Sukses

29-11-1963: Langit Memerah Saat Pesawat Anyar Milik Trans Canada Air Lines Celaka

Kurang dari lima menit mengudara, pesawat anyar milik Trans Canada Air Lines (TCA) celaka. Langit memerah. Orang mengira kiamat sudah tiba.

Liputan6.com, Jakarta - Malam itu, 29 November 1963, kota Montreal nyaris lumpuh akibat hujan badai. Di tengah cuaca buruk, pada pukul 18.28 pesawat Trans Canada Air Lines (TCA) Penerbangan 831 lepas landas dari Bandara Dorval menuju Toronto.

Kurang dari lima menit kemudian, pesawat jenis DC 8F itu jatuh. Bola api tercipta saat kapal terbang tersebut celaka di langit Laurentians, sebuah area di Kota Ste. Therese. Lokasi kecelakaan hanya 20 mil atau sekitar 32 kilometer dari Montreal.

Sebanyak 118 penumpang dan awak di dalamnya tewas. Rakyat Kanada kembali dihadapkan pada tragedi pada saat jiwa mereka belum pulih akibat efek kejut kematian tragis Presiden Amerika Serikat John F Kennedy beberapa hari sebelumnya. 

Penduduk di dekat lokasi kejadian mendengar suara ledakan keras dan benturan di rawa berlumpur. "Bisingnya luar biasa. Langit merah. Kami tak tahu di mana harus menyelamatkan diri," kata Laura Lanctot kepada Toronto Star. "Kupikir akhir dunia telah menjelang."

Petugas kepolisian setempat, Noel Aubertin, yang berada sekitar 150 meter dari lokasi tabrakan, mendengar suara ledakan yang bercampur bunyi mesin. Udara dipenuhi nyala api.

"Kukira, kiamat sudah tiba. Lalu, setelah dipikir-pikir, jangan-jangan itu bom atom. Langit merah," kata dia, yang mengaku menyaksikan ledakan dan lidah api besar muncrat ke langit, seperti dimuat Vancouver Sun.

Allan Berthiaume yang tinggal dekat lokasi kejadian adalah salah satu orang pertama yang mendatangi lokasi kejadian. Ia hanya melihat ekor pesawat. Semuanya terbakar habis.

Sebuah rumah, yang terletak 91 meter dari kecelakaan ikut jadi korban. Plester retak. Pipa saluran air terenggut dari dinding. Kaca-kaca di sejumlah toko pecah.

Sementara itu, di Bandara Malton, di luar Toronto, keluarga korban berkumpul untuk menanti kepastian nasib orang-orang terkasih.

Beberapa penumpang dalam pesawat nahas itu adalah para pebisnis. Istri-istri mereka dengan tenang menunggu kabar buruk tiba.

"Para ibu tetap tenang. Mereka membacakan cerita untuk anak-anak, bermain dengan mereka, tersenyum. Namun, mata mereka yang merah, bibir yang terkatup rapat, tak bisa menutupi rasa takut di batin mereka," demikian dilaporkan Toronto Star.

Keberuntungan didapat delapan orang yang seharusnya menaiki pesawat yang celaka. Mereka ketinggalan gara-gara terjebak macet parah di Montreal. Terutama di pusat kota. Jalanan saat itu sesak oleh mereka yang berniat membeli kado Natal. Hujan deras membuat lalu lintas bergerak perlahan.

"Aku tak akan pernah mengeluh soal lalu lintas Montreal yang kacau," kata Gail McEachern yang seharusnya berada di TCA Penerbangan 831.

Apa yang membuat pesawat celaka?

Pesawat yang baru berusia 10 bulan itu masih anyar. Maskapai TCA harus merogoh kocek 7 juta untuk mendapatkan sebuah jet DC-8 yang dapat mempertahankan kecepatan 885 kilometer per jam pada ketinggian 35.000 kaki.

Sementara, penerbangnya, Kapten Jack Snider adalah pilot veteran yang 19 tahun mengabdi di maskapai TCA.

Sayangnya, kehancuran pesawat itu begitu menyeluruh sehingga penyelidikan tidak dapat menentukan penyebab pasti kecelakaan itu.

Kegagalan mekanis kemudian dituding jadi penyebab. Kala itu, kecelakaan TCA Penerbangan 831 dianggap sebagai tragedi kecelakaan pesawat sipil dalam sejarah Kanada sebelum Air India Penerbangan 182 diledakkan teroris pada 23 Juni 1985, yang menewaskan 329 orang di dalamnya.

 

2 dari 2 halaman

Plot Sadis Pembantaian Budak demi Uang Asuransi

Tak hanya kecelakaan pesawat di Kanada, sejumlah kejadian bersejarah juga terjadi pada 29 November.

Pada 1781, sebuah kapal sarat dengan muatan budak-budak dari Afrika melintasi Laut Atlantik.

Karena kesalahan dalam navigasi, bahtera itu melewati lokasi yang seharusnya jadi tujuannya di Karibia. Kapal dan segala isinya terkatung-katung di lautan selama tiga pekan.

Akibatnya, air minum nyaris habis. Penyakit menyebar di kalangan para budak dan awak kapal.

Di tengah situasi itu, sekitar 131 orang Afrika yang diperbudak dilempar ke laut. Sengaja ditenggelamkan.

Para awak kapal sengaja melakukannya. Sebab, jika mereka tewas di atas kapal, mereka tak akan mendapatkan uang asuransi dari 'kargo' yang hilang.

Akibat perbuatan biadab mereka, para awak kemudian dihadapkan ke pengadilan pada 1783, meskipun kasus itu diadili sebagai pertikaian asuransi daripada sidang pembunuhan.

Kasus menjadi lambang kengerian Middle Passage, pengangkutan orang Afrika yang diperbudak. Meski demikian, kesadisan itu menjadi amunisi yang memperkuat kampanye penghapusan perbudakan.