membentuk mayoritas. Namun, status itu berubah menyusul migrasi oleh anggota kelompok Han yang mayoritas.

China telah menghadapi kritik keras dalam beberapa bulan terakhir, karena laporan tentang perlakuan yang dianggap membatasi kebebasan untuk mengekspresikan hak beragama kelompok muslim Uighur.

Negeri Tirai Bambu dituduh menjalankan "kamp pendidikan", di mana orang Uighur dipaksa untuk meninggalkan aspek keyakinan agama mereka dengan seolah-olah belajar tentang budaya dan paham komunis China.

Kampanye di Xinjiang juga datang di tengah penindasan yang lebih luas terhadap agama di Tiongkok, dengan minoritas Kristen di negara itu juga menjadi sasaran, menurut laporan AS.

Dalam surat kepada Pompeo, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin bersama anggota Kongres dari kedua fraksi (Republik dan Demokrat) bulan lalu meminta agar para pejabat China yang terlibat menahan muslim Uighur dikenakan sanksi. Pompeo tidak mengatakan apakah ia akan mengenakan tindakan hukuman.

Ia juga mengatakan cemas dengan nasib penganut Kristen di China, yang menurutnya "menjadi sasaran penumpasan oleh pemerintah." Pemerintah China, katanya, "menutup gereja, membakar kitab suci Injil dan memerintahkan pengikut menandatangani dokumen menolak kepercayaan mereka."