Sukses

Dubes AS untuk Indonesia ke Natuna, Ini yang Disampaikannya Saat Tiba di Jakarta

Dubes AS untuk Indonesia, Joseph Donovan, menegaskan kembali konsep Indo Pasifik dan arti penting kemitraan AS-Indonesia di kawasan itu.

Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph Donovan Jr, menegaskan arti penting Kemitraan Strategis AS-Indonesia untuk mempererat hubungan antara Provinsi Kepulauan Riau dan Amerika Serikat.

Hal tersebut ia sampaikan saat berkunjung ke Kepulauan Natuna pada 7-9 November 2018.

Ini merupakan kunjungan bersejarah, karena Donovan merupakan Dubes AS pertama yang bertandang ke salah satu gugus kepulauan di pelosok Indonesia itu.

Dalam kunjungannya, Donovan mengutarakan bahwa AS-Indonesia memiliki sejarah yang kuat dalam kerja sama maritim melalui upaya bersama untuk meningkatkan kesadaran pelestarian lingkungan, memerangi penangkapan ikan ilegal, serta menegaskan konsep Indo Pasifik yang bebas dan terbuka.

"Tujuan kunjungan saya adalah mengeksplorasi cara-cara untuk meningkatkan hubungan AS dengan Natuna, dalam konteks kemitraan strategis AS-Indonesia," kata Donovan kepada sejumlah wartawan usai mendarat di Bandara Internasional Halim Perdanakusuma Jumat (9/11/2018).

"Kunjungan lalu juga merupakan contoh yang baik atas komitmen AS terhadap (kawasan geopolitik) Indo Pasifik yang bebas dan terbuka, di mana perusahaan AS dan Indonesia bisa sukses, masyarakat lokal bisa maju, dan kemitraan bilateral bisa tumbuh," tambahnya.

Letak Strategis Natuna

Letak strategis Natuna sebagai salah satu pulau penting Indonesia --yang menyimpan banyak kekayaan alam-- serta berada di wilayah terluar wilayah maritim yang disengketakan, Laut China Selatan (LCS), turut digarisbawahi oleh Donovan.

"Kami percaya Natuna memiliki peran penting bagi Indonesia ... Lokasi Natuna juga unik," ujar Donovan ketika ditanya bagaimana AS memandang pulau itu dalam konsep geopolitik Indo Pasifik dan persengketaan LCS.

Pada Juli 2017, Indonesia menegaskan kedaulatannya atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) di utara Natuna, dengan memberi nama perairan itu sebagi "Laut Natuna Utara".

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, nama Laut Natuna Utara untuk wilayah perairan Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan sudah terdaftar di organisasi kelautan internasional.

"Ya biasa ada nama-nama lokal, tapi nama-nama itu kan terdaftar secara internasional," kata Jusuf Kalla.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada tahun lalu menyebut bahwa tindakan Indonesia dinilai tidak masuk akal.

"Langkah pergantian nama itu tidak masuk akal dan tidak selaras dengan upaya standardisasi mengenai penyebutan wilayah internasional," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang dalam sebuah konferensi pers, seperti yang diwartakan oleh CNN, Minggu 16 Juli 2017.

Tiongkok mengklaim bahwa mereka memiliki hak kedaulatan yang tak terbantahkan atas kawasan Laut China Selatan dan pulau-pulau yang ada di dalamnya.

Beijing melandasi klaim kedaulatan sepihak itu dengan menggunakan konsep demarkasi the nine-dash line atau sembilan garis putus, mencakup seluruh kawasan gugus kepulauan Spratly, Paracel, Pratas, Macclesfield Bank, dan Scarborough Shoal -- secara akumulatif membentuk sebagian besar kawasan Laut China Selatan dan bahkan bersinggungan dengan perairan ZEE Natuna.

Namun, klaim tersebut ditentang oleh banyak negara. Kritik itu juga berfokus pada pembangunan fasilitas militer China di pulau serta daratan reklamasi di kawasan. Sementara AS menyebut, infrastruktur itu akan membatasi juga membahayakan navigasi perairan internasional.

