Liputan6.com, Kiev - Antonov AN-225 Mriya, yang diberi kode 'Cossack' oleh NATO adalah pesawat kargo terbesar di dunia bikinan Perusahaan Antonov. Nama belakangnya, Mriya, dalam Bahasa Ukraina berarti 'Mimpi'.
Antonov An-225 -- yang merupakan versi lebih besar dari kapal terbang militer Antonov An-124 --dirancang untuk membawa muatan dua kali lebih banyak dari pesawat angkut Boeing 747.
Advertisement
Baca Juga
Dimensinya pun mengagumkan. AN-225 adalah pesawat terpanjang dan terberat yang pernah mengudara di dunia. Berat maksimum saat lepas landas atau takeoff weight sekitar 640 ton. Panjangnya dari hidung ke pucuk ekor mencapai 84 meter dan rentang sayap mencapai 88,4 meter -- nyaris sepanjang lapangan sepak bola.
Antonov AN-225 Mriya awalnya dibuat sebagai alat pengangkut pesawat ulang-alik Uni Soviet, Buran dari Moskow ke Baikonur Cosmodrome, Kazakhstan.
Seperti dikutip dari situs Popular Mechanics, Kamis (20/12/2018), kapal terbang tersebut ditenagai mesin enam turbofan ZMKB Progress Lotarev D-18T, yang masing-masing bisa memompa 51,590 pon daya dorong.
Setelah pengembangan yang makan waktu hanya 3,5 tahun, Antonov AN-225 Mriya menjalani penerbangan perdana pada 21 Desember 1988.
Mriya terbang dengan gagah mengarungi angkasa. Bak fantasi yang terwujud, pesawat itu adalah mahakarya Uni Soviet di dekade 1980-an. Di tengah Perang Dingin.
Namun, kirang dari setahun kemudian, Tembok Berlin runtuh. Uni Soviet pun kolaps. Ukraina, lokasi di mana Biro Desain Antonov menciptakan Antonov AN-225 Mriya, memisahkan diri dari Moskow dan menjadi sebuah republik yang independen.
Gunjang-ganjing sejarah juga mempengaruhi masa depan Antonov AN-225 Mriya.
"Saat Uni Soviet kolaps, programnya ditutup, pembiayaan pun dihentikan karena kebutuhan untuk pesawat itu dianggap tak ada lagi," kata Alexander Galunenko, orang pertama yang menerbangkan Antonov AN-225 Mriya, seperti dikutip dari BBC News.
Galunenko didaulat menerbangkan An-225 dalam penerbangan perdananya, setelah lebih dari satu dekade menjadi pilot uji Soviet.
Ia juga masih ingat pengalamannya membawa pesawat raksasa itu ke Amerika Serikat.
"Kami diundang ke sebuah acara penerbangan di Oklahoma dan laporan media bahwa pesawat terbesar di dunia akan tiba, menarik banyak orang datang," tambah Galunenko.
Penerbang itu mengungkapkan, orang-orang kala itu mengira, pesawat terbesar di dunia adalah bikinan Boeing, perusahaan Amerika Serikat.
Saat diberi tahu bahwa AN-225 Mriya buatan Antonov, orang-orang bertanya, "Dari mana Antonov?"
Saat dijawab, bahwa Antonov adalah sebuah perusahaan di Kiev, orang-orang masih bertanya, di mana Kiev?
"Kami pun menjawab, 'Kiev di Ukraina'. Dan mereka kembali bertanya, 'Di mana Ukraina'," tambah Galunenko.
Para penerbang kemudian mengeluarkan peta, dan menunjuk letak Ukraina.
"Jadi, kami tak hanya menunjukkan pesawat, tapi juga memberikan pengetahuan geografi pada warga Amerika," kata Galunenko.
Setelah Uni Soviet Runtuh, Antonov AN-225 Mriya jarang digunakan. Permintaan untuk menggunakannya nyaris tak ada. Biaya untuk menerbangkannya pun mahal.
Belakangan, pada tahun 2017, An-225 siap diterbangkan kembali. Mereka yang ingin menggunakannya harus merogoh kocek dalam-dalam. Biayanya mencapai US$30.000 per jam.
CEO Anotonov, Mikhail Kharchenko yakin, Mriya masih memiliki potensi besar, terlepas dari usianya yang tua.
Dan, bukan hanya karena kapasitas muatannya yang sangat besar. Menurut dia, masih ada peluang untuk mengembangkan An-225 menjadi platform peluncuran pesawat antariksa di masa depan.
"Sekitar 90 persen energi kendaraan peluncuran dihabiskan untuk mencapai ketinggian 10 km," kata Kharchenko.
