Sukses

PM Malaysia: Meski Tak Enak Didengar, Pers Bebas Menyampaikan Informasi

Setelah kemenangan bersejarah Mahathir Mohamad dalam pemilu Malaysia 2018 lalu, ia menjanjikan pers yang lebih bebas di Negeri Jiran.

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Setelah kemenangan bersejarah Mahathir Mohamad dalam pemilu Malaysia 2018 lalu, ia menjanjikan kebebaan pers di Negeri Jiran, suatu kondisi yang tak dirasakan oleh media pada masa pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Najib Razak.

Komitmen Mahathir dibuktikan dengan menghapus undang-undang anti-berita palsu (fake news) yang --meski tampak berjudul positif-- justru bersifat represif dan diberlakukan oleh Najib untuk mengekang pers jelang pemilu 2018.

Kini, PM Mahathir mendorong pers untuk melaksanakan tugasnya se-ideal mungkin, "Bahkan jika pemerintah tidak suka mendengarnya, pers bebas untuk menginformasikan," ujarnya beberapa hari setelah mengalahkan koalisi Front Nasional yang dipimpin Najib, seperti dikutip dari Nikkei Asian Review, Kamis (4/12/2018).

Visi Mahathir kemudian mendorong pers Malaysia untuk lebih tajam dalam melaporkan berita, termasuk, dalam hal mengkritik pemerintahannya saat ini.

Dalam The New Straits Times edisi 28 November 2018, mantan anggota parlemen Ruhanie Ahmad mengecam kabinet Perdana Menteri Mahathir Mohamad yang berusia enam bulan, dengan alasan bahwa kurangnya pengalaman anggota merupakan "dilema."

"Sementara mayoritas dari mereka (menteri) antusias dalam melaksanakan tugas mereka untuk negara dan rakyat, beberapa menteri ini diganggu dengan absurditas dan kesombongan."

Kolom artikel itu mungkin tidak akan terbit pada masa pemerintahan Najib. Sekarang Mahathir, justru memberi jalan bagi pers untuk mempublikasikan karya-karya jurnalistik 'pedas' seperti itu.

Organisasi-organisasi media yang dekat dengan koalisi yang berkuasa sebelumnya mulai berbondong-bondong mempublikasikan berita kritik.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi (kanan) saat melakukan perbincangan empat mata dengan Menteri Luar Negeri Malaysia, Dato' Saifuddin Abdullah di Gedung Pancasila, Jakarta, Senin (23/7). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

The Star, harian berbahasa Inggris dengan sirkulasi terbesar di Malaysia, telah mengkritik Menteri Luar Negeri Saifuddin Abdullah karena menggunakan singkatan di posting Twitter dan pidato resmi.

"Tidak peduli seberapa terpapar siapa pun untuk urusan luar negeri, masih aneh untuk mendengar dan membaca akronim dalam berurusan dengan diplomasi setiap hari," Mergawati Zulfakar, kolumnis senior, menulis pada 14 Agustus.

Tapi, Mahathir tetap ingin pers bertanggung jawab. Hal itu tercermin dari komentar 'tegas'-nya terhadap pemberitaan pers atas konflik agama di Selangor bulan lalu --yang melibatkan kelompok Hindu soal pembangunan tempat peribadatan.

"Pemerintah tidak memiliki niat untuk membatasi kebebasan berbicara tetapi jika apa yang disuarakan adalah kebohongan dan mengancam ketertiban umum, kami tidak akan ragu untuk mengambil tindakan," kata Mahathir di Dewan Rakyat, dilansir Malaysiatoday pada 29 November 2018.

"Pemerintah telah berjanji untuk tidak membatasi kebebasan dalam pemberitaan dan komunikasi berita tetapi kebebasan ini harus digunakan secara bertanggung jawab dan tidak memanaskan situasi yang dapat menyebabkan terganggunya persatuan dan harmoni rasial."

