Sukses

Mahathir Mohamad: Korupsi Telah Menjadi Bagian dari Budaya Melayu

Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad mengatakan bahwa korupsi telah lama menjadi bagian dari budaya Melayu. Ini penjelasannya.

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan bahwa korupsi telah menjadi bagian budaya Melayu sejak lama.

Ditambahkan olehnya, mereka yang rusak oleh budaya tersebut, sudah tidak peduli dengan masa depan negara.

Dikutip dari Asia One pada Kamis (6/12/2018), Mahathir juga menyinggung tentang kebiasaan para koruptor yang saling melempar kesalahan ketika ketahuan menarima suap.

"Orang-orang yang menerima budaya korupsi ini, tidak lagi merasa malu atau malu dengan menerima atau memberi suap," katanya.

Mahathir Mohamad mengatakan ketika sebuah komunitas menerima korupsi sebagai tindakan normal yang dilakukan secara terbuka, tidak ada lagi perasaan salah dalam penyuapan dan penerima.

Dia mengatakan dalam mentalitas "uang adalah raja", korupsi telah menjadi nilai dalam kehidupan dan budaya, terutama di antara orang Melayu.

"Konflik dengan hukum, dan bahkan berdosa dalam hal agama, tidak diperhitungkan."

"Prioritasnya adalah mendapatkan sesuatu untuk memenuhi keserakahan mereka," tambahnya.

Perdana Menteri asal Langkawai itu juga mengatakan bahwa mereka yang menerima korupsi tidak berpikir panjang tentang dampaknya bagi masyarakat.

"Sudah pasti bahwa nasionalisme, yang menaungi perbedaan suku bangsa, tidak akan lebih penting bagi mereka ketika menerima suap," kritik Mahathir Mohamad, merujuk pada semakin bertambahnya terduga kasus korupsi 1MDB, yang diduga berada di bawah kendali mantan Perdana Menteri Najib Razak.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Mahathir Mohamad Menjamin Kebebasan Pers

Sementara itu, PM Mahathir Mohamad sempat menyatakan media massa dapat bebas mewartakan kabar apapun, meski tidak mengenakan bagi pemerintah.

Pernyataan di atas merupakan perwujudan dari janji kampanye pada pemilu Malaysia 2018 lalu, yang menjanjikan kebebaan pers di Negeri Jiran, suatu kondisi 180 derajat berbeda dengan pemerintahan sebelumnya oleh Najib Razak.

Komitmen Mahathir dibuktikan dengan menghapus undang-undang anti-berita palsu (fake news) yang --meski tampak berjudul positif-- justru bersifat represif dan diberlakukan oleh Najib untuk mengekang pers jelang pemilu 2018.

Kini, PM Mahathir mendorong pers untuk melaksanakan tugasnya se-ideal mungkin, "Bahkan jika pemerintah tidak suka mendengarnya, pers bebas untuk menginformasikan," ujarnya beberapa hari setelah mengalahkan koalisi Front Nasional yang dipimpin Najib, seperti dikutip dari Nikkei Asian Review.

Visi Mahathir kemudian mendorong pers Malaysia untuk lebih tajam dalam melaporkan berita, termasuk, dalam hal mengkritik pemerintahannya saat ini.