Sukses

TETO Bantah 300 Mahasiswa Indonesia Jalani Kerja Paksa di Taiwan

TETO buka suara dan membantah soal kabar 300 mahasiswa RI yang diduga menjadi korban kerja paksa di Taiwan.

Liputan6.com, Jakarta - Taipei Economic and Trade Office Indonesia (TETO), yang juga berperan sebagai kantor perwakilan pemerintah Taiwan di Indonesia, buka suara soal kabar 300 mahasiswa RI yang diduga menjadi korban kerja paksa di Negeri Formosa, sebagaimana diberitakan oleh sejumlah media lokal dan Tanah Air beberapa hari terakhir.

Dalam pemberitaan itu, disebutkan mengenai penyelidikan yang dilakukan oleh satu anggota Parlemen Taiwan dari Partai Kuomintang --yang beroposisi dengan pemerintahan Presiden Tsai Ing-wen-- Ko Chih-en. Ia menjelaskan, 300 mahasiswa RI dari Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou, Taipei menjadi korban kerja paksa seputar program magang di sana.

Pemberitaan itu menyebutkan siswa hanya diizinkan pergi ke kelas dua hari dalam sepekan dan memiliki satu hari istirahat, sambil bekerja empat hari sisanya di pabrik untuk mengemas 30.000 lensa kontak selama 10 jam per giliran kerja.

Ko mengatakan dalam kasus khusus ini, 300 siswa Indonesia di bawah usia 20 terdaftar di Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou Kota New Taipei melalui perantara atau pihak ketiga (perantara atau agen).

Para siswa datang untuk menghadiri kelas internasional khusus yang dibawahi Departemen Manajemen Informasi Taiwan pada pertengahan Oktober 2017, China Times melaporkan, dikutip dari Taiwan News, Rabu (2/1/2019).

Namun, Kementerian Pendidikan Taiwan (MOE) melarang magang untuk mahasiswa tahun pertama. Meskipun ada larangan, sekolah tersebut mengatur agar siswa bekerja sebagai sebuah kelompok.

TETO dan Pihak Universitas Membantah

Ketika dihubungi oleh Liputan6.com pada Selasa 2 Januari 2019, pihak TETO membatah kabar mengenai 300 mahasiswa Indonesia menjalani kerja paksa di Taiwan.

"TETO telah berkomunikasi langsung dngan Kementerian Pendidikan Taiwan dan menurut informasi yang kami dapat, bahwasanya berita itu tidak benar," ujar TETO kepada Liputan6.com, Selasa 2 Januari 2019.

Kepada Liputan6.com, TETO juga meneruskan klarifikasi dari pihak Universitas Hsing Wu tertanggal 28 Desember 2018. Berikut kutipan klarifikasi tersebut, sebagaimana diterjemahkan oleh TETO ke dalam Bahasa Indonesia:

"Mahasiswa baru tidak melakukan kerja paksa dalam program magang dan tuduhan tersebut sangat tidak mendasar. Selain liburan musim dingin dan musim panas, mahasiswa bekerja dalam kelompok tidak lebih dari 20 jam per minggu, dan semuanya telah sesuai dengan prosedur yang diperlukan dalam pengajuan ijin kerja, asuransi kesehatan dan tenaga kerja, demikian pula kampus telah mengatur transportasi antar jemput mahasiswa."

"Mahasiswa tidak pernah dieksploitasi, dan sangat tidak masuk akal bagi mahasiswa untuk mengemas sebanyak 30.000 lensa kontak dalam 10 jam per hari. Semua tercatat dalam absensi kehadiran dan dikuatkan dengan slip gaji yang diterima selama bekerja."

"Pelaksanaan industry academia collaboration kelas internasional (program kuliah-magang yang dimaksud) adalah: kampus merekrut mahasiswa asing yang berkeinginan kuliah namun memiliki kendala ekonomi."

"Mengingat kemampuan keuangan mahasiswa yang terbatas, kampus memberikan pengurangan biaya kuliah dan perusahaan menyediakan kesempatan kerja bagi mahasiswa secara suka rela menyesuaikan kondisi ekonomi mahasiswa."

"Kampus secara aktif melakukan perlindungan atas hak-hak dan kepentingan mahasiswa, disamping mewajibkan perusahaan mitra untuk mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Perusahaan juga terus melakukan koordinasi dan komunikasi dengan kampus untuk membantu mahasiswa mengatasi permasalahan yang ada," jelas Universitas Hsing Wu di Taiwan.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Saran dari Perhimpunan Pelajar RI di Taiwan

Perhimpunan Pelajar Indonesia di Taiwan (PPI Taiwan) menyarankan dalam keterangan persnya bahwa dengan jumlah mahasiswa yang semakin bertambah (saat ini ada lebih dari 6.000 pelajar di Taiwan), berbagai pihak perlu mengevaluasi kembali beberapa program kerja sama pendidikan tinggi tersebut.

"Dengan berbagai dinamika permasalahan yang dihadapi, sudah selayaknya dipertimbangkan untuk adanya staf pendidikan yang setara dengan Atase untuk membantu pemerintah mengelola, memonitoring, dan mengevaluasi program-program kerjasama yang ditawarkan antara Indonesia dan Taiwan."

"PPI Taiwan dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei mulai dari beberapa tahun lalu hingga saat ini sedang melakukan pendalaman terhadap informasi yang berkembang mengenai program kuliah magang ini."

"Namun demikian, untuk mencegah dampak negatif lebih jauh, Pemerintah Indonesia melalui KDEI Taipei sedang mengkoordinasikannya dengan otoritas terkait di Taiwan guna menyepakati solusi bersama."

"Permasalahan ini muncul karena sejumlah pihak melakukan perekrutan dan pengiriman mahasiswa magang secara masif, sementara kedua belah pihak belum menyepakati detail pengelolaannya melalui suatu pengaturan teknis."

Sementara itu, anggota PPI Taiwan Rekyan Regasari menambahkan, "Perlunya calon mahasiswa (lulusan SMA/SMK) dan orang tua untuk lebih aware dan kritis terhadap tawaran pendidikan di luar negeri."