Sukses

Membelah Jawa dan Sumatera...Ini 6 Fakta Dahsyatnya Letusan Nenek Moyang Krakatau

Aktivitas Anak Krakatau memicu tsunami Selat Sunda. Ternyata di masa lalu, nenek moyangnya juga meletus dahsyat yang berakhir dengan bencana.

Liputan6.com, Jakarta - Anak Krakatau kini jadi perhatian dunia. Aktivitas gunung itudisebut-sebut jadi pemicu terjadinya tsunami Selat Sunda yang menewaskan sedikitnya 429 orang. 

Kepala Badan Meteorologi dan Klimatologi (BMKG) Dwikorita Karnawati pun telah memastikan tsunami yang melanda Banten dan Lampung Selatan karena erupsi Anak Gunung Krakatau (AGK).

"Kami mengkonfirmasikan yang sebelumnya kami sampaikan bahwa tsunami ini berkaitan dengan erupsi vulkanik," kata Dwikorita dalam konferensi pers di Kantor BMKG, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin 24 Desember 2018.

Jika kini Anak Krakatau yang jadi sorotan, pendahulunya, Gunung Krakatau pun bernasib demikian. Letusannya pada 1883 membuatnya tercatat sebagai salah satu erupsi gunung api terdahsyat di dunia.

Sebelumnya, nenek moyang gunung itu juga pernah bikin dunia gonjang-ganjing pada tahun 535 Masehi. 

"Bumi berguncang keras disusul dengan letusan yang menggelegar. Letusan Krakatau tahun 535 itu berlangsung sepuluh hari, dengan letusan puncaknya selama 34 jam," demikian digambarkan dalam artikel yang dimuat oleh situs geomagz.geologi.esdm.go.id yang dikutip Rabu (26/12/2018).

Kala itu, debu halus, pasir, kerikil, hingga 'bom' sebanyak 200 km3, dilontarkan ke stratosfer, menutupi cahaya matahari, sehingga hampir seluruh langit gulita.

"Di khatulistiwa, suhu turun 10 derajat Celcius, telah menyebabkan terjadinya perubahan peradaban secara global."

Karena begitu banyaknya material yang diledakkan, terjadilah kekosongan di dalam, menyebabkan tubuh gunung ini ambruk, menghasilkan kaldera berukuran raksasa 40 km x 60 km dan membentuk Selat Sunda

Selain itu, berikut ini lima fakta soal kedahsyatan letusan Gunung Krakatau sebelum erupsi kolosal pada 1883 yang mungkin belum banyak diketahui publik:

 

Saksikan juga video berikut ini:

2 dari 7 halaman

1. Membelah Pulau Jawa dan Menciptakan Sumatera

David Keys, seorang arkeolog dan koresponden koran The Independent London, meluncurkan sebuah buku berjudul "Catastrophe: An Investigation into the Origins of the Modern World" (1999).

Ada hal yang menarik dalam buku tersebut, yaitu kesimpulannya bahwa Krakatau pernah meletus tahun 416 Masehi atau 535 Masehi dan implikasinya terhadap terjadinya perubahan peradaban dunia secara global.

Dalam hal ini Keys merujuk pada catatan sejarah sebagai berikut: Angka 416 Masehi dikutip dari sebuah teks Jawa kuno berjudul 'Pustaka Raja Purwa’ yang bila diterjemahkan bertuliskan: "Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada goncangan Bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Lalu datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra".

Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 mdpl dengan lingkaran pantainya mencapai 11 km.

3 dari 7 halaman

2. Membentuk Selat Sunda

Di tempat lain, seorang pemuka agama Suriah, John dari Efesus, menulis sebuah kronik di antara tahun 535 – 536 M.

Adapun isi dari kronik yang tercatat adalah: "Ada tanda-tanda dari Matahari, tanda-tanda yang belum pernah dilihat ataudilaporkan sebelumnya. Matahari menjadi gelap, dan kegelapannya berlangsung selama 18 bulan. Setiap harinya hanya terlihat selama empat jam, itu pun samar-samar. Setiap orang mengatakan bahwa Matahari tak akan pernah mendapatkan terangnya lagi".

Dokumen lainnya dari Dinasti Tiongkok mencatat: "suara guntur yang sangat keras terdengar ribuan miljauhnya ke barat daya China".

