Liputan6.com, Port Moresby - Untuk pertama kalinya dalam 25 tahun terakhir, KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) berakhir tanpa kesepakatan bersama pada Minggu, 18 November 2018.
Kecuali China, sebanyak 21 pemimpin APEC pada pertemuan tahunan di Papua Nugini menyatakan kesepakatan terhadap masa depan baru perdagangan di Asia Pasifik.
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menegaskan pada Minggu malam bahwa perselisihan soal perdagangan sulit dikompromikan hingga mendekati tahap final KTT APEC.
Advertisement
"Ada perbedaan visi pada elemen tertentu," kata Trudeau, sebagaimana dikutip dari CNN pada Senin (19/11/2018).
Baca Juga
Menurut seorang pejabat Amerika serikat (AS) yang terlibat dalam negosiasi terkait, China kemungkinan khawatir tentang garis spesifik tentang praktik perdagangan yang tidak adil.
Pejabat itu mengatakan garis yang paling "bermasalah" bagi China adalah, "Kami setuju untuk memerangi proteksionisme, termasuk semua praktik perdagangan yang tidak adil."
"Mereka sepertinya berpikir bahwa 'praktik perdagangan yang tidak adil' adalah semacam kekeliruan," kata pejabat itu.
"Ini sedikit mengkhawatirkan bahwa tampaknya China tidak memiliki niat untuk mencapai konsensus," ucapnya.
Perang perdagangan antara Washington dan Beijing berada di garis depan selama pidato oleh Presiden China Xi Jinping dan Wakil Presiden AS Mike Pence pada salah satu agenda APEC, Sabtu, 17 November 2018.
Xi berbicara tentang perlunya kerja sama dan perdagangan global, dan mengatakan semua perbedaan dapat dijembatani "melalui konsultasi."
"Sejarah telah menunjukkan bahwa konfrontasi, baik dalam bentuk perang dingin, perang panas atau perang dagang, tidak akan menghasilkan pemenang," kata Xi disambut tepuk tangan.
Namun Pence mengatakan, Washington tidak akan meredakan perang dagang dengan Beijing hingga bisa "mengubah jalannya."
"China telah mengambil keuntungan dari Amerika Serikat selama bertahun-tahun dan masa-masa itu berakhir," kata Pence pada pertemuan di Port Moresby.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Pasang Surut Hubungan Dagang AS dan China
Pemerintahan Trump telah mengenakan tarif US$ 250 miliar untuk produk-produk China sejak bulan Juli. Tarif pada US$ 200 miliar barang-barang tersebut akan meningkat menjadi 25 persen dari 10 persen pada tanggal 1 Januari, yang selanjutnya berpotensi meningkatkan konflik.
China sejauh ini membalas dengan tarif US$ 110 miliar terhadap produk AS dan kemungkinan akan merespon dengan lebih banyak jika Washington melanjutkan dengan kenaikan pada awal Januari.
Sementara itu, Pence juga mengkritik China terkait pinjaman ke negara-negara berkembang di Pasifik dan sekitarnya.
"Syarat-syarat pinjaman tersebut seringkali tidak jelas. Proyek-proyek yang mereka dukung seringkali tidak berkelanjutan dan berkualitas buruk. Terlalu sering, mereka datang dengan tali terikat dan mengarah pada utang yang mengejutkan ... jauh berbeda dengan Amerika Serikat (yang membantu) secara terbuka, adil. Kami tidak menawarkan sabuk yang mencekik atau jalan satu arah," katanya, menyindir insiatif One Belt One Road oleh pemerintah China.
Kementerian Luar Negeri China mengecam Pence terkait pernyataannya itu
"Saran kami untuk negara yang bersangkutan adalah bahwa alih-alih menunjuk pada orang lain, akan lebih baik untuk menyesuaikan perbuatannya dengan kata-katanya dan benar-benar memperlakukan semua negara, besar atau kecil, setara," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, dalam sebuah pernyataan.
"Tidak ada satu pun negara berkembang yang terperosok ke dalam kesulitan utang karena kerjasamanya dengan China. Sebaliknya, kerja sama mereka dengan Tiongkok telah membantu meningkatkan kapasitas mereka untuk pembangunan yang didorong oleh daya sendiri, dan meningkatkan penghidupan masyarakat setempat," lanjut Hua.
Advertisement