Liputan6.com, Beijing - Chaudhry Javed Atta terakhir kali melihat istrinya sekitar lebih dari setahun lalu. Setelah itu, sedikit pun ia tidak pernah mendengar kabar tentang belahan jiwanya, yang menurut desas-desus tetangga, menjadi bagian dari warga Uighur yang dimasukkan ke dalam kamp pengasingan oleh pemerintah China.
Pria asal Pakistan yang berprofesi sebagai pedagang buah itu ingat, dia meninggalkan istrinya di rumah mereka di wilayah Xinjiang--yang dipenuhi oleh etnis muslim Uighur--di wilayah China barat laut, untuk kembali ke negaranya guna memperbarui visa.
Dia ingat hal terakhir yang diucapkan oleh sang istri, "Segera setelah engkau pergi, mereka akan membawaku ke kamp dan aku tidak akan kembali."
Advertisement
Baca Juga
Kejadian pilu itu terjadi pada 2017, ketika Atta dan istrinya, Amina Manaji, telah menikah selama 14 tahun. Atta adalah salah satu dari ratusan pengusaha Pakistan yang pasangannya telah menghilang, dibawa oleh pihak berwenang China ke tempat yang mereka sebut sebagai kamp pelatihan.
Beijing telah dituduh menginternir banyak warga minoritas muslim Uighur untuk "dididik kembali", terkait dengan keyakinan yang mereka anut.
Oleh dunia internasional, hal ini dilihat sebagai respons terhadap kerusuhan dan serangan kekerasan yang dituduhkan pemerintah pada kelompok separatis di China barat laut.
Etnis Uighur dan Kazakh di China mengatakan kepada kantor berira Associated Press bahwa tindakan yang tidak berbahaya seperti bersembahyang, melihat situs web asing atau menerima panggilan telepon dari kerabat di luar negeri, bisa membuat mereka ditangkap dan dijebloskan ke kamp pengasingan.
Sebenarnya, siapakah etnis Uighur itu? Mengapa mereka terlibat konflik dengan pemerintah China? Apa yang membuat mereka perlu "dimasukkan" ke dalam kamp pelatihan?
Mengutip dari Voice of America, Selasa (18/12/2018), berikut adalah beberapa rangkuman singkat mengenai kontroversi seputar kehidupan Uighur.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Profil Singkat Uighur
Warga Uighur adalah kelompok etnis minoritas yang sebagian besar beragama Islam, dan terutama berbasis di wilayah Xinjiang, di barat laut China.
Mereka cenderung memiliki lebih banyak kesamaan budaya dengan orang-orang di negara-negara Asia Tengah dibandingkan etnis Han di China. Bahasa mereka terkait dengan bahasa Turki dan juga memiliki kesamaan dengan bahasa Uzbek, Mongol, Kazakh, dan Kyrgyz.
Islam adalah bagian penting dari identitas mereka. Sebagian besar mempraktekkan bentuk moderat dari ajaran Sunni, dan beberapa meneladani aliran Sufi. Lebih dari itu, orang Uighur cenderung memiliki lebih banyak ciri fisik Mediterania dibandingkan karakteristik Han China.
Sensus penduduk China pada 2010 menempatkan jumlah penduduk Uighur, berada lebih dari 10 juta jiwa, yakni kurang dari 1 persen dari total populasi Negeri Tirai Bambu. Meski begitu, mereka adalah kelompok etnis terbesar di wilayah otonomi Xinjiang.
Advertisement
Di Mana Mereka Tinggal?
Sebagian besar etnis Uighur tinggal di wilayah otonomi Xinjiang, yang merupakan wilayah terluas di China.
Xinjiang secara strategis penting bagi China, karena berbatasan dengan delapan negara, yakni Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.
Hingga saat ini, penduduk Xinjiang didominasi oleh orang Uighur, tetapi masuknya etnis Han ke wilayah itu, kian memicu ketegangan di antara kedua kelompok.
Xinjiang kaya akan sumber daya alam, dan ekonominya sebagian besar berputar di sekitar pertanian dan perdagangan. Kota-kotanya pernah menjadi titik penghentian utama di sepanjang Jalan Sutra yang terkenal di masa lampau.
Apa yang sekarang dikenal sebagai Xinjiang berada di bawah kekuasaan China sejak Abad ke-18. Wilayah ini mengalami periode kemandirian yang singkat di tahun 1940-an, tetapi Beijing kembali mendapat kontrol ketika Komunis mengambil alih kekuasaan pada 1949.
Mengapa Uighur Berkonflik dengan China?
Xinjiang telah mengalami pergeseran demografi besar dalam 70 tahun terakhir. Orang Uighur menjadi 75 persen yang mendominasi populasi di kawasan itu pada 1945, tetapi kemudian turun menjadi sekitar 45 persen saat ini.
Hal tersebut disebabkan oleh eksodus besar-besaran masyarakat etnis Han ke kota-kota di Xinjiang, di mana mereka tertarik oleh proyek-proyek pembangunan besar yang telah membawa kemakmuran di wilayah tersebut.
Namun, orang Uighur mengeluh bahwa pekerjaan terbaik selalu diberikan kepada etnis Han, yang kemudian memiliki tingkat ekonomi lebih baik. Hal tersebut, pada akhirnya, memicu kebencian antar kelompok.
Populasi Han China telah tumbuh dari 9 persen pada 1945 menjadi 40 persen saat ini. China juga mengerahkan sejumlah besar pasukan yang ditempatkan di wilayah tersebut.
Seiring perubahan demografi, aktivis mengatakan kemampuan Uighur untuk terlibat dalam kegiatan bisnis dan budaya telah secara bertahap dibatasi oleh pemerintah China. Mereka juga mengatakan pemerintah menempatkan pembatasan keras terhadap Islam, menuding tradisi muslim konvensional sebagai "ekstremisme".
Laporan media mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Xinjiang menyelenggarakan upacara umum dan penandatanganan, di mana etnis minoritas mengucapkan janji setia kepada Partai Komunis China.
Advertisement
Kapan Ketegangan Terjadi antara Uighur dan China?
Ketegangan antara orang Uighur dan pemerintah China meningkat pada 1990-an, ketika dukungan untuk kelompok separatis meningkat di Xinjiang. Kelompok-kelompok itu terinspirasi oleh runtuhnya Uni Soviet dan munculnya negara-negara muslim merdeka di Asia Tengah.
Dunia internasional menuduh China mengintensifkan tindakan kerasnya terhadap orang-orang Uighur menjelang Olimpiade Beijing pada 2008, tetapi ketegangan meningkat secara dramatis pada 2009.
Kerusuhan terjadi pada tahun itu di ibu kota daerah, Urumqi, dan para pejabat China mengatakan sekitar 200 orang terbunuh, sebagian besar dari mereka adalah etnis Han. Beijing berpendapat bahwa tindakan keras diperlukan untuk menghentikan penyebaran sentimen separatis.
Ketegangan meningkat lagi pada 2016, ketika seorang sekretaris baru partai kala itu, Chen Quanguo, berkunjung ke Xinjiang, untuk menetapkan kebijakan garis keras yang serupa terjadi sebelumnya di Tibet.
Sejak itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh China sengaja menempatkan satu juta orang Uighur di kamp-kamp pengasingan.
China mengatakan telah menempatkan Uighur di "pusat pendidikan kejuruan" untuk menghentikan penyebaran ekstremisme agama, dan untuk menghentikan gelombang serangan teroris.
Namun, kritik terlanjur meluas terhadap kebijakan China, yang mengatakan tindakan tersebut bertujuan untuk menghancurkan identitas Uighur.