Catatan sejarah tersebut, selanjutnya divalidasi dengan data hasil penelitian Krakatau Purba dari Berend George Escher dan Verbeek juga didukung beragam dokumen sejarah dari Nusantara, Suriah, dan China tentang sebuah bencana yang sangat dahsyat terjadi di Abad ke- 5 atau 6 Masehi dan mengakibatkan Abad Kegelapan di seluruh dunia. Inti es (ice cores) di lapisan es Antartika dan Greenland juga mencatat jejak ion sulfat vulkanik berumur 535- 540 M dan diperkirakan kiriman bencana dahsyat Gunung Purna Krakatau. Jejak-jejak belerang gunung api Krakatau pun tersebar di kedua belahan Bumi selatan dan utara.

Berdasarkan informasi tersebut di atas, maka Keys mengajukan sebuah hipotesis bahwa Krakatau pernah meletus pada tahun 535 M dan letusan itu menghasilkan dampak bencana yang dirasakan di seluruh dunia sebagai peristiwa tragedi besar yang mampu merubah bentuk fisik alam dengan terbentuknya Selat Sunda dan terjadinya perubahan peradaban secara global. Selanjutnya Keys menyusun sebuah rangkaian kejadian letusan Krakatau tahun 535 M, sebagai berikut:

1. Gempa bumi. Tanda awal reaksi gunung api. Tanda awal ini sudah dirasakan sampai Batavia (Jakarta);

2. Letusan bak guntur yang menggelegar. Letusan ini menghasilkan suara hingga terdengar sampai Australia. Letusan ini juga menghasilan gelombang kedap udara yang lazim terjadi pada ledakan bom sehingga menghasilkan korban jiwa;

3. Letusan yang dihasilkan dari pecahnya kaldera melontarkan ribuan kubik material (pijar) ke lapisan Stratosfer. Fragmen bebatuan panas ini kemudian ditemukan pada bongkahan es Greenland dan Antartika;

4. Ledakan yang besar itu mengguncang tanah sehingga ambles dan memisahkan daratan Jawa dan Sumatra dan terbentuklah selat Sunda;

5. Bebatuan berbagai ukuran, debu, pasir, krikil, hingga bom, yang terlontar ke stratosfer menjadikan hampir seluruh langit bumi gelap dan menutupi cahaya matahari. Suhu udara di bumi turun mencapai 10 derajat di ekuator. Turunnya suhu dan minimnya matahari menjadikan Bumi tak ubahnya planet Venus.

Komponen vegetasi di bumi rusak sehingga cadangan makanan menjadi minim. Kejadian itu selanjutnya mengakibatkan pergolakan sosial dalam memperebutkan cadangan makanan.

6. Apabila kita setuju dengan pendapat mengenai Letusan Krakatau 535 M tersebut di atas, maka beberapa kejadian perubahan fisik dan peradaban yang merupakan dampak dari letusannya.

4 dari 7 halaman

3. Letusannya Setara 2 Miliar Kali Bom Atom Hiroshima

Beberapa hal menarik dalam tulisan Keys, 1999, di antaranya adalah hasil pemodelan yang menyatakan bahwa Pulau Jawa dan Pulau Sumatra masih menyatu sebelum letusan Krakatau pada 535 M.

Berikut sebuah kutipan dari buku tersebut: "A mighty thunder which was answered by a furious shaking of the earth, pitch darkness, thunder and lightning and then came forth a furious gale together with a hard rain, a deadly storm darkening the entire world, in no time there came a great flood. When the water subsided it could be seen that the island of Java had been split in two, thus creating the island of Sumatra." David Keys from Javanese writings (Book of Kings).

(Petir menggelegar menyebabkan bumi bergetar, gelap gulita, guruh dan kilat sambar-menyambar disusul badai disertai dengan hujan deras, badai gelap mematikan seluruh dunia, dalam waktu singkat banjir besar melanda. Ketika air surut dapat dilihat bahwa pulau besar telah terbelah dua, menciptakan Pulau Jawa dan Pulau Sumatra).

Para ahli menyetarakan letusan dahsyat (violent eruption) Krakatau yang mampu membentuk Selat Sunda tersebut dengan 2 miliar kali bom atom Hiroshima atau bisa 11,11 kalinya letusan Krakatau 1883 serta menghasilkan kaldera sebesar 5,7 – 8,5 kalinya kaldera Krakatau 1883.

Hasil pemodelan Keys tersebut telah memperkuat teori Van Bemmelen (1952) dalam "De Geologische Geschiedenis van Indonesie" menyatakan; bahwa pada saat itu sebelum tahun 1175 Gunung Krakatau belum merupakan pulau kecil seperti sekarang karena kondisinya belum memungkinkan di lewati kapal laut.