"Kebebasan berbicara tidak berarti siapapun dapat mengatakan hal-hal yang memprovokasi orang lain. Jika ada orang-orang yang melanggar hukum untuk kebutuhan egois mereka, maka pemerintah akan melaksanakan prinsip rule of law dan tindakan hukum.

"Pemerintah tidak akan berkompromi dan akan bertindak sesuai dengan hukum untuk memastikan perdamaian dan harmoni nasional tidak terganggu oleh siapa pun," kata sang PM Malaysia.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 3 halaman

Pemilu Malaysia 2018 Mengubah Iklim Bermedia

Pemilu 2018 bukan hanya sekedar mengubah kepemimpinan, namun juga membawa perubahan atas iklim ketakutan bermedia yang dulu menyelimuti dunia jurnalistik Malaysia.

Sebagai pembuktian Mahathir atas komitmennya terhadap "jurnalisme yang bebas dan terbuka" pemerintahannya tengah berpikir untuk membatasi saham partai politik --atau figur yang terafiliasi dengan partai-- di media hingga maksimal sebatas 10 persen saja.

Selain itu, orang dan pebisnis biasa juga telah memperhatikan bahwa media tidak lagi diberangus, dan mulai menyesuaikan diri dengan 'angin segar' dalam dunia jurnalistik Malaysia saat ini.

"Orang-orang mengikuti dengan saksama tentang politik sekarang," kata Norman Goh, editor situs berita independen yang lebih vokal, Malaysiakini.

Tandanya, kata Goh, adalah peningkatan pengikut di platform media sosial portal itu. "Pembaca ingin berpartisipasi dalam percakapan."

Outlet media berbasis langganan sudah menjadi salah satu sumber pelaporan paling populer pada pemilu Malaysia pada Mei 2018 lalu, menarik sekitar 17 juta pembaca pada satu titik.

Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak menyapa seorang pendukung di tempat pemungutan suara selama pemilihan umum di Pekan, Rabu (9/5). Pemilu ini pertarungan antara PM Najib yang sudah berkuasa sejak 2009, melawan Mahathir Mohamad. (MOHD RASFAN / AFP)

Tapi, perubahan besar terjadi setelah pemilu. Pengiklan yang pernah menjauhi Malaysiakini karena takut menyinggung penguasa, kini telah kembali, kata kelompok itu.

Popularitas Malaysiakini sebagai kiblat berita telah menjangkau negara tetangga. Bahkan China, mengirim seorang pejabat tinggi untuk mengunjungi kantor media itu di pinggiran Kuala Lumpur.

Guo Yezhou, wakil direktur departemen hubungan internasional Partai Komunis China, mampir pada akhir Juli untuk melihat langsung operasi media itu, kata Steven Gan, pemimpin redaksi Malaysiakini.

Mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak tiba di Pengadilan Tinggi Malaya, Kuala Lumpur, Rabu (8/8). Najib Razak akan dihadapkan dengan dakwaan baru di bawah undang-undang anti pencucian uang untuk kasus megakorupsi 1MDB. (AP/Yam G-Jun)

Atmosfer baru mengungkapkan betapa sedikit kebebasan yang dimiliki media sebelum perubahan kekuasaan, dari Najib ke Mahathir. Itu juga berkontribusi pada derasnya pemberitaan tentang kasus mega korupsi yang melibatkan mantan perdana menteri sebelumnya --skandal 'perselingkuhan' Najib dengan 1Malaysia Development Berhad atau 1MDB.

Dulu, berita jelek tentang Najib diberangus, dengan media Malaysia turut minim memberitakan dugaan campur tangan orang yang dekat sang mantan PM dalam kasus pembunuhan seorang model Mongolia, Altantuya Shaariibuu.

Model Mongolia Altantuya Shaariibuu yang dibunuh di Malaysia pada tahun 2006 (AFP PHOTO via The Star Malaysia)

Media berada di bawah instruksi ketat agar menahan diri untuk menghubungkan Najib atau istrinya dengan kasus kontroversial itu --yang ternyata berkaitan dengan dugaan skandal korupsi pembelian sebuah kapal selam militer dari Prancis.

