Liputan6.com, London - Perdana Menteri Inggris Theresa May mengalami kekalahan di House of Commons (lower-chamber) pada Selasa 4 Desember 2018, di awal lima hari perdebatan tentang rencananya untuk meninggalkan Uni Eropa yang dapat menentukan masa depan Brexit.
May ingin mendapatkan persetujuan parlemen untuk kesepakatannya untuk menjaga hubungan erat dengan Uni Eropa setelah Brexit Maret 2019. Tetapi, oposisi menentang sengit, dengan pendukung dan penentang Brexit sama-sama ingin menggagalkan atau menggagalkan rencana sang PM, demikian seperti dikutip dari The Economic Times, Rabu (5/12/2018).
Advertisement
Baca Juga
Pada hari pertama perdebatan, sebelum pemungutan suara utama pada 11 Desember, pemerintahannya disebut dalam penghinaan terhadap parlemen (in contempt of parliament) dan kemudian sekelompok anggota parlemen Partai Konservatif sendiri memenangkan tantangan untuk menyerahkan lebih banyak kekuatan kepada House of Commons jika kesepakatan Brexit yang dirumuskan May ditolak.
Itu bisa meminimalisir kemungkinan Inggris meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (no-deal Brexit).
Perdebatan dan pemungutan suara terakhir pada 11 Desember akan menentukan bagaimana Inggris meninggalkan Uni Eropa seperti yang direncanakan pada 29 Maret, dalam pergeseran terbesar dalam kebijakan luar negeri dan perdagangan dalam lebih dari 40 tahun di Negeri Britania Raya.
Jika anggota parlemen tidak mendukung kesepakatannya, May justru mengatakan, mereka dapat membuat hubungan Inggris dan Uni Eropa pasca-Brexit memburuk, tanpa langkah-langkah untuk memperlunak transisi atau bahkan kemungkinan Brexit tidak terjadi.
Partai Buruh (Labour Party) yang beroposisi mengatakan, May perlu mendapatkan kesepakatan yang lebih baik atau menyingkir dan membiarkan oposisi memerintah.
"Kami masih tidak tahu seperti apa hubungan jangka panjang kami dengan Eropa dan itulah mengapa begitu banyak anggota parlemen tidak mau memilih Brexit (versi May) ini dan mengambil lompatan dalam kegelapan tentang masa depan Inggris," kata pemimpin Labour Party Jeremy Corbyn kepada parlemen.
Karena ingin mencegah no-deal Brexit --yang mana bank sentral Inggris memprediksi bahwa hal itu akan memicu resesi ekonomi Inggris-- sekelompok anggota parlemen pro-Uni Eropa dari Partai Konservatif yang dipimpin May berusaha memastikan parlemen untuk mendapat lebih banyak kekuatan guna mendikte langkah selanjutnya yang diambil pemerintah jika rencana keluarnya gagal.
Bagi mereka, mungkin ada jalan keluar lain. Nasihat resmi dari advokat jenderal Pengadilan Eropa --tidak mengikat, namun biasanya dipertimbangkan oleh pengadilan tinggi negara-- menyarankan kepada beberapa anggota Parlemen Inggris bahwa mereka bisa mencabut kembali keputusan Brexit (revoking Article 50).
Namun juru bicara May mengatakan kepada wartawan, "Kami tidak akan melakukan apapun untuk mengubah posisi yang jelas dari pemerintah bahwa Article 50 tidak akan dicabut."
Â
Simak video pilihan berikut:
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Jika pada akhirnya PM Theresa May memenangkan pemilihan soal Brexit di Parlemen pada 11 Desember, Inggris akan meninggalkan Uni Eropa pada 29 Maret dengan syarat-syarat yang telah ia negosiasikan dengan Brussels.
Jika dia kalah, May bisa meminta pemilihan kedua soal kesepakatan.
Tapi kekalahan akan meningkatkan peluang no-deal Brexit, yang bisa berarti kekacauan untuk ekonomi dan bisnis Inggris, dan menempatkan May di bawah tekanan yang kuat untuk mengundurkan diri.
Kekalahan untuk May juga bisa memicu kemungkinan bahwa Inggris akan mengadakan referendum kedua untuk keluar dari Uni Eropa tiga tahun setelah pemungutan suara awal pada 2016.
Advertisement