Sukses

Presiden Ukraina Antisipasi Invasi Militer Rusia, Ada Ancaman Perang?

Presiden Ukraina Petro Poroshenko mengklaim dinas intelijen memiliki bukti bahwa Rusia sedang mempersiapkan invasi.

Liputan6.com, Kiev - Menyusul ketegangan terbaru antara Rusia dengan Ukraina di Selat Kerch dekat Semenanjung Krimea yang disengketakan, Presiden Ukraina Petro Poroshenko mengklaim bahwa dinas intelijen memiliki bukti Rusia tengah mempersiapkan invasi darat ke negaranya.

Hal itu disampaikan oleh Poroshenko dalam sebuah pidato untuk mengumumkan darurat militer di Ukraina guna mengantisipasi eskalasi tensi dengan Rusia, setelah Negeri Beruang Merah menembaki dan menyita tiga kapal Ukraina di Selat Kerch dekat Krimea.

Namun, Presiden Poroshenko belum mengungkapkan detail mengenai klaimnya tentang rencana invasi darat Rusia ke Ukraina, demikian seperti dikutip dari Newsweek, Selasa (27/11/2018).

Bentrokan di Selat Kerch adalah eskalasi besar dari ketegangan yang terjadi antara kedua negara sejak Rusia mencaplok Semenanjung Krimea dari Ukraina dan mulai mendukung separatis bersenjata di negara itu pada tahun 2014.

Banyak ahli mengatakan serangan Rusia terhadap kapal angkatan laut Ukraina pada hari Minggu adalah pengubah status quo atas tensi kedua negara selama ini.

"Kisah besarnya di sini adalah bahwa pasukan bersenjata Rusia, di siang hari bolong, meluncurkan serangan terhadap kapal angkatan laut Ukraina. Ini merupakan hal baru. Moskow, tentu saja, menyandera Krimea dengan militernya, tetapi di balik samaran orang-orang bersenjata yang tak dikenal," kata John Herbst, Duta Besar AS untuk Ukraina dari 2003 hingga 2006, kepada Newsweek.

"Moskow telah melakukan perang yang tidak terlalu rahasia di Donbass. Ya, ada ribuan perwira Rusia di sana dan mereka mengontrol pertempuran, tetapi Moskow membantahnya. Dalam hal ini, tidak ada penyangkalan," tambahnya.

"Video dari menteri dalam negeri Ukraina menunjukkan kapal Rusia menabrak kapal Ukraina yang tengah bermanuver. Dan kemudian kapal-kapal Rusia merespons dengan menembaki kapal-kapal Ukraina, melukai enam, dan menyita kapal-kapal itu. Ini adalah tindakan agresi terbuka oleh satu negara terhadap negara lain," lanjut Herbst.

Anggota komunitas internasional dan NATO sedang melakukan penyesuaian atas situasi terbaru itu.

"Inggris benar-benar mengutuk penggunaan kekuatan Rusia terhadap kapal Ukraina memasuki Laut Azov. Sekali lagi, kita melihat penghinaan Rusia terhadap norma-norma internasional dan kedaulatan Ukraina. Rusia harus membebaskan para pelaut Ukraina," kata Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt dalam sebuah pernyataan Senin 26 November.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Ukraina Umumkan Darurat Militer

Pemerintah Ukraina mengumumkan kondisi darurat militer di negara itu, menyusul penangkapan paksa tiga kapal angkatan lautnya --beserta 23 awak di dalamnya-- oleh militer Rusia pada Minggu 25 November 2018.

Seluruh anggota Parlemen Ukraina mendukung permintaan Presiden Petro Poroshenko untuk menyatakan darurat militer di wilayah yang sebagian besar berbatasan dengan Rusia, selama 30 hari mulai dari 28 November.

Dikutip dari BBC, beberapa anggota parlemen menyatakan kekhawatiran Poroshenko dapat menangguhkan pemilihan presiden pada 31 Maret 2019, terkait isu keamanan di Semenanjung Krimea.

Bentrokan angkatan laut Ukraina dan Rusia terjadi di lepas pantai Krimea, yang dianeksasi oleh Rusia pada 2014.

Beberapa kapal penjaga pantai Rusia melepaskan tembakan sebelum pasukan khusus Negeri Beruang Merah menyerbu kapal-kapal Ukraina, yang menyebabkan sekitar enam awak terluka.

Ukraina mengatakan itu adalah "tindakan agresi" Rusia, namun Moskow mengatakan kapal-kapal itu secara ilegal memasuki perairan resmi negaranya.

Bentrokan angkatan laut ini adalah yang pertama kalinya terjadi antara Rusia dan Ukraina setelah terlibat konflik terbuka dalam beberapa tahun terakhir, di mana merujuk pada perang melawan kelompok separatis yang didukung oleh Moskow.

Sejumlah negara Barat mengutuk tindakan Rusia.

Di New York, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bertemu untuk membahas krisis terkait, namun gagal menyetujui agenda yang diusulkan Rusia di tengah perbedaan pendapat yang tajam antara Moskow dan Barat.