Sukses

Australia Siap Mengakui Yerusalem Jadi Ibu Kota Israel?

Australia dikabarkan akan secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel setelah pertemuan kabinet. Benarkah demikian?

Liputan6.com, Canberra - Pemerintahan Perdana Menteri Australia Scott Morrison kabarnya akan secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel setelah pertemuan kabinet pada awal pekan ini. Tetapi, rencana itu tidak akan diumumkan sampai pertemuan dewan pemerintahan Australia (COAG) pada Rabu 12 Desember 2018 mendatang.

Surat kabar setempat, The Australian melaporkan bahwa keputusan itu akan diratifikasi oleh kabinet Australia dalam pertemuan pada Selasa 11 Desember 2018 waktu setempat, setelah komite keamanan nasional menyetujuinya pada Senin malam, demikian seperti dikutip dari SBS Australia, Selasa (11/12/2018).

Namun, pernyataan itu tidak mencakup penetapan pemindahan kedutaan Australia untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem --sebagaimana telah diumumkan oleh PM Morrison sejak Oktober 2018 lalu.

Bagaimanapun, meski pemindahan kedubes belum dilakukan, Australia telah berencana untuk membuka kantor konsulat di Yerusalem --kata sejumlah sumber yang dikutip oleh media setempat-- dengan biaya realisasi senilai US$ 200 juta.

Sebelumnya, rencana Australia untuk memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem menuai kritik dari tetangga terdekat Negeri Kanguru, Indonesia.

Pada Oktober 2018, mantan Perdana Menteri Malcolm Turnbull --bertindak sebagai delegasi Australia-- bertemu dengan Presiden Indonesia Joko Widodo dalam Our Ocean Conference di Bali. Pada saat itu, Presiden Jokowi memperingatkan "keprihatinan serius" tentang rencana pemindahan kedutaan Australia dari Tel Aviv ke Yerusalem.

"Itu akan disambut dengan reaksi yang sangat negatif di Indonesia. Mengigat, Indonesia adalah negara mayoritas muslim terbesar di dunia," kata Turnbull kepada wartawan.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Rencana Australia Bermuatan Politis

Perdana Menteri Australia Scott Morrison, pada 16 Oktober 2018, mempertimbangkan opsi untuk memindahkan kedutaan Australia di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Rencana itu dinilai bermuatan politis domestik, karena, diumumkan menjelang pemilihan anggota House of Representative Australia (setara DPR) yang diselenggarakan pada 20 Oktober 2018. Tujuannya, demi mendulang suara calon pemilih Yahudi --sebanyak 12 persen-- kepada kandidat dari partai yang sama dengan Morrison, Partai Liberal Australia.

Palestina dan sejumlah negara pendukungnya, termasuk Indonesia, mengkhawatirkan keras rencana tersebut.

Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki, pada 16 Oktober, mengatakan bahwa niat Australia --jika terlaksana-- merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan berbagai Resolusi Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB.

Maliki juga mengatakan, "Niat Australia berisiko mengganggu hubungan bisnisnya dengan seluruh dunia, terutama, negara Arab dan negara mayoritas muslim."

Indonesia, sebagai salah satu negara pendukung setia Palestina, mengkhawatirkan dan mempertanyakan niat Australia tersebut.

"Indonesia menyatakan kekhawatirannya terhadap pengumuman Australia dan kami mempertanyakan maksud dari hal itu," kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi saat menyampaikan keterangan pers bersama dengan Menlu Maliki di Jakarta pada 16 Oktober 2018.

Retno juga menjelaskan bahwa isu Yerusalem merupakan salah satu dari 6 isu yang harus dinegosiasikan dan diputuskan sebagai bagian akhir dari perdamaian yang komprehensif. Itu sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB serta kesepakatan berbagai proses perundingan yang telah dilakukan.

"Karena itu Indonesia meminta Australia dan negara lain untuk terus mendukung proses perdamaian Palestina-Israel sesuai dengan kesepakatan yang sudah disepakati dan tidak ambil langkah yang dapat mengancam proses perdamaian dan stabilitas keamanan dunia."