Pulau-pulau besar kecil masih banyak berserakan di Selat Sunda. Sumatra dan Jawa masih bergandengan menjadi satu. Perbatasan antara Swarnadwipa (Sumatra) dan Jawadwipa (Jawa) pada masa itu masih berupa suatu teluk yang menjorok jauh ke pedalaman di daerah Jambi. Demikian menurut catatan para pelaut Arab dan Cina (van Bemmelen, 1952, hal. 126-127).

5 dari 7 halaman

4. Periode Dark Age Pemicu Wabah Sampar

Istilah "Dark Age" selalu dikaitkan dengan masa kegelapan bangsa Eropa yang dimulai sejak redupnya kekaisaran Romawi pada 476 M akibat migrasi dan tekanan kaum Barbar.

Keruntuhan Romawi terjadi ketika kaisar terakhir dari kekaisaran Romawi Barat, Romulus Augustus, diberhentikan oleh Odoacer, seorang Jerman (Julius Nepos) yang menjadi penguasa Italia dan meninggal pada tahun 480 M. Sejak saat itu dikatakan Eropa telah memasuki masa-masa Kegelapan (Dark Ages). Masa-masa Kegelapan ini berlangsung kira-kira dari tahun 476 M itu hingga masa Renaisans (1600).

Apa penyebab migrasi kaum Barbar di awal periode Dark Age yang terjadi di Eropa itu?

Banyak jawaban yang diberikan, tapi kini argumentasi yang menguatkannya adalah letusan besar Krakatau 535 M. K. Wohletz, seorang ahli vulkanologi di Los Alamos National Laboratory, Amerika Serikat, telah melakukan serangkaian penelitian letusan Krakatau 535. Hasil simulasinya menunjukkan betapa dahsyatnya letusan itu. Letusan sebesar itu telah melontarkan 200 km3 magma (bandingkan dengan Krakatau 1883 yang melontarkan magma sejumlah 18 km3). Letusan Krakatau 535 M berlangsung selama sepuluh hari, tetapi letusan puncaknya berlangsung selama 34 jam dan menghasilkan kawah berukuran antara 40-60 km.

Kecepatan bahan yang dimuntahkan (mass discharge) sebesar 1 miliar kg/detik. Awan letusan (eruption plume) telah membentuk perisai di atmosfer setebal 20-150 m, dan menurunkan temperatur 50-100 C selama 10-20 tahun.

Bencana tersebut telah mendatangkan wabah sampar yang mendunia, gagal panen, dan revolusi. Kekurangan pangan membuat kaum barbar bermigrasi dan menyerang kemana-mana. Pada saat itu di Eropa terjadi transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Bizantium, kejayaan Persia Purba, dan Arabia Selatan berakhir.

Sementara di bagian dunia lainnya, misalnya di Benua Amerika seperti peradaban Nazca yang penuh teka-teki, Metropolis Teotihuacan, dan kota besar Maya Tikal berakhir. Jadi pasca letusan Krakatau 535 M tersebut membuat dunia dalam keadaan keos (chaos). Matahari dan bulan bersinar lebih redup karena tertutup debu vulkanik selama 18 bulan, menyebabkan perubahan iklim global.

Dampak Letusan Krakatau 535 M sangat besar dan di Eropa saat itu, istilah “Dark Age” bukan hanya menunjukkan "gelap" dalam arti sesungguhnya, tetapi juga menunjukkan arti lain sebagai kemunduran peradaban. Sementara di kawasan lainnya seperti di Arabia disebut periode "Jahiliyah".

Istilah apa yang tepat untuk Indonesia? Seperti apa kira-kira yang terjadi di sini? Di Indonesia sendiri, khususnya di Jawa dan Sumatra sejarah kerajaan-kerajaan tidak ada yang lengkap atau istilah Keys adalah "the missing link of the history".

Keys mencontohkan di Pulau Sumatra terjadi kesenjangan (sejarah yang hilang) hampir 100 tahun, (535 – 650 M), yaitu antara kerajaan yang berbasiskan budaya Pasemah sampai kemunculannya kerajaan Sriwijaya. Sementara di Pulau Jawa kesenjangan terjadi hampir 200 tahunan (535 – 750 M), yakni antara kerajaan yang berada di Jawa bagian barat sampai kemunculan kerajaan-kerajaan di Jawa bagian tengah.