Pemerintah Najib memperketat cengkeramannya lebih lanjut setelah tuduhan eksplosif pada 2015 bahwa Najib mengantongi jutaan dolar dari dana negara 1MDB. Editor media ditangkap dan satu outlet media independen, The Edge, dicekal. Para wartawan internasional dideportasi karena mengejar cerita 1MDB tanpa henti.

Organisasi-organisasi berita lokal, banyak dari mereka dikendalikan oleh koalisi Najib, mengikuti arus pada saat itu, karena takut izin operasi mereka dicabut oleh Putra Jaya.

 

3 dari 3 halaman

Skeptisisme terhadap Komitmen Mahathir Tetap Ada

Namun pertanyaan yang mengganggu tetap ada. Apakah Mahathir, seorang pria yang pernah disebut sebagai "musuh media" oleh Committee to Protect Journalists yang berbasis di New York, benar-benar menjadi garda pers ideal yang andal?

Analis mengatakan terlalu dini untuk menyatakan pers Malaysia bebas, meskipun pemerintahannya telah menghapus undang-undang fake-news yang dicanangkan pada era-Najib.

Gayathry Venkiteswaran, asisten profesor yang mengajar komunikasi di kampus Nottingham University di Malaysia, menekankan bahwa kecuali undang-undang lain yang mempengaruhi media dicabut, tidak ada jaminan kebebasan.

"Akses terhadap informasi mungkin sedikit meningkat karena pemerintah tampaknya terbuka untuk media," kata Gayathry. "Tetapi akses tersebut masih berdasarkan kasus per kasus dan tidak dilembagakan."

Masyarakat dan sistem politik berbasis ras di Malaysia juga menjadi penghalang lain terhadap kebebasan pers yang sesungguhnya, kata Eric Loo, analis senior di Universitas Wollongong, Australia.

Secara teoritis, Loo mengatakan, editor media bisa tetap independen bahkan jika kantor mereka dimiliki oleh partai politik. "Tetapi, realitas politik di Malaysia mengisahkan cerita yang sangat berbeda, karena media arus utama selama beberapa dekade umumnya condong pada partai yang berkuasa."

Perdana Menteri Malaysia baru, Mahathir Mohamad (kiri) bersalaman dengan Raja Malaysia Muhammad V saat prosesi sumpah jabatan di Istana Nasional di Kuala Lumpur (10/5). (AFP Photo/ Istana Nasional Malaysia)

Masih ada sekitar 35 undang-undang yang melanggar kebebasan media di Malaysia, kata pemimpin redaksi Malaysiakini, Steven Gan. Pemerintah, sementara itu, berbicara tentang pembentukan dewan untuk kemerdekaan media.

Tapi Steven Gan --yang menang dalam beberapa tuntutan hukum yang diajukan oleh pemerintah Najib atas keberatannya terhada jurnalisme kritis Malaysiakini-- ingin melihat undang-undang yang mengekang pers untuk segera diubah. Dia juga menginginkan reformasi untuk memastikan independensi lembaga-lembaga pemerintah seperti badan anti-korupsi dan komisi pemilihan.

"Oleh karena itu, bahkan jika orang-orang baru berkuasa, mereka tidak akan dapat menimbulkan terlalu banyak kerusakan pada kebebasan media," katanya pada sebuah forum di bulan Juli 2018.

Bahkan dengan lebih banyak rintangan di depan, godaan Malaysia baru-baru ini dengan kebebasan pers dapat menjadi contoh bagi negara-negara seperti Kamboja dan Singapura, di mana hanya ada sedikit toleransi terhadap berita yang dapat mencoreng pemerintah yang berkuasa.

Kazi Mahmood, seorang editor surat kabar Kamboja Khmer Times, mengatakan Malaysia dapat menginspirasi "revolusi media" di Asia Tenggara --termasuk Indonesia-- jika Mahathir berhasil menghilangkan pengaruh politik dari pers. Terutama, lewat kebijakan andalannya yang hendak membatasi saham partai politik di media hingga maksimal sebatas 10 persen saja.

