Sukses

19-12-2002: Dari Istana ke Penjara, Tragedi Presiden Perempuan Pertama Korsel

Pada 2002, untuk kali pertama dalam sejarah, seorang perempuan diangkat sebagai presiden ke-18 Korea Selatan. Namanya, Park Geun-hye.

Liputan6.com, Seoul - Pada Kamis 19 Desember 2002, Korea Selatan mencatatkan sejarah baru. Untuk kali pertama dalam sejarah, seorang perempuan diangkat sebagai presiden ke-18 di Negeri Ginseng. Namanya, Park Geun-hye.

Park meraup suara mayoritas, mengalahkan rival terberatnya Moon Jae-in. Pasca-keunggulannya diumumkan, perempuan kelahiran 1952 itu dielu-elukan para pendukung yang menyemut di luar rumahnya yang megah di Distrik Gangnam, Seoul.

Kala itu, Park Geun-hye menyebut kemenangannya adalah pertanda bahwa perekonomian negaranya akan membaik.

Park, yang mengaku tak pernah menikah dan tak memiliki anak, mengklaim rela mengorbankan dirinya untuk masyarakat.  Ia juga siap mewarisi banyak masalah ekonomi saat mulai menjabat sebagai presiden pada 25 Februari 2003.

Park Geun-hye ketika disumpah sebagai presiden perempuan pertama Korsel (AP/Lee Jin-man)

Jalan yang ditempuh Park Geun-hye menuju Blue House sama sekali tak mudah. Terjal bahkan. Ia harus mengatasi ketidaksukaan banyak orang soal masa lalunya.

Park Geun-hye adalah putri mantan Presiden Korea Selatan Park Chung-hee yang pernah memerintah dengan tangan besi selama 18 tahun.

Pada usia 22 tahun, Park berperan sebagai Ibu Negara Korsel pada 1974 hingga 1979, pascakematian Yuk Young-soo, sang ibu. Kala itu, peluru yang menargetkan presiden justru bersarang di kepala istrinya.

Presiden Korea Selatan Park Chung-hee dan istrinya Yuk Young-soo (AP)

Park juga pernah nyaris tewas saat seorang pria menyerang wajahnya dengan senjata tajam.

"Saat berusia 22 tahun, saya menyandang tugas yang tak terduga, sebagai pelaksana Ibu Negara. Itu karena saya memiliki tanggung jawab untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kematian ibu saya di tangan seorang teroris Korea Utara," kata Park seperti dikutip dari BBC News.

Selain itu, partai tempat Park Geun-hye bernaung, Saneuri, dituduh terlalu dekat dengan konglomerasi atau chaebol yang mendominasi perekonomian Korea Utara.

Dan, fakta bahwa dia seorang perempuan sempat jadi bahan pembicaraan para pakar, meski akhirnya terbukti itu tak terlalu berpengaruh dalam pemilihan.

Pemilu kala itu memikat warga Korea Selatan, yang ramai-ramai memberikan suaranya meski harus susah payah menuju lokasi pemilihan suara di tengah kondisi cuaca yang beku. Angka partisipasi pemilih mencapai 75,8 persen, yang tertinggi dalam kurun waktu 15 tahun.

Para pemilih terbelah soal kemampuan Park Geun-hye mengatasi permasalahan ekonomi yang menumpuk, meningkatkan kesejahteraan bagi populasi yang menua, dan memperbaiki hubungan dengan Korut pasca-memburuknya situasi lintas perbatasan di bawah kepemimpinan presiden garis keras Lee Myung-bak.

Warisan kepemimpinan sang ayah Park Chung-hee selama 33 tahun juga ditanggapi berbeda. Generasi tua yang lebih konservatif menganggapnya berhasil mendorong industrialisasi yang cepat dan meletakkan fondasi bagi ekonomi yang kuat saat ini. Sementara, yang lain tak pernah lupa tindakan kerasnya yang kejam terhadap lawan-lawan politik, menyiksa bahkan mengeksekusinya.

"Dia akan menyelamatkan negeri kita. Ayahnya telah menyelamatkan negara ini," kata salah satu pendukung Park Geun-hye, Park Hye-sook, yang berusia 67 tahun saat diwawancara, seperti dikutip dari The Guardian Selasa (18/12/2018).

Moon Jae-in, lawan berat Park Geun-hye adalah mantan aktivis pro-demokrasi yang pernah dipenjara selama kekuasaan Park Chung-hee.

Saksikan video terkait Korea Selatan berikut ini:

 

2 dari 2 halaman

Dari Istana ke Penjara

Namun, peruntungan Park Geun-hye di dunia politik meredup tahun lalu. Bahkan pada 10 Maret 2017 ia dimakzulkan atas tuduhan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Sejak pemakzulannya oleh Mahkamah Konstitusi, ia nyaris kehilangan seluruh fasilitas yang berhak didapatkan oleh mantan presiden, mulai dari sebuah kantor, staf pribadi, dan tunjangan pensiun.

