Sukses

Penyelidik PBB: Belum Ada Jaminan HAM dari Myanmar dalam Repatriasi Rohingya

Penyelidik PBB mengkritik proses repatriasi (pemulangan kembali) etnis Rohingya yang mengungsi di Bangladesh.

Liputan6.com, Jakarta - Penyelidik PBB mengkritik proses repatriasi (pemulangan kembali) etnis Rohingya yang mengungsi di Bangladesh. Ia menilai proses itu terlaksana "terlalu terburu-buru" tanpa adanya "penjaminan hak asasi manusia" bagi kelompok etnis minoritas itu setibanya mereka di Myanmar.

Pihak berwenang berencana untuk memulai proses repatriasi (pemulangan kembali) lebih dari setengah juta pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Bangladesh, agar pulang ke Rakhine, Myanmar pada Kamis 15 November mendatang.

Saat ini diketahui sebanyak 2.260 etnis Rohingya telah dijadwalkan untuk meninggalkan kamp pengungsian di distrik Cox's Bazar tenggara dalam gelombang repatriasi pertama di bawah skema sukarela yang akan dilakukan pada Kamis esok.

Para pengungsi itu telah hampir setahun berada di kamp-kamp penampungan di Bangladesh, guna menghindar dari apa yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis yang dilakukan oleh aparat Myanmar.

Namun, prospek repatriasi telah menimbulkan rasa panik di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, yang terkonsentrasi di distrik Cox's Bazaar. Rasa panik terutama dirasakan oleh gelombang pertama kelompok keluarga yang akan dipulangkan ke Myanmar akhir pekan ini. Para pengungsi mengkhawatirkan, sekembalinya ke Rakhine, mereka akan menghadapi situasi yang tak lebih baik sewaktu mereka melarikan diri.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) --yang bernaung di bawah naungan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB-- mengatakan:

"Sangat prihatin sekali karena proses repatriasi itu tidak didukung penjaminan hak terhadap orang Rohingya dan pemberian status kewarganegaraan," kata Marzuki di Wisma Antara Jakarta, Rabu (14/11/2018).

Aparat Myanmar menolak Rohingya sebagai warga negara mereka dan tak memberikan status itu sejak puluhan tahun lamanya. Mereka menyebut Rohingya sebagai 'Benggala', dengan berdalih bahwa 'etnis Rohingya' adalah sebuah definisi palsu dan menyebutnya sebagai kelompok imigran gelap dari Bangladesh.

"Tidak ada satupun perubahan, sampai hari ini di Myanmar, yang mampu memberikan ketenangan bagi Rohingya untuk bisa kembali dan memulai kehidupannya lagi."

Myanmar berencana untuk menampung pengungsi Rohingya yang kembali dari Bangladesh untuk tinggal di sejumlah hunian penampungan yang dikhususkan untuk kelompok etnis minoritas itu. Namun, Marzuki menilai bahwa penanganan seperti itu sama halnya dengan kondisi Rohingya saat mereka mengungsi di Bangladesh.

"Mereka dipulangkan untuk kembali ke kamp-kamp penampungan lagi. Lantas, apa bedanya dengan di Bangladesh."

"Bukti tentang kepemilikan tanah milik orang Rohingya (sebelum mereka mengungsi) telah dihilangkan oleh aparat Myanmar, dibuldozer habis. Bagaimana orang Rohingya bisa memulai kehidupan lagi."

"Beban orang Rohingya tidak semata-mata hilang hanya karena pemerintah Myanmar menyatakan bersedia menerima mereka kembali. Tidak seperti itu. Justru yang ada, penderitaan itu akan berkelanjutan."

"Seolah-olah repatriasi ini hanya ingin dilakukan secepat mungkin. Namun, jaminan atas pemenuhan hak dan pemberian status kewarganegaraan Myanmar terhadap mereka tidak dilakukan."

"Myanmar, Bangladesh, ASEAN harus mendorong agar proses repatriasi itu dilakukan sesuai dengan syarat utama, yakni, mendorong Myanmar untuk memberikan status warga negara Rohingya dan menjamin hak-hak mereka," jelas pria yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung RI itu.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Pengungsi Rohingya Kabur dari Kamp di Bangladesh

Sementara itu, beberapa kelompok etnis Rohingya dilaporkan melarikan diri dari kamp pengungsi di Bangladesh untuk menghindari dipulangkan ke Myanmar pada akhir pekan ini, kata tokoh masyarakat setempat pada Senin 12 November 2018 lalu.