Memang secara fisik akan sangat sulit menelusuri sejarah yang hilang tersebut, karena dampak erupsi super volcano Krakatau mengakibatkan kerusakan fisik yang luar biasa beratnya termasuk hancurnya peradaban. Tentu akan sulit untuk merekontruksinya.

Namun sebetulnya sejarah itu tidak hilang apabila mengacu pada silsilah raja-raja di tanah Sunda menurut naskah-naskah Pangeran Wangsakerta. Menurut naskah Wangsakerta tersebut jaman keemasan Tarumanagara terjadi pada masa Raja Purnawarman (395-434) yang mampu memperluas wilayah Tarumanagara, dan banyak diabadikan di dalam bentuk Prasasti. Prasasti terpenting yang mengabarkan keberadaan Purnawarman dimuat dalam prasasti Ciaruten, menjelaskan: "Kedua jejak telapak kaki yang seperti jejak telapak kaki Wisnu ini kepunyaan penguasa dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman raja Tarumanagara".

Pada jaman itu pula, masalah hubungan diplomatil ditingkatkan. Sehingga wajar jika Pustaka Nusantara menyebutkan bahwa kekuasaan Purnawarman saat membawahi 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (Purbolinggo) di Jawa Tengah. Dikemudian hari secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) dianggap batas kekuasaan rajaraja penguasa Jawa Barat pada masa silam, demikian juga pada masa Manarah dan Sanjaya di Galuh.

Langkah-langkah pengembangan Tarumanagara oleh Purnawarman secara terperinci diuraikan di dalam Pustaka Pararatvan I Bhumi Jawadwipa. Seperti usaha memindahkan ibukota kerajaan kesebelah utara ibukota lama, di tepi kali Gomati, dikenal dengan sebutan Jayasingapura. Kota tersebut didirikan Jayasingawarman, kakeknya. Kemudian diberi nama Sundapura (kota Sunda). Ia pun pada tahun 398 sampai 399 M mendirikan pelabuhan di tepi pantai. Pelabuhan ini menjadi sangat ramai oleh kapal-kapal kerajaan Tarumanagara.

6 dari 7 halaman

5. Lenyapkan Kerajaan Tarumanagara

Dari model rekonstruksi Keys yang menggambarkan pulau Sumatera dengan Pulau Jawa masih bersatu sebelum erupsi super volcano Krakatau 535, maka perpindahan ibu kota Kerajaan Tarumanagara dari Teluk Lada Pandeglang ke Sundapura secara geologi dapat dipahami, yakni:

Kegiatan perdagangan Kerajaan Tarumanagara sangat tergantung pada jalur pelayaran Samudera Hindia, sementara akses menuju Selat Malaka dan Laut Jawa tidak ada, walaupun ada celah-celah sempit Selat Sunda, namun kemungkinan hanya dapat dilayari kapal laut kecil.

Kegiatan perdagangan di sekitar Salakanegara sangat terganggu akibat aktivitas Gunung Krakatau Purba terus meningkat, sehingga banyak kegiatan perdagangan melalui laut lebih memilih jalur Selat Malaka untuk mendapatkan sumber daya rempahrempah di Kepulauan Al Mulk (Maluku).

Dengan kondisi seperti itu efektivitas perdagangan Tarumanagara menjadi terganggu. Tentu saja Purnawarman sebagai Raja Tarumanagara memiliki inisiatif mencari wilayah untuk mempertahankan perekonomian kerajaan dengan melebarkan sayap perdagangan ke daerah yang aman dan berisiko minimal. Pilihannya adalah wilayah Sundapura yang berada di zona gempa ringan dengan potensi sumber daya air berlimpah, dan sumber daya tanah yang subur. Perpindahan ibukota pun kemungkinan terjadi secara alamiah sesuai perkembangan perekonomian kerajaan. Kajayaan tersebut berlanjut terus sampai pada masa raja Candrawarman (515-535 M).

Sampailah pada tahun 535 M, Gunung Krakatau Purba meletus dan pata tahun itu pun Raja Candrawarman wafat. Peristiwa ini merupakan awal memudarnya Kerajaan Tarumanegara seperti yang diberitakan melalui Prasasti Purnawarman di Pasir Muara. Prasasti tersebut menceritakan peristiwa pengembalian pemerintahan daerah kepada Raja- Raja Sunda yang di mulai pada tahun 536 M, sehingga terjadi perubahan status bahwa Ibukota Sundapura pada waktu itu telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Sama halnya dengan kedudukaan Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I – VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari Salakanegara ke Tarumanagara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah.

