Liputan6.com, Washington DC - Para mantan diplomat senior yang telah mengarahkan kebijakan AS terhadap Afghanistan mengatakan, keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menarik ribuan tentara dari negara itu menyulitkan upaya Duta Besar AS Zalmay Khalilzad untuk menengahi perjanjian gencatan senjata dengan Taliban.
Trump mengumumkan dia mempertimbangkan penarikan sekitar separuh dari 14 ribu pasukan AS dari Afghanistan, tidak lama setelah dia mengatakan pasukan AS akan mundur dari Suriah. Kedua keputusan itu mengejutkan banyak pihak, termasuk sebagian pejabat yang ditugaskan untuk mengawasi kebijakan luar negeri AS.
Seorang mantan diplomat AS, yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengatakan kepada VOA bahwa Khalilzad perlu fleksibilitas terkait penarikan pasukan AS dari Afghanistan karena itu sejak lama merupakan permintaan Taliban.
Advertisement
"Yang problematik adalah langkah apapun yang mengindikasikan penarikan harus berdasarkan 'quid pro quo' dan terikat pada perjanjian gencatan senjata oleh Taliban, tapi kenyataannya tidak demikian," kata mantan pejabat AS itu, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (31/12/2018).
Baca Juga
"Dan itu bisa berdampak pada militer serta kebijakan, belum lagi lingkaran pemerintah Afghanistan tidak menyukai situasi ini sedikit pun karena mereka merasa telah dijual oleh Dubes Khalilzad."
Duta Besar Richard Boucher, seorang mantan wakil menteri luar negeri AS urusan Asia Selatan dan Tengah, mengatakan kepada VOA, keputusan untuk menarik pasukan secara bertahap dari Afghanistan adalah keputusan politik dan bukan strategis.
Mantan Duta Besar AS Robin Raphel juga sepakat, dan menambahkan bahwa pengumuman itu menambah tekanan pada kedutaan AS di Afghanistan untuk menawarkan perjanjian yang tidak merugikan reputasi Amerika sebagai sekutu yang dapat diandalkan di kawasan itu.
"Jika tidak, ini akan mengirimkan pesan yang salah pada Taliban dan negara-negara tetangga seperti Pakistan, yang selalu meragukan keseriusan AS untuk tetap di Afghanistan," kata Raphel.
Keputusan Trump
Presiden Amerika Serikat Donald Trump sedang mempertimbangkan menarik pasukan AS dalam jumlah yang signifikan dari Afghanistan, demikian dikatakan pejabat senior pemerintah.
Pejabat itu mengatakan, sekitar 7.000 tentara --kira-kira separuh dari total militer AS yang ada di Afghanistan-- bisa pulang dalam beberapa bulan mendatang, demikian seperti dikutip dari BBC, Jumat 21 Desember 2018.
Kloter pertama pasukan Amerika kemungkinan pulang paling cepat bulan depan, ujar pejabat-pejabat kepada kantor-kantor berita Amerika.
Saat ini terdapat 14 ribu tentara Amerika di Afghanistan. Misi mereka adalah melatih dan memberi masukan kepada pasukan Afghanistan untuk mengambil alih tanggung jawab keamanan di negara mereka sendiri.
AS telah berada di Afghanistan sejak 2001, tepat setelah serangan 11 September --menjadikan kampanye militer mereka di sana sebagai perang terpanjang dalam sejarah Negeri Paman Sam.
Ketika Taliban, yang menguasai Afghanistan, menolak untuk menyerahkan pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden --yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu-- Presiden AS saat itu, George W Bush melancarkan operasi militer untuk menemukan Bin Laden dan menyingkirkan Taliban dari kekuasaan.
Pasukan khusus AS akhirnya menemukan dan membunuh Bin Laden di Pakistan pada tahun 2011. Operasi tempur yang dipimpin Amerika di Afghanistan secara resmi berakhir pada tahun 2014.
Tetapi pada tahun-tahun sejak saat itu, kekuatan dan jangkauan kembali Taliban meningkat tajam --dan pasukan AS tetap bertahan di Afghanistan dalam upaya untuk menstabilkan negara.
Pada September 2017, Trump mengumumkan bahwa AS akan mengirim 3.000 pasukan tambahan ke Afghanistan, yang merupakan pergeseran 180 derajat dari keputusan terbarunya.
Simak video pilihan berikut:
Lebih Pilih AS, Taliban Tolak Dialog Damai dengan Afghanistan
Taliban telah menolak tawaran pembicaraan damai dengan pemerintah Afghanistan yang menurut rencana akan digelar di Arab Saudi pada Januari 2019 mendatang.
Kelompok gerilyawan itu justru lebih memilih untuk bertemu dengan pejabat Amerika Serikat untuk melanjutkan dialog damai yang telah mereka mulai di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab awal Desember 2018 ini, demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Senin (31/12/2018).
Perwakilan dari Taliban, Amerika Serikat dan negara-negara kawasan bertemu bulan ini di Uni Emirat Arab untuk mengadakan pembicaraan untuk mengakhiri perang 17 tahun di Afghanistan.
Tetapi Taliban telah menolak untuk mengadakan pembicaraan resmi dengan pemerintah Afghanistan --yang juga didukung Barat.
"Kami akan bertemu pejabat AS di Arab Saudi pada Januari tahun depan dan kami akan memulai pembicaraan kami yang tetap tidak lengkap di Abu Dhabi," kata seorang anggota Dewan Kepemimpinan pengambilan keputusan Taliban.
"Namun, kami telah menjelaskan kepada semua pemangku kepentingan bahwa kami tidak akan berbicara dengan pemerintah Afghanistan."
Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid juga mengatakan para pemimpin kelompok itu tidak akan berbicara dengan pemerintah Afghanistan.
Para militan bersikeras untuk mencapai kesepakatan dengan Amerika Serikat, yang kelompok itu anggap sebagai kekuatan utama di Afghanistan sejak pasukan pimpinan AS menggulingkan pemerintah Taliban pada tahun 2001.
Advertisement