Sukses

Ini Alasan NASA Pantau Gunung Anak Krakatau yang Diduga Picu Tsunami Anyer

Anak Krakatau yang diduga jadi salah satu pemicu tsunami anyer adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1. Kenapa?

Liputan6.com, Jakarta - Aktivitas Gunung Anak Krakatau disebut-sebut sebagai salah satu pemicu terjadinya tsunami anyer pada Sabtu 22 Desember 2018 malam sekitar pukul 21.00 WIB. Kendati demikian hal tersebut belum dapat dipastikan oleh pihak berwenang.

Yang pasti, anak Krakatau yang disebut-sebut sebagai salah satu pemicu tsunami Anyer itu adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1. Mengapa demikian?

Ada dua alasan yang membuat NASA terus mengamati Anak Krakatau. Selain karena terus-menerus bererupsi, juga karena masa lalunya.

Induknya, Gunung Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883 sekitar pukul 10.20 WIB dengan kekuatan 13.000 kali bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Salah satu letusan gunung api paling kolosal sepanjang sejarah.

Saat itu, suara letusan Krakatau terdengar sampai Madagaskar dan Australia. Dua pertiga bagian gunung tenggelam ke dasar laut, dan menciptakan gelombang tsunami yang menewaskan puluhan ribu orang.

"Anak Krakatau muncul dari laut kurang dari 80 tahun lalu, ia merupakan laboratorium alam untuk mengamati perkembangan suatu ekosistem baru," demikian dimuat dalam situs NASA.

Seperti kebanyakan dari sekitar 130 gunung berapi aktif di Indonesia, Krakatau terbentuk di sepanjang Sunda Arc, kurva sepanjang 3.000 kilometer di mana Lempeng Australia tenggelam di bawah Lempeng Eurasia.

Sebelum dikabarkan erupsi pada 22 Desember sebelum tsunami Anyer terjadi, Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung tercatat mengalami 18 kali kegempaan letusan sepanjang pengamatan Senin (26 November 2018) hingga Selasa dini hari 27 November 2018. Saat itu teramati 8 kali letusan dengan tinggi 200-600 meter warna asap hitam.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Bandarlampung, periode pengamatan 26 November 2018, pukul 00.00 WIB sampai dengan 24.00 WIB, secara visual malam dari CCTV teramati lontaran material pijar tinggi 100-200 meter di atas puncak.

Kesimpulan tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau Level II (Waspada), sehingga masyarakat/wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius 2 km dari kawah.

 

Saksikan juga video terkait tsunami Anyer berikut ini:

2 dari 2 halaman

Letusan Induk Gunung Anak Krakatau Bikin Bulan Jadi Biru

Letusan Krakatau pada 1883 juga menciptakan fenomena angkasa. Abunya yang terbang ke langit membuat Bulan berwarna biru.

Kekuatannya setara 150 megaton TNT, lebih 10.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Melenyapkan pulau dan memicu dua tsunami, dengan tinggi maksimal 40 meter, yang menewaskan lebih dari 35 ribu orang.

Suara ledakan dan gemuruh letusan Krakatau terdengar sampai radius lebih dari 4.600 kilometer, hingga terdengar sepanjang Samudera Hindia, dari Pulau Rodriguez dan Sri Lanka di barat, hingga ke Australia di timur. Letusan tersebut masih tercatat sebagai suara letusan paling keras yang pernah terdengar di muka bumi.

Akibatnya tak hanya melenyapkan sebuah pulau beserta orang-orangnya, melainkan membuat mandeg perekonomian kolonial yang berusia berabad-abad, demikian ungkap Simon Winchester, penulis buku, "Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883" atau "Krakatau: Hari di Mana Dunia Meledak, 27 Agustus 1883".

Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh.

Indonesia terletak di zona tektonik yang sangat aktif, pertemuan tiga lempeng besar dunia –Pasifik, Australia, dan Eurasia, dan sejumlah lempeng kecil lain. Berada di lingkaran 'cincin api Pasifik' atau Pacific Ring of Fire.