"Jika kita menempatkan pesawat ruang angkasa dan meletakkannya di punggung Mriy, lalu menerbangkannya ke ketinggian 10 km, maka kita dapat meluncurkannya ke angkasa luar dari sana. Dari sudut pandang biaya, manfaat ekonominya sangat besar," tambah dia.
Saksikan video pesawat Antonov AN-225 Mriya berikut ini:
Pesawat Pan Am Penerbangan 103 Meledak
Tak hanya penerbangan perdana Antonov AN-225 Mriya, sejumlah peristiwa bersejarah juga terjadi pada tanggal 21 Desember.
Pada 21 Desember 1998, pesawat Pan Am Penerbangan 103 lepas landas dari Bandara Heathrow, Inggris, siap menyeberangi benua menuju New York Amerika Serikat.
Namun, pesawat itu tak pernah sampai ke tujuan. Kurang dari 40 menit setelah mengudara, Boeing 747-121 meledak di langit Lockerbie, Skotlandia. Di ketinggian 9.144 meter.
Semua yang ada di pesawat, 259 penumpang dan awak, tewas. Puing-puing yang terbakar menghujani daratan dan menyudahi nyawa 11 orang.Total 270 orang tewas.
Detail kecelakaan belum terang kala itu, namun laporan menyebut, pesawat nahas itu meledak dan jatuh di wilayah pemukiman, menimpa sejumlah rumah dan mobil.
"Ledakannya sungguh luar biasa, tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata," kata seorang saksi mata kepada BBC.
"Tak mungkin mendekati kota itu saat ini. Namun, saat kejadian, terjadi ledakan dahsyat, langit berubah merah. Diikuti hujan api."
Warga di sebagian kota dievakuasi. Gedung-gedung pertemuan dan aula mendadak jadi tempat pengungsian.
Tim penyelidik internasional, termasuk FBI, menyisir lokasi kejadian jatuhnya pesawat, berlutut dan menggunakan tangan, untuk mencari petunjuk di antara helai rerumputan. Mereka menemukan ribuan serpihan bukti.
Para penyelidik juga disebar ke seluruh dunia, meminta keterangan 10 ribu orang di puluhan negara.
"Akhirnya tim ahli forensik dari FBI, CIA, dan lainnya menemukan, salah satu fragmen -- yang ukurannya tak lebih besar dari jempol manusia -- ternyata adalah papan sirkuit listrik dari sebuah alat pemutar kaset atau radio," demikian Liputan6.com kutip dari situs FBI.
Meski ukurannya kecil, itu adalah petunjuk penting yang menguak bahwa bom penyebab pesawat meledak ditempatkan di dalam radio tape yang disimpan di sebuah tas.
"Fragmen kecil lainnya ditemukan menempel di serpihan kaus membantu mengidentifikasi jenis timer yang digunakan."
Semua petunjuk mengarah ke operasi intelijen Libya. Pada 31 Januari 2001, Abdel Basset Ali Al-Megrahi dinyatakan bersalah. Ia divonis hukuman penjara seumur hidup atas perannya memasang bom di pesawat itu.
Namun, pada tahun 2009, Al-Megrahi akhirnya dibebaskan dari penjara di Skotlandia atas pertimbangan kemanusiaan. Ia menderita kanker. Saat pulang ke Libya, ia sempat bertemu dengan penguasa kala itu Moammar Khadafi yang memberinya sebuah pelukan hangat.
Sempat bertahan 3 tahun, Al-Megrahi akhirnya meninggal dunia di rumahnya di Tripoli pada 20 Mei 2012 pada usia 60 tahun.
Kematian Al-Megrahi meninggalkan misteri: siapa sebenarnya dalang di balik "Tragedi Lockerbie."
Seperti Liputan6.com kutip dari Al Jazeera, mantan menteri kehakiman Libya sebelumnya buka suara pada harian Swedia, Expressen. Ia mengaku, Khadafi adalah otak di balik pemboman Lockerbie.
"Aku punya bukti bahwa Khadafi lah yang memberi perintah," kata Mustafa Abdel-Jalil pada tahun 2011.
Sebelumnya, Khadafi menyatakan, negaranya menerima pertanggungjawaban atas insiden Lockerbie, dengan memberikan kompensasi miliaran dolar pada keluarga korban -- yang membuat hubungan Libya dengan Barat membaik dan membuat PBB serta AS menghapus sanksi atas negara itu. Namun, sang dikator tak pernah mengaku terlibat dalam tragedi itu.
"Untuk menyembunyikan fakta itu, Khadafi berusaha, dengan menggunakan kekuasaannya, untuk membawa pulang Al-Megrahi dari Skotlandia."
Advertisement