Liputan6.com, Tel Aviv - Australia mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel. Namun, pihak Tel Aviv justru mengisyaratkan ketidaksenangan atas langkah Canberra tersebut.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga memilih 'diam' dalam rapat mingguan kabinet. Ia sama sekali tak menanggapi apapun langkah Australia. Padahal, kepala pemerintahan negeri zionis itu kerap menggunakan pertemuan tersebut untuk bicara ke publik soal perkembangan diplomatik.
Namun, seperti dikutip dari The Guardian, Senin (17/12/2018), seorang menteri yang dekat dengan Netanyahu mengatakan, pengakuan Australia justru kontradiktif dengan niat Israel untuk mengklaim Yerusalem secara keseluruhan.
Advertisement
Baca Juga
Israel menganeksasi Yerusalem Timur dalam Perang Enam Hari (Six-Day War) pada 1967 dan mengklaim kota suci tiga agama itu sebagai ibu kotanya, meski langkah itu tidak diakui secara internasional.
Tahun lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga sekonyong-konyong mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Meski, Washington DC tak terang-terangan menyebut soal batas wilayahnya, timur atau barat.
Sementara itu, Perdana Menteri Australia, Scott Morrison pada Sabtu kemarin secara resmi mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Israel. Namun, Negeri Kanguru menegaskan lagu dukungannya pada Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina di bawah kesepakatan dua negara (two-state solution).
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Israel merespons dengan hangat keputusan Australia.
"Itu adalah langkah ke arah yang benar," kata Netanyahu pada Minggu kemarin.
Sementara Tzachi Hanegbi, menteri kerja sama regional sekaligus orang dekat Netanyahu di partai sayap kanan, Likud secara terang-terangan menyampaikan kritik.
"Yang kami sesalkan, di dalam berita positif tersebut, mereka membuat kesalahan," kata dia kepada jurnalis di luar ruang kabinet.
Ia menyebut Canberra sebagai teman dekat dan baik selama bertahun-tahun. Namun, Hanegbu menambahkan, "Tak ada pemisahan antara bagian timur dan barat kota. Yerusalem adalah sebuah kesatuan. Kekuasaan Israel atas kota tersebut adalah abadi. Kedaulatan tersebut tidak bisa dibagi-bagi dan tak bisa dipecah. Kami harap Australia segera memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat."
Langkah PM Australia Morrison kali pertama terkuak pada Oktober. Kala itu, rencananya tersebut ditanggapi sinis di Australia sebab hanya beberapa hari sebelum pemilihan penting, yang melibatkan representasi Yahudi yang kuat. Namun, partainya kalah.
Di sisi lain, kepala negosiator Palestina, Saeb Erekat mengatakan, langkah tersebut lahir dari 'situasi politik domestik' di Australia.
"Isu status final Yerusalem masih dinegosiasikan, sementara Yerusalem Timur, di bawah hukum internasional, adalah bagian yang integral dari wilayah Palestina yang diduduki."
Kebijakan Australia soal Timur Tengah
Pada 15 Desember 2018, Pemerintah Australia mengumumkan kebijakan terkait Timur Tengah.
Ada empat elemen penting dalam kebijakan tersebut. Pertama, Australia tetap berkomitmen untuk solusi dua negara dan pembentukan Negara Palestina yang tetap merupakan satu-satunya jalur untuk menyelesaikan sengketa Israel-Palestina.
Kedua, "Australia tidak akan memindahkan Kedutaan besar kami dari Tel Aviv. Kedubes Australia di Israel tidak akan dipindahkan ke Yerusalem Barat sampai status final Yerusalem telah diputuskan melalui negosiasi antara Pakistan dan Israel."
Yang ketiga, Australia mengakui Yerusalem Barat sebagai tempat parlemen Israel dan banyak lembaga pemerintahan, sebagai ibu kota Israel.
Dan, yang terakhir, "Sesuai dengan komitmen kami untuk solusi dua negara, Pemerintahan Australia mengakui aspirasi rakyat Palestina untuk sebuah negara masa depan dengan ibu kota di Yerusalem Timur."
Advertisement