Liputan6.com, Katowice - Emisi karbon dioksida (CO2) yang memicu pemanasan global dikabarkan telah meningkat secara substansial, dan diperkirakan akan mencapai rekor tertinggi dalam sejarah pada tahun ini, kata para ilmuwan lingkungan dalam sebuah laporan baru.
Setelah tiga tahun hampir tidak ada pertumbuhan, emisi karbon dari bahan bakar fosil dan industri diperkirakan akan meningkat sebesar 2,7 persen pada 2018, menurut laporan tahunan oleh Global Carbon Project, sebuah kolaborasi ilmiah internasional dari akademisi, pemerintah dan industri yang melacak emisi gas-gas rumah kaca.
Laporan yang dirilis pada Rabu 5 Desember itu, merupakan salah salah satu putusan dari hasil perundingan oleh hampir 200 perwakilan negara pada konferensi perubahan iklim, yang diselenggarkan oleh PBB di Polandia, untuk membahas implementasi Perjanjian Paris.
Advertisement
Dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (6/12/2018), mengurangi emisi karbon adalah komitmen paling penting dari perjanjian bersejarah di Paris pada 2015, yang bertujuan untuk memerangi perubahan iklim dengan menjaga kenaikan suhu global antara 1,5 hingga 2 derajat Celsius.
Baca Juga
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan pada pekan lalu, bahwa 2018 adalah catatan rekor tahun terpanas dalam sejarah, sekaligus menunjukkan peningkatan suhu yang signifikan dalam 22 tahun terakhir.
Laporan tersebut juga menyebut dunia telah menghasilkan 37,1 miliar metrik ton emisi karbon dioksida per tahun, naik dari 36,2 miliar metrik ton pada 2017.
China menghasilkan 27 persen dari emisi global tahun lalu, diikuti oleh Amerika Serikat sebanyak 15 persen, Uni Eropa 10 persen, dan India tujuh persen.
Emisi bahan bakar fosil diperkirakan tahun ini, tumbuh sebesar 4,7 persen di China, 6,3 persen di India dan 2,5 persen di AS, namun turun sebanyak 0,7 persen di Uni Eropa.
Laporan itu mengatakan bahwa emisi CO2 di China terus meningkat hingga 40 persen seiring penggunaan masif batu bara, yang mencapai sekitar 60 persen dari total konsumsi energi negara.
Adapun, pertumbuhan emisi di AS sebagian didorong oleh cuaca, sementara emisi India terus meningkat sejalan dengan ekonomi yang sedang bergairah.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Diperlukan Tindakan Tegas
Para ilmuwan mengatakan perhitungan di atas menempatkan sebagian dari tujuan Perjanjian Paris hampir di luar jangkauan
Jens Mattias Clausen, penasihat perubahan iklim Greenpeace, mengatakan laporan itu menggarisbawahi perlunya tindakan mendesak.
"Ada banyak politikus berbicara tentang semua hal yang ingin mereka lakukan, serta semua tujuan jangka panjang dan strategi yang mereka miliki, tetapi dalam hal tindakan, kami tidak melihatnya," kata Clausen kepada kantor berita Associated Press, di sela-sela konferensi perubahan iklim di Katowice, Polandia.
"Jadi pada dasarnya itulah yang kami minta mereka lakukan, hanya benar-benar menjadi pemimpin, bukan hanya seorang politikus."
Sementara itu, AS telah berjanji untuk menarik diri dari perjanjian Paris, tetapi tidak mungkin bisa melakukannya sebelum 2020.
Negara-negara industri lainnya, termasuk China, telah berjanji untuk menerapkan kesepakatan tersebut dengan mempertimbangkan keadaan nasional mereka.
The Global Carbon Project --lembaga pemerhati karbon global-- memperingatkan bahwa meskipun emisi CO2 mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah, namun hal itu kemungkinan akan terus meningkat seiring dengan berlanjutnya ekspansi ekonomi.
"Puncak dalam emisi global belum terlihat," katanya.
Advertisement