Sukses

AS Jatuhkan Sanksi Ke Wapres Nikaragua atas Tuduhan Korupsi dan Skandal HAM

Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada Wakil Presiden Nikaragua Rosaria Murillo karena dituduh melakukan berbagai kejahatan.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi terhadap Wakil Presiden Nikaragua Rosario Murillo, atas tuduhan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius.

Sosok yang merupakan istri dari Presiden Nikaragua saat ini, Daniel Ortega, diyakini telah memegang pengaruh atas organisasi pemuda, yang dikatakan oleh AS, terlibat dalam pembunuhan di luar pengadilan, penyiksaan dan penculikan.

Dikutip dari BBC pada Rabu (28/11/2018), sanksi juga dikenakan pada penasihat keamanan pasangan presiden itu, yang menurut AS, telah berusaha menutupi penyelewengan terkait.

Murillo telah memerintah Nikaragua bersama dengan Ortega selama lebih dari satu dekade. Dia dituduh mengendalikan polisi dan sayap pemuda dari Front Pembebasan Sandinista yang memerintah.

Pada Selasa 27 November, Kemenetrian Keuangan AS mengatakan pihaknya menggunakan perintah eksekutif baru --yang dikeluarkan oleh Donald Trump-- untuk menghukum Murillo, dan menuduh dia merusak demokrasi Nikaragua.

Sementara itu pembantunya ---dan penasihat keamanan presiden-- Néstor Moncada Lau dituduh melakukan suap kepada kelompok-kelompok bersenjata, dan meminta mereka menyerang demonstran selama berbulan-bulan aksi demonstrasi anti-pemerintah, yang berlangsung sejak awal tahun ini.

Sanksi dari AS itu akan melarang individu, bank, dan entitas lainnya dari Negeri Paman Sam untuk melakukan transaksi dengan mitra dari Nikaragua.

Jika kedapatan melanggar hal tersebut, otoritas hukum AS akan membekukan aset pihak yang bersangkutan.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Nikaragua Mengalami Pergolakan Besar

Nikaragua telah mengalami pergolakan besar tahun ini. Pada bulan April, pengunjuk rasa anti-pemerintah menuntut presiden sosialis, Daniel Ortega, mundur dari reformasi pensiun yang tidak populer.

Namun, sang presiden menolak bernegosiasi dan malah mengirim pasukan keamanan. Ratusan orang kemudian dibunuh dalam waktu beberapa pekan setelahnya.

Awal bulan ini, aktivis oposisi Félix Maradiaga mengatakan kepada BBC bahwa hak asasi manusia di Nikaragua berada di kondisi "krisis paling parah dalam sejarah" negara itu.

Maradiaga dipaksa melarikan diri dari negaranya pada Juli setelah menerima ancaman pembunuhan.