Sukses

PBB: Krisis Politik dan Ekonomi Bikin 3 Juta Orang Pergi dari Venezuela

PBB menyebut bahwa sekitar 3 juta orang telah pergi dari Venezuela akibat krisis politik dan ekonomi yang kian parah.

Liputan6.com, Caracas - Laporan terbaru PBB menyebut bahwa krisis politik dan ekonomi di Venezuela telah membuat sekitar tiga juta warganya melakukan eksodus besar-besaran sejak 2015.

Angka baru itu menunjukkan bahwa sekitar satu dari 12 penduduk kini telah meninggalkan Venezuela, yang didorong oleh dampak kekerasan, hiperinflasi, serta kekurangan makanan dan obat-obatan.

Tingkat migrasi telah meningkat dalam enam bulan terakhir, kata William Spindler dari komisioner tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR). Ia meminta upaya internasional lebih besar untuk meredakan ketegangan dengan para negara tetangga Venezuela.

Dikutip dari The Guardian pada Jumat (9/11/2018), Venezuela telah tenggelam dalam krisis terparah di bawah pemerintahan presiden sosialisnya, Nicolas Maduro, yang berusaha mengendalikan hiperinflasi dengan menekan lawan-lawan politiknya.

Data PBB pada September itu menunjukkan 2,6 juta orang telah melarikan diri ke negara-negara tetangga Venezuela, tetapi pemerintah setempat berjuang untuk mengatasi dampak kemanusiaan dan politik dari salah satu migrasi massal terbesar dalam sejarah Amerika Latin.

"Peningkatan utama (ekodus Venezuela) terus dilaporkan di Kolombia dan Peru," kata Spindler.

Saat ini, Kolombia melindungi sekitar satu juta orang Venezuela, di mana setiap harinya dilaporkan terjadi kedatangan rata-rata 300 eksodus.

Pemerintah di Bogota berjanji bisa menampung sebanyak 4 juta imigran hingga 2021 mendatang, dengan biaya mencapai hampir US$ 9 miliar, atau setara Rp 131 triliun dengan kurs RP 14.620 per 1 dolar AS.

Para pengungsi yang baru berdatangan ke Kolombia dikabarkan kerap berkemah di luar terminal bus di Bogota.

Josmelis Lozada (21) melarikan diri dua bulan lalu dengan suaminya dan putrinya yang berusia 6 bulan.

"Ketika Anda tidak dapat menemukan makanan, ketika putri Anda bisa jatuh sakit kapan saja, saat itulah Anda tahu bahwa Anda harus pergi," kata Lozada sambil mendekap bayinya ke dadanya.

"Tapi di sini kami tidak memiliki pekerjaan, kami tidak punya sanak saudara, jadi kami mungkin harus kembali," lanjutnya lirih.

Setelah sempat menjadi pelayan di sebuah restoran di Valencia, kota ketiga terbesar di Venezuela, Lozada kini menghabiskan hari-harinya dengan mengemis di luar pusat perbelanjaan di Bogota.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Menekan Negara-Negara Amerika Latin

Di lain pihak, Presiden Nicolas Maduro menepis angka eksodus yang diaporkan oleh PBB, dan menudingnya sebagai "berita palsu" yang dimaksudkan untuk membenarkan intervensi asing dalam urusan Venezuela.

"Maduro hanya peduli pada dirinya sendiri," kata Augustin Perez, pria 51 tahun asal Caracas, yang sekarang berkemah di Bogota bersama istri dan keempat anaknya.

"Dia tidak peduli dengan orang-orang yang tidak makan apa-apa ... sementara semua kroninya menjadi gemuk."

Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan UNHCR mengatakan, eksodus terkait sedang menekan beberapa negara tetangga, terutama Kolombia.

"Negara-negara di Amerika Latin dan Karibia sebagian besar mempertahankan kebijakan pintu terbuka," kata Eduardo Stein, perwakilan khusus bersama UNHCR-IOM untuk pengungsi dan migran dari Venezuela.

"Namun, kapasitas penerimaan mereka sangat kecil, membutuhkan respon yang lebih kuat dari segi pendanaan, terutama dari komunitas internasional," lanjutnya memperingatkan.

Setelah Kolombia, Peru telah menerima jumlah terbesar eksodus Venezuela berikutnya dengan lebih dari 500.000 orang.

Selanjutnya, secara berurutan, Ekuador menampung lebih dari 220.000 eksodus Venezuela, Argentina 130.000 orang, Chile lebih dari 100.000 orang, Panama 94.000 orang, dan Brasil 85.000 orang.

Para pejabat pemerintah Amerika Latin dikabarkan akan bertemu di Quito, Ekuador, pada 22-23 November mendatang, untuk mengoordinasikan upaya kemanusiaan terkait krisis Venezuela.