Liputan6.com, Singapura - Presiden Joko Widodo mengajak negara-negara anggota ASEAN untuk menjadi bagian dalam penyelesaian masalah terkait krisis kemanusiaan yang menimpa warga etnis Rohingya, di Rakhine State, Myanmar.
Hal itu menjadi salah satu poin penting yang disampaikan Presiden saat berbicara dalam sesi pleno KTT ke-33 ASEAN di Suntec Convention Centre, Singapura, Selasa 13 November 2018.
ASEAN, kata Presiden Jokowi, membutuhkan komitmen dari semua negara anggota untuk tetap menjaga perdamaian dan kesejahteraan di kawasan sebagai satu keluarga.
Advertisement
"Krisis kemanusiaan Rakhine State belum juga dapat diselesaikan. Krisis ini telah mengundang kekhawatiran dan menciptakan defisit kepercayaan masyarakat internasional. Sebagai satu keluarga, Indonesia sangat mengharapkan kiranya dapat dilakukan langkah maju penyelesaian krisis kemanusiaan ini," ujar Presiden RI, seperti dikutip dari VOA Indonesia (15/11/2018).
Baca Juga
Presiden Jokowi menambahkan, dalam permasalahan tersebut, ASEAN hendaknya hadir dan terlibat sebagai bagian dari penyelesaian masalah. Ia juga mengungkapkan kekhawatiran apabila krisis kemanusiaan ini dibiarkan terus berlanjut, akan memiliki dampak yang tidak baik bagi Myanmar dan ASEAN itu sendiri.
"Indonesia siap! ASEAN, saya yakin juga siap membantu Pemerintah Myanmar untuk menciptakan kondisi kondusif di Rakhine State, di mana freedom of movement dihormati, tidak terdapat diskriminasi, dan pembangunan dilakukan secara inklusif," kata Jokowi menambahkan.
Terkait hal itu, Jokowi menyambut baik hasil pembicaraan di tingkat menteri luar negeri negara-negara ASEAN. Melalui pembicaraan tersebut, AHA Centre, organisasi antar pemerintah yang didirikan negara-negara ASEAN dan bergerak di bidang koordinasi manajemen bencana, rencananya akan dilibatkan dalam membantu penyelesaian krisis kemanusiaan di Rakhine State.
"Saya berharap detail mandat dan mekanisme peranan AHA Center dan ASEAN dapat segera diselesaikan," tandasnya.
Seperti yang telah sering diberitakan, sejak Agustus 2017, setidaknya 700 ribu warga etnis Rohingya di Myanmar telah melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, untuk menyelamatkan diri dari kekerasan massal yang dilakukan oleh militer Myanmar.
Kemarin, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, juga mengecam keras pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, dalam menangani pembunuhan massal dan pengungsian warga Rohingya.
Â
Simak video pilihan berikut:
Myanmar Tak Berikan Jaminan HAM untuk Repatriasi Rohingya
Penyelidik PBB mengkritik proses repatriasi (pemulangan kembali) etnis Rohingya yang mengungsi di Bangladesh. Ia menilai proses itu terlaksana "terlalu terburu-buru" tanpa adanya "penjaminan hak asasi manusia" bagi kelompok etnis minoritas itu setibanya mereka di Myanmar.
Pihak berwenang berencana untuk memulai proses repatriasi (pemulangan kembali) lebih dari setengah juta pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Bangladesh, agar pulang ke Rakhine, Myanmar pada Kamis 15 November mendatang.
Saat ini diketahui sebanyak 2.260 etnis Rohingya telah dijadwalkan untuk meninggalkan kamp pengungsian di distrik Cox's Bazar tenggara dalam gelombang repatriasi pertama di bawah skema sukarela yang akan dilakukan pada Kamis esok.
Para pengungsi itu telah hampir setahun berada di kamp-kamp penampungan di Bangladesh, guna menghindar dari apa yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis yang dilakukan oleh aparat Myanmar.
Namun, prospek repatriasi telah menimbulkan rasa panik di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, yang terkonsentrasi di distrik Cox's Bazaar. Rasa panik terutama dirasakan oleh gelombang pertama kelompok keluarga yang akan dipulangkan ke Myanmar akhir pekan ini. Para pengungsi mengkhawatirkan, sekembalinya ke Rakhine, mereka akan menghadapi situasi yang tak lebih baik sewaktu mereka melarikan diri.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) --yang bernaung di bawah Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB-- mengatakan:
"Sangat prihatin sekali karena proses repatriasi itu tidak didukung penjaminan hak terhadap orang Rohingya dan pemberian status kewarganegaraan," kata Marzuki di Wisma Antara Jakarta, Rabu (14/11/2018).
Aparat Myanmar menolak Rohingya sebagai warga negara mereka dan tak memberikan status itu sejak puluhan tahun lamanya. Mereka menyebut Rohingya sebagai 'Benggala', dengan berdalih bahwa 'etnis Rohingya' adalah sebuah definisi palsu dan menyebutnya sebagai kelompok imigran gelap dari Bangladesh.
"Tidak ada satupun perubahan, sampai hari ini di Myanmar, yang mampu memberikan ketenangan bagi Rohingya untuk bisa kembali dan memulai kehidupannya lagi."
Myanmar berencana untuk menampung pengungsi Rohingya yang kembali dari Bangladesh untuk tinggal di sejumlah hunian penampungan yang dikhususkan untuk kelompok etnis minoritas itu. Namun, Marzuki menilai bahwa penanganan seperti itu sama halnya dengan kondisi Rohingya saat mereka mengungsi di Bangladesh.
"Mereka dipulangkan untuk kembali ke kamp-kamp penampungan lagi. Lantas, apa bedanya dengan di Bangladesh."
"Bukti tentang kepemilikan tanah milik orang Rohingya (sebelum mereka mengungsi) telah dihilangkan oleh aparat Myanmar, dibuldozer habis. Bagaimana orang Rohingya bisa memulai kehidupan lagi."
"Beban orang Rohingya tidak semata-mata hilang hanya karena pemerintah Myanmar menyatakan bersedia menerima mereka kembali. Tidak seperti itu. Justru yang ada, penderitaan itu akan berkelanjutan."
"Seolah-olah repatriasi ini hanya ingin dilakukan secepat mungkin. Namun, jaminan atas pemenuhan hak dan pemberian status kewarganegaraan Myanmar terhadap mereka tidak dilakukan."
"Myanmar, Bangladesh, ASEAN harus mendorong agar proses repatriasi itu dilakukan sesuai dengan syarat utama, yakni, mendorong Myanmar untuk memberikan status warga negara Rohingya dan menjamin hak-hak mereka," jelas pria yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung RI itu.
Advertisement