Ratusan pendukung mengibarkan bendera nasional menyambut mantan Presiden Korsel, Park Geun-hye di rumah pribadinya di Seoul, Minggu (12/3). Park Geun-hye meninggalkan Blue House setelah resmi dimakzulkan Mahkamah Konstitusi (MK) Korsel. (str/YONHAP/AFP)

Belakangan, Pengadilan Distrik Pusat Seoul mengeluarkan surat penangkapan terhadap Park setelah ia menjalani penyelidikan kurang lebih selama sembilan jam.

Tak hanya kehilangan kebebasannya, Park Geun-hye juga dilarang menyanggul rambutnya.

Saat masih menjabat sebagai Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye selalu tampil di muka publik dengan gaya rambut disanggul kecil. Gaya tersebut juga dipakai sang ibu, Yuk Young-soo, mantan First Lady Korsel yang dibunuh tahun 1974.

Sementara, Narapidana di Pusat Penahanan Seoul tidak diizinkan menyimpan jepit rambut yang terbuat dari logam karena benda itu bisa digunakan untuk melukai diri sendiri.

"Ketika dia bangun di pagi hari dan menyadari bahwa dia tidak bisa menata rambutnya lagi, maka dia akan mulai menghadapi kenyataan yang sebenarnya," ujar Lee Yong-ju, mantan jaksa yang kini duduk di kursi parlemen dari pihak oposisi.

Park menjalani kehidupan baru berbanding 180 derajat dari sebelumnya.

Dari istana presiden berjuluk Blue House kini ia mendekam di sel penjara seorang diri, mengonsumsi makanan seharga US$ 1,3 atau Rp 17.000, mencuci nampan sendiri, dan tidur di kasur lipat yang digelar di lantai.

Seperti dilansir New York Times, Sabtu (1/4/2017), begitu tiba di pusat penahanan, pakaian Park berganti menjadi jumpsuit berwarna hijau, sesuai dengan tahanan lainnya. Ia difoto, menjalani pemeriksaan medis, dan diantar menuju sel isolasi.

Sel isolasi memang digunakan untuk menahan politikus dan konglomerat, demi menjamin keamanan mereka. Petugas penjara menolak mengungkap ukuran sel yang akan dihuni Park.

Setiap sel disebut memiliki satu set TV, wastafel, lemari kecil, dan meja baca yang juga berfungsi sebagai meja makan. Petugas menjelaskan, TV hanya menampilkan program resmi Departemen Kehakiman.

Para tahanan diizinkan menghabiskan waktu 45 menit untuk beraktivitas di luar ruangan.

Tidak ada batasan bagi kunjungan pengacara dan kebanyakan tahanan kaya akan lebih sering menghabiskan waktu dengan kuasa hukum mereka dibanding seorang diri di sel.

Begitu juga dengan Park. Ia diperkirakan akan lebih sering bertemu dengan pengacara untuk mempersiapkan persidangannya.

Dalam pernyataannya, jaksa menyebut, Park tidak diberikan akses untuk bertemu dengan penata gaya, koki pribadi, ahli bedah plastik, spesialis perawat kulit atau terapis fisik yang kerap mengunjunginya di Blue House.

Pada Juli 2018, Park Geun-hye, divonis pidana penjara hingga total 33 tahun atas kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilimpahkan padanya.

Mantan Presiden Korea Selatan (Korsel) Park Geun-hye melambaikan tangan dari dalam mobil setibanya di rumah pribadinya di Seoul, Minggu (12/3). Geun-hye meninggalkan Blue House setelah resmi dimakzulkan Mahkamah Konstitusi (MK) Korsel. (str/YONHAP/AFP)

 

Park diduga menghambur-hamburkan uang negara untuk membayar tagihan rumah pribadinya, membiayai sebuah butik yang dikelola oleh sahabat karibnya Choi Soon-sil, serta mendanai tujuan pribadi lainnya --termasuk pijat.

Choi juga ditetapkan sebagai tersangka karena telah mengambil keuntungan dari 'ikatan pribadi' dengan Geun-hye. Dia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, penyuapan dan campur tangan dalam urusan negara.

Selain terpilihnya perempuan pertama sebagai presiden Korea Selatan, sejumlah kejadian bersejarah terjadi pada tanggal 19 Desember.

Pada 1997, pesawat Singapura SilkAir MI185 jatuh ke Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan sekitar pukul 16.12 WIB.

104 orang di dalamnya -- 97 penumpang dan 7 awak pesawat tewas. Tak ada jasad yang berhasil ditemukan utuh. Penyebab kecelakaan juga masih menjadi misteri hingga saat ini.

SilkAir MI185 yang terbang dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Singapura jatuh menghujam dalam posisi nyaris vertikal, dari ketinggian 12.000 kaki atau 3.700 meter. Lalu membentur bumi. Sejumlah bagian termasuk sebagian besar ekor mulai terpisah dari badan pesawat, karena kekuatan banturan yang ditimbulkan dari kecepatan burung besi saat itu mendekati supersonik.

Beberapa detik kemudian, burung besi itu jatuh ke Sungai Musi.

Sementara, pada 19 Desember 1997, film dengan perolehan box office tertinggi sepanjang sejarah (hingga tahun 2005), Titanic, mulai diedarkan di bioskop.