"Meskipun sulit, masyarakat sipil di Singapura mungkin ingin menggunakan contoh Malaysia untuk meningkatkan kesadaran dan (mencari) peningkatan dalam kebebasan sipil," kata Gayathry.

Ketika menyangkut bisnis, pergeseran di Malaysia telah membawa nasib baik bagi beberapa organisasi media dan kesulitan bagi orang lain.

Malaysiakini, karena menarik lebih banyak pendapatan, memperluas operasi pengiriman berita dan mencapai jangkauan pelanggan sejauh Amerika Selatan. Tetapi pemain lain memotong pekerjaan.

The Malay Mail, tabloid berbahasa Inggris tertua di negara itu, meninggalkan edisi cetaknya dan mulai sepenuhnya digital pada 2 Desember, memotong sepertiga stafnya.

"Cara lama dalam melakukan bisnis surat kabar --dari iklan yang mensubsidi sirkulasi, biaya editorial dan pencetakan-- tidak lagi layak," kata Wong Sai Wan, kepala editor harian The Malay Mail.

PM Malaysia, Mahathir Mohamad menyambut kunjungan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo di Putrajaya, Kuala Lumpur, Jumat (3/8). Pompeo menjadi pejabat senior pertama AS yang mengunjungi Mahathir usai terpilih sebagai Perdana Menteri. (AFP/MANAN VATSYAYANA)

Tetapi, orang-orang yang mengenal perusahaan The Malay Mail dengan baik mengatakan, manajemen menembak dirinya sendiri di kaki dengan menjadi "corong de facto Najib." Penerbit The Malay Mail adalah Siew Ka Wei, seorang pengusaha yang juga memiliki usaha industri kimia Ancom --yang mana saudara laki-laki Najib, Johari, adalah direktur perusahaan itu.

"Kegagalan Malay Mail terkait dengan era Najib, bukan karena penjualan yang tidak bersemangat dan berkurangnya jumlah pembaca," kata mantan editor media itu.

Utusan Malaysia, sebuah harian berbahasa Melayu, melembagakan rencana pada bulan September untuk mengurangi tenaga kerjanya sebesar 800 orang, dari semula 1.500. Langkah itu muncul setelah mereka gagal mendapat pinjaman bank pada bulan Agustus.

Dikendalikan oleh partai Najib, Organisasi Nasional Melayu Bersatu, atau UMNO, Utusan Malaysia telah bertahun-tahun bergantung pada pemerintah untuk bantuan keuangan, kata seorang mantan menteri.

"Pada 2010, 2011 dan 2012, saya, sebagai menteri informasi, harus memberikan bantuan ke Utusan Malaysia dengan memasang iklan," kata Rais Yatim di portal berita lokal.

The New Straits Times (NST), corong UMNO lainnya, menemukan dirinya dalam keadaan tak menentu.

Pemiliknya, Media Prima, grup media terbesar di negara itu, baru-baru ini mengumumkan penjualan dan perjanjian sewa-guna-usaha dengan dana negara PNB Development untuk 280 juta ringgit (US$ 66,8 juta). Hasil dari transaksi, yang termasuk penjualan kantor pusat The New Straits Times di atas lahan utama di Kuala Lumpur, akan digunakan pembayaran utang.

Setelah menjadi lembaran besar yang memiliki reputasi baik, surat kabar ini adalah warisan pemerintah kolonial Inggris dan melacak asal-usulnya hingga tahun 1845, seperti The Straits Times. Di bawah pemerintahan Najib, NST mendukung pemerintah, tetapi bersikap kritis terhadap oposisi Mahathir.

"Kami sekarang adalah surat kabar oposisi," Abdul Jalil Hamid, CEO NST, mengatakan pada staf balai kota yang bertemu seminggu setelah kemenangan mengejutkan Mahathir. Ia juga mengimbau para wartawannya utuk memberikan pemberitaan yang adil terhadap pemerintahan Mahathir dan oposisi.