Sangat mungkin letusan besar Krakatau 535 telah meluluhlantakan sebagian besar wilayah Kerajaan Tarumanagara terutama yang berada di wilayah Banten, sehingga Raja-Raja Tarumanagara pun terus disibukkan dengan bencana ikutan (sekunder) dari letusan Krakatau Purba, seperti perubahan iklim (global), gagal panen, wabah penyakit, dll. Peristiwa tersebut menyebabkan Tarumanagara kehilangan wibawa dan tidak lagi memiliki pamor. Selanjutnya satu persatu pengembalian kekuasaan kepada raja-raja daerah terus berlangsung. Akhirnya pada masa Raja Linggawarman (666-669 M) Kerajaan Tarumanagara benar benar berakhir dan yang ada hanya kerajaan-kerajaan kecil.

Periode 535-669 M atau selama 100 tahun lebih pasca letusan Krakatau Purba dapat dikatakan sebagai jaman kegelapan (Dark Age) di Tatar Sunda sebagaimana terjadi di bagian dunia lainnya. Data fisikpun sangat sulit diperoleh selain dari naskahnaskah kuno dan cerita rakyat. Namun dengan mulai ditemukannya situs Candi Batujaya di Kabupaten Karawang Jawa Barat, maka bukti-bukti fisik Kisah kejayaan Terumanegara lambat laun mulai terkuak dan secara perlahan kisah Kejayaan Tarumanagara akan terungkap.

7 dari 7 halaman

6. Letusan 1883 Juga Tak Kalah Dahsyat

Dampak letusan Krakatau tahun 1883 pun tidak kalah dahsyatnya dibandingkan letusan Krakatau tahun 535 karena pertumbuhan penduduk pada tahun 1883 jauh lebih banyak. Mulai 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau 1883, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba yang masih aktif dan bertambah tinggi pula.

Percepatan ketinggian Anak Krakatau saat ini sekitar 20 inci (sekitar 50 cm) per bulan. Artinya setiap tahun gunung ini menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki (sekitar 6 m) lebih lebar 40 kaki (sekitar 13 m).

Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 m per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi Anak Krakatau mencapai 100 m lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu.

Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 m dari permukaan laut.

Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, namun fakta-fakta geologi dan seismik di Jawa dan Sumatra yang aneh akan memastikan bahwa apa yang pernah terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus besar. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan besar ini akan terjadi antara 2015-2083. Namun, pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia seperti yang terjadi pada 26 Desember 2004 harus pula menjadi perhatian dalam mengeluarkan kebijakan.

Sementara itu, menurut Profesor Ueda Nakayama, salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saatsaat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava pijar yang dimuntahkan gunung api ini.

Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus dahsyat. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun, korban yang akan ditimbulkan jelas lebih besar daripada letusan sebelumnya karena semakin padatnya penduduk. Oleh karena itu, kewaspadaan menghadapi bencana harus ada pada sanubari bangsa Indonesia. Kearifan lokal tentang peringatan dini yang telah ditanamkan oleh para leluhur harus tetap dipertahankan. Demikian pula nama-nama geografis yang mencerminkan keadaan fenomena alam sekitar jangan diganti dengan nama-nama manusia yang seolah pengkultusan.

Pada akhirnya yang tersisa kekaguman, bahwa Indonesia ternyata menjadi perhatian dunia karena Krakatau. Salah satu gunung yang menjadi bagian dari keluarga besar Cincin Api Nusantara ini ternyata sangat terkenal di dunia karena pernah menjadi sebab atas berakhirnya sebagian peradaban dunia. Letusan Krakatau yang dahsyat tersebut, ternyata di sisi lain memiliki pesona dan keunikan, sehingga layak dinobatkan sebagai geoheritage (warisan geologi) yang mendunia. Tentu saja nilai warisan geologi ini akan berdampak positif bila dikembangkan sebagai geopark Internasional atau lebih dikenal sebagai Geopark Jejaring Unesco. Perwujudan sebagai geopark tidak lain sebagai perwujudan Kejayaan Tarumanagara atau di masa kini sebagai Kejayaan Republik Indonesia.

Penulis adalah Fungsional Penyelidik Bumi, Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan Badan Geologi.

ACUAN

Ajip Rosidi (penyunting), 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Pustaka Jaya.Keys, 1999. Catastrophe: A Quest for the Origins of the Modern World, Ballentine Books, New York).Winchester’s, S. 2003. Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27, 1883.