Sukses

Irak Bangun Kembali Masjid Bersejarah yang Rusak Saat ISIS Berkuasa

Irak kembali membangun masjid bersejarah yang rusak akibat perang terhadap ISIS.

Liputan6.com, Mosul - Seorang pemimpin Muslim Sunni meletakkan batu pertama untuk menandai dimulainya pembangunan kembali Al-Nuri, masjid Abad ke-11 yang ikonik di kota Mosul, Irak, pada Minggu 16 Desember.

Tiga tahun pertempuran antara ISIS dan pasukan pemerintah Irak telah menyebabkan bangunan bersejarah itu hancur.

Dikutip dari VOA Indonesia pada Senin (17/12/2018), bangunan yang masih tersisa adalah gerbang batu, kubah hijau penuh coretan, dan sebagian fondasi menara masjid.

Para pejabat PBB dan beberapa duta besar Eropa bergabung bersama para pemimpin politik dan pemuka agama Irak dalam upacara peletakan batu tersebut.

Upaya revitalisasi Al-Nuri didanai oleh sumbangan senilai US$ 50 juta (setara Rp 728 miliar) dari Uni Emirat Arab. Diperkirakan pembangunan ulang tersebut akan memakan waktu sedikitnya lima tahun.

Berdasarkan sejarahnya, setelah menjadi lokasi peribadatan umat muslim selama sepuluh abad, Masjid Al-Nuri mengalami periode yang sangat gelap, yakni ketika Abu Bakr al-Baghdadi memproklamirkan Mosul sebagai ibu kota ISIS pada 2014.

Kala itu, masjid tersebut sempat menjadi salah satu markas pergerakan ISIS, yang mau tidak mau membuatnya rawan hancur akibat perang.

Hanya sedikit yang tersisa dari masjid itu setelah ISIS dikalahkan. Perwakilan UNESCO di Irak, Louise Haxthausen, menyebut pengrusakan masjid itu menjadi "momen horor dan putus asa".

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

ISIS Tidak Kalah, tapi...

Sementara itu, laporan terbaru dari sekumpulan ahli Timur Tengah menyebut bahwa, meski ISIS tersudut di kantong terakhir mereka di Suriah Timur, namun kelompok radikal tersebut dinilai belum kalah sedikit pun.

Disebutkan bahwa ISIS telah lama bersiap menyerahkan wilayah yang pernah dikuasainya, dan telah mulai beralih ke peran yang lebih rahasia, lebih dekat ke akarnya.

"ISIS mengantisipasi kekalahan di medan perang, juga kehilangan kekhalifahan, di mana kemudian mempersiapkan rencana baru yang lebih besar," kata Profesor Bruce Hoffman, seorang pakar terorisme di Georgetown University, negara bagian Washington.

"Ratusan militan ISIS mampu melarikan diri dari Suriah, melakukan suap melalui Suriah ke Turki dan dengan demikian menghilang," lanjutnya, sebagaimana dikutip dari The Straits Times.

Dalam penelitian terbaru yang berjudul "Kebangkitan Kedua ISIS", Brandon Wallace dan Jennifer Cafarella dari Institut Kajian Perang (ISW) yang bermarkas di Washington, mengatakan kelompok ekstremis "telah merestrukturisasi operasinya untuk kembali ke pemberontakan regional".

"ISIS sedang mencari sumber-sumber pendapatan baru, membangun kembali komando dan kontrol atas sisa pasukannya yang tersebar, untuk mempersiapkan pemberontakan skala besar masa depan di Irak dan Suriah," kata laporan itu.