Sukses

Demi Negosiasi Perang Dagang, China - AS Sepakat Tunda Penerapan Tarif Baru

AS dan China sepakat menunda penerapan tarif perdagangan baru guna bernegosiasi menghentikan perang dagang.

Liputan6.com, Buenos Aires - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan mitranya dari China, Presiden Xi Jinping telah sepakat untuk menunda penerapan tarif perdagangan baru selama 90 hari. Hal ini guna memungkinkan pembicaraan demi menghentikan perang dagang antara kedua negara.

Trump dan Xi bertemu di Buenos Aires setelah KTT G20 untuk pembicaraan pertama mereka sejak perang dagang yang meletus tahun ini, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (2/12/2018).

China mengatakan mereka sepakat untuk tidak memberlakukan tarif perdagangan baru setelah 1 Januari 2019.

Dalam KTT pada hari Sabtu, para pemimpin G20 menyetujui deklarasi bersama yang mencatat perpecahan atas perdagangan. Namun, mereka tidak mengkritik proteksionisme, yang selama ini dituding memicu perpecahan atas mekanisme perdagangan multilateral.

Menjelang G20, Trump telah mengatakan kepada media AS bahwa dia berharap untuk melanjutkan rencana untuk menaikkan tarif pada barang Cina senilai US$ 200 miliar -- tarif yang pertama kali diperkenalkan pada bulan September. Dari segi prosentase, tarif itu menandai kenaikan dari 10% hingga 25%, dimulai pada bulan Januari 2019.

Namun, usai bertemu Presiden Xi, Gedung Putih mengatakan rencana penetapan tarif itu sekarang ditangguhkan selama 90 hari guna membuka kesempatan bagi negosiasi penghentian perang dagang.

Tapi, Gedung Putih melanjutkan, "Jika pada akhir periode waktu ini, para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan, tarif 10 persen akan dinaikkan menjadi 25 persen."

Dalam kesepakatan yang dibuat oleh kedua kepala pemerintahan dalam KTT G20, Gedung Putih menambahkan bahwa China setuju untuk membeli sejumlah produk pertanian, energi, industri dan lainnya yang tidak ditentukan tetapi "sangat substansial".

TV negara China mengatakan sebelumnya: "Tidak ada tarif tambahan yang akan dikenakan setelah 1 Januari, dan negosiasi antara kedua belah pihak akan berlanjut."

Kedua belah pihak telah memberlakukan tarif barang bernilai miliaran dolar, memicu apa yang kini populer disebut sebagai perang dagang AS-China. AS telah mencapai tarif US$ 250 miliar barang-barang China sejak Juli, dan China telah membalas dengan memberlakukan bea pada US$ 110 miliar produk AS.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Perang Dagang AS-China Bakal Untungkan Negara di Asia Tenggara?

Sementara itu, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China mendorong perusahaan global untuk kembali mempertimbangkan manufaktur dan pabriknya di China.

Berdasarkan laporan perusahaan konsultan Bain and Co, kondisi tersebut memberikan keuntungan bagi negara di Asia Tenggara. Managing Partner for Southeast Asia, Satish Shankar menuturkan, dalam jangka pendek, akan ada efek di wilayah untuk tujuan ekspor terutama Amerika Serikat.

"Segera ekspor ke China, kemudian ke Amerika Serikat. Ini berdampak terhadap industri seperti tekstil dan elektronik. Bagaimana pun juga jangka panjang, kami percaya ASEAN sangat menarik sebagai alternatif supply chain perusahaan yang mencari diversifikasi selain China," tutur dia, seperti dikutip dari laman CNBC, seperti ditulis Minggu (25/11/2018).

Bain prediksi, perusahaan pertimbangkan memindahkan supply chain-nya ke Asia Tenggara. Perusahaan menengah dan usaha kecil di wilayah tersebut akan lebih mengadopsi lebih banyak teknologi dalam operasi hariannya. Ini dapat ciptakan kesempatan USD 1 triliun.

Shankar menuturkan, bahkan jika ketegangan perang dagang membara, perusahaan masih akan coba dan mengalihkan beberapa rantai pasokannya ke Asia Tenggara. Menurut dia ada dua alasan mengenai hal tersebut.

"Salah satunya proses yang sudah berjalan dan pengalaman perusahaan di negara tersebut seperti Vietnam dan Thailand yang positif. Kedua, ini hanya praktik bisnis yang baik untuk memastikan bahwa bisnis Anda terdiversifikasi dan tidak memiliki risiko konsentrasi di supply chain,” ujar dia.

Ia menuturkan, ke depan, perusahaan beralih ke rantai pasokan yang memiliki banyak sumber pasokan untuk produksi tertentu.

Prospek dan demografi pertumbuhan Asia Tenggara telah menarik minat banyak investor yang ingin tanamkan modal di wilayah tersebut.Apalagi berdasarkan studi terbaru, ekonomi digital di Asia Tenggara akan melampaui USD 240 miliar pada 2025. Ini karena koneksi jaringan.

"Ini adalah blok ekonomi terbesar kelima sebanding dengan ukuran di Inggris dan India. Pertumbuhannya mencapai 4,5 hingga 5 persen. Ada banyak investasi langsung yang datang ke wilayah itu," ujar Shankar.

Ia menambahkan, kehadiran perusahaan yang dinamis membuat ASEAN menjadi basis rantai pasokan yang sah. Ia menuturkan, setiap negara di kawasan itu memiliki spesialisasi yang berbeda. Contohnya Thailand memiliki sektor otomotif yang kuat. Sementara itu, Vietnam kuat di bidang tekstil dan komponen elektronik.

"Perusahaan juga akan memperoleh manfaat dari permintaan domestik yang kuat di kawasan ini," tutur dia.