"Pihak berwenang berulang kali mencoba memotivasi orang-orang yang ada di daftar proses repatriasi untuk segera kembali pulang ke Myanmar. Namun apa yang terjadi adalah mereka diintimidasi untuk hal tersebut dan akhirnya melarikan diri ke kamp lain," kata Nur Islam, tokoh masyarakat Rohingya dari kamp pengungsi di Jamtoli, Cox's Bazaar, seperti dikutip dari Channel News Asia, Rabu (14/11/2018).

Nur Islam mengatakan, prospek repatriasi gelombang pertama telah menciptakan "kebingungan dan ketakutan besar" di antara orang-orang Rohingya dan banyak yang tidak ingin kembali ke Rakhine kecuali mereka dijamin kewarganegaraan dan hak-hak lainnya oleh pemerintah Myanmar.

Seorang wartawan asing di kamp pengungsian di Cox's Bazaar turut melaporkan kekhawatiran serupa dari beberapa keluarga Rohingya yang akan direpatriasi pada gelombang pertama akhir pekan ini.

"Kami benar-benar terganggu. Ketika hari semakin dekat, ketegangan kami meningkat," kata Mohammad Khaleque, seorang pengungsi Rohingya kepada AFP, seperti dikutip dari Channel News Asia.

Dia mengatakan bahwa keluarganya melarikan diri dari kamp mereka menuju ke pemukiman sementara Rohingya di Cox's Bazar, dalam upaya untuk menghindari dipulangkan secara paksa.

"Saya tidak melihat masa depan untuk keluarga saya jika kami secara paksa dikirim kembali ke rumah sekarang (di Rakhine, Myanmar) tanpa jaminan mendapatkan kewarganegaraan penuh Myanmar. Itulah mengapa saya membawa keluarga saya keluar dari kamp ... Kami tidak ingin kembali dalam kondisi seperti ini," katanya.

Lebih dari 720.000 etnis Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine di barat Myanmar guna menghindar dari operasi militer Burma sejak Agustus tahun lalu. Banyak di antara mereka membawa cerita tentang aksi pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan yang dilakukan oleh Tatmadaw (angkatan bersenjata Myanmar) dan kelompok simpatisan.

Badan pengungsi PBB, UNHCR, telah menerima daftar dari pemerintah Bangladesh pada hari Senin 12 November untuk menilai apakah para pengungsi ingin kembali ke Myanmar secara sukarela. Badan itu mengatakan, proses repatriasi gelombang pertama pada 15 November adalah "rencana ambisius" dan mengkritik sejumlah kendala pelaksanaannya serta menggarisbawahi "situasi yang tidak kondusif."

Juru bicara senior UNHCR, Chris Melzer mengatakan "masalah logistik" perlu dipecahkan terlebih dahulu.

"Ini adalah masalah pemerintah Bangladesh dan Myanmar. Meskipun kami masih berpikir bahwa kondisinya tidak kondusif sekarang bagi para pengungsi untuk kembali di Myanmar," katanya kepada AFP.

Penilaian PBB dapat memakan waktu setidaknya dua hari lagi, menurut kedua pejabat PBB dan Bangladesh. Penilaian itu mungkin akan berujung pada penundaan lebih lanjut proses repatriasi.

Komisioner Badan Pengungsi Bangladesh, Mohammad Abul Kalam mengatakan, negaranya siap untuk mulai mengembalikan para pengungsi ke dua pusat hunian di Rakhine dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh.

Tapi, seorang pejabat Bangladesh lainnya, yang berbicara dalam kondisi anonimitas, mengakui bahwa pengungsi Rohingya tidak "siap secara mental" untuk kembali.

"Mereka sering mengatakan kepada kami bahwa mereka lebih baik mati di sini di kamp-kamp (Bangladesh) daripada kembali dan menerima penderitaan mengerikan yang telah mereka alami," kata pejabat anonim itu.