Liputan6.com, Seoul - Ribuan warga Korea Selatan menggugat pemerintah setempat untuk membayar kompensasi atas kerja paksa pada perusahaan-perusahaan Jepang selama Perang Dunia II.
Tuntutan yang diajukan di pengadilan Seoul pada Rabu 19 Desember itu menjadi putaran baru dalam rangkaian perselisihan sejarah di antara kedua negara.
Dikutip dari The Straits Times pada Kamis (20/12/2018), sebanyak 1.103 mantan korban kerja paksa dan keluarga mereka menuntut pemerintah Korea Selatan membayar 100 juta won (setara Rp 1,2 miliar) per orang. Desakan itu muncul karena otoritas Negeri Ginseng telah menerima dana ganti rugi dari Jepang.
Advertisement
Baca Juga
Seoul dan Tokyo telah berjuang menyelaraskan diri dengan keputusan penting pada Oktober lalu, ketika Mahkamah Agung Korsel menyatakan perusahaan Jepang, Nippon Steel & Sumitomo Metal Corp, harus membayar tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh empat korban kerja paksa.
Mereka mendasarkan gugatannya pada hak-hak yang belum terpenuhi sejak perjanjian diplomatik 1965, di mana menjadi titik balik perdamaian kedua negara.
Berdasarkan kesepakatan itu, Korea Selatan menerima sekitar US$ 800 juta (setara Rp 11,5 triliun) dalam bantuan ekonomi dan pinjaman dari Jepang sebagai ganti rugi kerusakan selama perang.
Oleh pemerintah di Seoul, uang itu dihabiskan untuk membangun kembali infrastruktur dan ekonomi rusak oleh Perang Korea 1950-53.
Simak video pilihan berikut:
Berbagi Sejarah Pahit
Sementara itu, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengatakan pada pekan lalu, bahwa dia sangat menghormati keputusan untuk menegakkan hak individu terkait kompensasi.
Aksi unjuk rasa terbaru itu menambah tiga tuntutan yang telah diajukan sebelumnya oleh 283 korban kerja paksa --bersama dengan keluarga mereka-- pada tengah tahun ini.
"Pemerintah harus memberi kompensasi kepada kami terlebih dahulu, mengambil tanggung jawab untuk memanfaatkan dengan baik, uang yang diambil dari perjanjian 1965," kata kelompok itu pada konferensi pers di Seoul.
Korea Selatan dan Jepang berbagi sejarah pahit dalam Perang Asia Raya pada 1910-1945, yang turut memporak-porandakan Semenanjung Korea.
Kala itu, Jepang diketahui melakukan mobilisasi paksa tenaga kerja di perusahaan-perusahaan negara itu, serta penerapan kebijakan eufemisme kepada wanita dewasa dan anak gadis --banyak dari mereka orang Korea-- yang dipaksa bekerja di rumah bordil di masa perang.
Advertisement