Liputan6.com, New York - Majelis Umum PBB pada 17 Desember 2018, lewat resolusi terbarunya, mengutuk "pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, meluas dan berat di Korea Utara" dan pengalihan sumber dayanya untuk mengerucutkan senjata nuklir dan rudal balistik atas kesejahteraan rakyatnya.
Majelis mencatat "dengan keprihatinan" bahwa lebih dari 10 juta orang Korea Utara diperkirakan kekurangan gizi dan bahwa ada "prevalensi gizi buruk kronis dan akut yang sangat tinggi" di negara Asia Timur yang tertutup itu.
Resolusi Majelis Umum yang diadopsi hari Senin mengungkapkan "keprihatinan yang sangat serius" pada laporan tentang penyiksaan, penahanan, perkosaan, eksekusi publik, pengenaan hukuman mati, tidak adanya aturan hukum, dan "hukuman kolektif yang membentang hingga tiga generasi," demikian seperti dikutip dari The Washington Post (21/12/2018).
Advertisement
Ia juga menyatakan keprihatinannya akan kerja paksa di Korea Utara dan "sistem kamp penjara politiknya yang ekstensif di mana sejumlah besar orang dirampas kebebasannya dan mengalami kondisi yang menyedihkan" serta "pembatasan menyeluruh dan berat, baik online maupun offline, pada kebebasan pikiran, hati nurani, agama atau kepercayaan, opini dan ekspresi, berkumpul dan berserikat."
Baca Juga
Resolusi tersebut mengutuk "penculikan sistematis, penolakan pemulangan dan selanjutnya penghilangan paksa orang, termasuk orang-orang dari negara lain, dalam skala besar."
Itu juga "mengakui" temuan komisi penyelidikan PBB pada Korea Utara pada 2014. Komisi itu mengatakan kesaksian dan informasi yang dikumpulkannya "memberikan alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan di Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK - nama resmi Korut), sesuai dengan kebijakan di tingkat tertinggi negara selama beberapa dekade dan oleh institusi di bawah kendali efektif kepemimpinannya."
Majelis Umum sangat mendesak Korea Utara "untuk segera mengakhiri pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, meluas dan berat" dengan sepenuhnya menerapkan resolusi dan rekomendasi PBB termasuk menutup kamp-kamp penjara dan melepaskan semua tahanan politik.
Resolusi, yang disponsori oleh Jepang dan Uni Eropa, diadopsi oleh konsensus, meskipun negara-negara termasuk Rusia, China, Kuba dan Venezuela memisahkan diri dari itu.
Banyak yang menentang resolusi majelis dan mengatakan Dewan Hak Asasi Manusia yang bermarkas di Jenewa lebih tepat berurusan dengan masalah hak asasi manusia.
Duta Besar PBB Korea Utara, Kim Song, mengatakan negaranya "menolak mentah-mentah" resolusi, menyebutnya "produk dari plot politik dan kekuatan musuh."
Dia menuduh Jepang "memprovokasi konfrontasi" dengan Korea Utara "dengan kembali melawan tren utama di semenanjung Korea" ketika negosiasi politik yang rumit sedang berlangsung.
Â
Simak video pilihan berikut:
Catatan HAM Akan Mengganggu Proses Denuklirisasi?
Catatan hak asasi Korea Utara muncul sebagai isu terbaru yang memisahkan Amerika Serikat dan Korea Utara, sementara pembicaraan denuklirisasi mandek.
Korea Utara sering dikecam sebagai salah satu negara dengan catatan HAM terburuk di dunia. Departemen Luar Negeri Amerika dalam laporan tahun 2017 menyebut pelanggaran HAM itu "mengerikan." Korea Utara menolak kritik itu, menyebutnya sebagai taktik untuk menggulingkan sistem politiknya.
Presiden Donald Trump mengatakan ia mengangkat masalah hak asasi Korea Utara kepada pemimpin negara itu, Kim Jong Un, dalam pertemuan puncak keduanya di Singapura Juni lalu dan bahwa Kim menanggapi "sangat baik."
Tetapi Trump dikritik karena gagal mendapatkan persetujuan konkret hak asasi dalam pernyataan bersama yang ditandatangani kedua pemimpin dalam pertemuan itu.
Ketegangan terbaru itu dipicu sanksi yang dijatuhkan Amerika di bawah kampanye "tekanan maksimum" yang dirancang untuk mendorong Korea Utara menuju denuklirisasi.
Advertisement