Liputan6.com, Seoul - Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dilaporkan telah bersedia mengizinkan inspektur internasional untuk masuk ke fasilitas nuklir utama negaranya di Yongbyon, kata seorang sumber diplomatik Korea Selatan pada Selasa 27 November 2018.
"Saya mengerti bahwa Kim (Jong-un) telah memberi tahu (Presiden Korea Selatan) Moon (Jae-in) selama KTT mereka pada bulan September lalu; jika AS mengambil langkah yang sesuai, dia tidak hanya akan bersedia untuk menutup fasilitas nuklir Yongbyon tetapi juga memungkinkan verifikasi akan hal itu," kata sumber diplomatik Korea Selatan yang anonim kepada Yonhap, seperti dikutip dari The Strait Times, Rabu (28/11/2018).
Advertisement
Baca Juga
Guna melakukan verifikasi atas kapabilitas nuklirnya, Korea Utara mesti mengizinkan inspektur internasional untuk masuk dan meninjau langsung.
Sumber diplomatik itu juga mengatakan bahwa Presiden Moon telah menyampaikan niat Kim Jong-un tersebut kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump, ketika keduanya bertemu pada Sidang Majelis Umum PBB di New York pada bulan September.
Kim Jong-un sebelumnya menyatakan keterbukaan untuk menutup situs nuklirnya jika Washington mengambil tindakan yang "sesuai."
Namun, sejak pembicaraan itu dilakukan, belum ada tawaran dari pihak Korea Utara guna mengizinkan inspektur internasional untuk memverifikasi fasilitas nuklir mereka.
AS telah menekankan pentingnya verifikasi fasilitas nuklir dan menjadikan itu sebagai salah satu syarat untuk bernegosiasi dengan Korea Utara demi mencapai denuklirisasi di Semenanjung Korea.
Â
Simak video pilihan berikut:
Demi Pembicaraan Nuklir Korut, AS dan Korsel Kurangi Latihan Militer Bersama
Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan sepakat mengurangi latihan militer bersama, yang tadinya dijadwalkan berlangsung pada musim semi 2019.
Menteri Pertahanan AS, Jim Mattis, mengatakan pada Rabu 21 November, bahwa keputusan itu diambil guna memfasilitasi pembicaraan nuklir dengan Korea Utara.
"Foal Eagle (nama latihan perang AS-Korsel pada pertengahan 2018) telah direorganisasi sedikit agar tetap pada tingkat yang tidak membahayakan diplomasi," kata Mattis, menambahkan pengurangan itu termasuk pada ruang lingkup.
Dikutip dari The Guardian, pasukan AS dan Korsel telah melakukan latihan militer bersama selama bertahun-tahun. Bentuk kegiatannta pun telah diatur secara rutin, mulai dari simulasi pendaratan di pntai hingga tentang pertahanan terhadap invasi dari Utara.
Bahkan, dalam latihan yang terakhir disebut, pasukan militer kedua negara konon dibuatkan skenario pemenggalan kepala yang menargetkan rezim Korea Utara.
Setelah terus menerus mendapat protes dari Pyongyang, latihan militer sempat dihentikan beberapa waktu, menyusul pemulihan hubungan diplomasi antara Korea Utara dan AS.
Mencairnya ketegangan kedua negara memuncak dalam pertemuan bersejarah di Singapura pada bulan Juni, di mana Kim Jong-un dan Donald Trump menandatangani dokumen samar-samar tentang denuklirisasi penuh di Semenanjung Korea.
Sejak itu, AS dan Korsel telah menangguhkan sebagian besar latihan gabungan utama mereka, termasuk rencana simulasi bertajuk Ulchi Freedom Guardian pada bulan Agustus, dan pelatihan angkatan udara Vigilant Ace, yang dijadwalkan berlangsung bulan depan.
Pada September lalu, calon yang kemudian menjadi kepala pasukan perdamaian AS dan PBB di Korea Selatan, Jenderal Robert Abrams, mengatakan jeda dalam latihan perang merupakan "risiko yang bijaksana" untuk membantu memfasilitasi cita-cita denuklirisasi penuh.
"Tapi pasti ada penurunan kesiapan pasukan, untuk melakukan operasi gabungan," kata Jenderal Abrams kepada komite layanan bersenjata pada sebuah sidang konfirmasi di Senat, belum lama ini.
Ia juga mengingatkan bahwa penangguhan latihan militer secara terus menerus, beriisko mengurangi kesiapan dan kemampuan pasukan gabungan dalam menghadapi ancaman di masa depan, terutama yang terkait dengan bahaya nuklir.
Advertisement