"Zona ekonomi eksklusif Indonesia di lepas pantai Natuna tumpang tindih," kata Peneliti CSIS Iis Gindarsah kepada BBC tahun 2015 lalu.

Garis demarkasi semu the nine dash line di Laut China Selatan (sumber: CIA / UNCLOS)

Pengadilan Arbitrase Internasional di The Hague telah membatalkan klaim sepihak tersebut pada Juli 2016, tetapi, Beijing mengabaikan keputusan itu, dengan terus memodernisasi dan meningkatkan kuantitas serta aktivitas angkatan lautnya di Laut China Selatan, menurut berbagai laporan analis dan organisasi pemantau.

AS sendiri menegaskan mendukung kedaulatan Indonesia atas Laut Natuna Utara serta "Upaya resolusi damai melalui proses penyelesaian berbasis hukum internasional untuk bisa mencapai perdamaian di kawasan (Laut China Selatan)," kata Dubes Donovan, Kamis 9 November.

Senada, baik Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Menteri Pertahanan AS James Mattis --yang masing-masing telah berkunjung ke Indonesia selama setahun terakhir-- ikut mendukung kedaulatan dan peran Indonesia di Laut Natuna Utara dan dalam konsep geo-politik Indo Pasifik yang "bebas dan terbuka".

"Amerika Serikat siap membantu Indonesia untuk mempertahankan kewaspadaan domain maritim di Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara," kata Menhan Mattis di Kemenhan RI Jakarta Februari 2018 lalu.

"Jelas bahwa peran Indonesia di kawasan itu sangat penting," tambah Mattis.

"Kita (AS) akan terus bekerja sama dengan kalian (Indonesia) untuk menjamin keamanan, kesejahteraan ... kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum internasional, serta menjamin prinsip kebebasan bernavigasi (di kawasan maritim). Semua itu penting bagi semua negara," tambah pensiunan Jenderal Marinir AS itu.

 

Simak video pilihan berikut:

 

2 dari 2 halaman

Bahas Penangkapan Ilegal di Natuna dan Prospek Kerja Sama

Dalam lawatannya ke Natuna, Donovan juga bertemu dengan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti.

"Kami membahas isu perikanan di Natuna, membahas rencana beliau untuk meningkatkan kehidupan nelayan di Natuna, upaya Susi dalam menangani IUU Fishing dan mencegat kapal-kapal nelayan asing ilegal yang menangkap ikan di perairan Natuna."

Menurut PBB, penangkapan ikan ilegal merugikan Indonesia sekitar setidaknya US$ 1 miliar per tahun dalam bentuk sumber daya laut, dan, memicu sekitar 45 persen rumah tangga nelayan lokal kehilangan pekerjaan selama dekade terakhir.

Sejak awal menjabat, kementerian yang dipimpin Susi --yang menerapkan kebijakan keras atas kapal nelayan asing ilegal-- telah menangkap dan meledakkan sekitar ratusan lebih kapal.

Sebagai akibat dari kebijakannya yang keras, persediaan ikan naik lebih dari dua kali lipat, sementara sebagian besar dari 10.000 kapal nelayan ilegal asing, kebanyakan dari Cina dan Vietnam, telah hilang dari perairan Indonesia --termasuk di Laut Natuna Utara.

Usai kunjungannya ke Natuna, Donovan mengatakan bahwa dirinya "telah mengeksplorasi peluang kerja sama AS-Natuna dalam sektor perikanan, turisme dan logistik."

"Saya sekarang pulang ke Jakarta dengan membawa banyak sekali pekerjaan rumah (terkait prospek kerja sama AS-Natuna)," lanjutnya.

Ketika ditanya apakah usai kunjungannya akan ada peningkatan kerja sama militer AS-Indonesia di Natuna, Donovan mengatakan, "Saya rasa Indonesia-AS sudah memiliki kemitraan militer yang kuat dan baik."