Sukses

Usai Rencana Tarik Pasukan Militer, AS Tingkatkan Pengeboman ke Wilayah ISIS

AS terus melakukan pengeboman ke wilayah ISIS meski ada rencana menarik pasukan dari Suriah.

Liputan6.com, Damaskus - Setelah Donald Trump mengumumkan penarikan 2.000 tentara dari Suriah bulan lalu, militer Amerika Serikat (AS) menggenjot kampanye pengeboman terhadap wilayah yang masih dipegang oleh ISIS di bagian timur negara itu.

Serangan paling sengit dalam sepekan terakhir terjadi di Al Kashmah, sebuah desa di tepi Sungai Eufrat dekat perbatasan dengan Irak, menurut tiga sumber di Suriah timur.

Di tengah serangan udara AS dan tembakan artileri oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF), warga sipil dan anggota keluarga militan ISIS melarikan diri ke desa-desa di selatan, demikian sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Jumat (4/1/2019).

Meski begitu, Al Kashmah belum sepenuhnya jatuh ke tangan militer AS, di mana kini tersisa beberapa kelompok yang telah menjadi garis depan perang melawan ISIS di provinsi Deir Az Zor.

Ada sekitar 50.000 hingga 60.000 orang militan yang tetap berada di daerah-daerah itu, menurut seorang aktivis sipil di Deir Az Zor, yang mendokumentasikan pelanggaran HAM.

"Warga sipil di daerah-daerah ini tidak memiliki tempat untuk pergi atau bersembunyi dari pemboman AS terhadap desa-desa mereka," kata aktivis itu, seraya mencatat bahwa warga telah dirugikan di tangan pemerintah Suriah, Amerika Serikat, dan ISIS.

Desa-desa yang dikuasai ISIS di sepanjang tepian Sungai Eufrat telah menjadi sasaran serangan bom AS sejak November lalu, sebagai bagian dari Operasi Roundup.

Selain target militer, Operasi Roundup mengebom area sipil, termasuk Rumah Sakit Yarmouk, The Intercept dan Al Jazeera melaporkan bulan lalu.

Seorang militan senior ISIS mengatakan Rumah Sakit Yarmouk adalah fasilitas kesehatan umum terakhir yang merawat warga sipil di daerah itu.

Dia juga mengakui bahwa ISIS mungkin menggunakannya untuk merawat para militannya jika perawatan tidak tersedia di fasilitas kesehatan miliknya sendiri.

Kevin Jon Heller, seorang sarjana hukum internasional, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Amerika Serikat tidak dapat menyerang rumah sakit secara legal, hanya karena percaya beberapa militan ISIS ada di sana.

Heller mengatakan pemboman sebuah rumah sakit di zona pertempuran tanpa mempertimbangkan korban sipil, atau mengeluarkan peringatan, adalah pelanggaran mendasar hukum humaniter, komponen hukum internasional yang mengatur pelaksanaan perang dan perlindungan warga sipil.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Belum Bisa Memastikan Serangan Berakhir

Sementara itu, keputusan tiba-tiba Donald Trump pada 19 Desember lalu, untuk menarik pasukan darat AS yang terlibat dalam perang melawan ISIS di Suriah, bahkan mengejutkan Kementerian Pertahanan AS.

Berbicara kepada wartawan pada hari Rabu, Trump menolak untuk memberikan batas waktu untuk penarikan, dan sebaliknya mengatakan bahwa itu akan terjadi "selama periode waktu tertentu".

Namun, meningkatnya intensitas pemboman, klaim Trump dan yang lainnya bahwa ISIS telah dikalahkan oleh AS di Suriah, belum bisa memastikan apakah serangan yang didominasi dari udara itu akan benar-benar berakhir.

Selama beberapa hari menjelang akhir 2018, militer AS membom desa-desa di beberapa tepian Sungai Eufrat, terutama berfokus pada Al Kashmah.

Pada Malam Tahun Baru, bom-bom itu tanpa henti menyerang Al Kashmah, membuat sebagian desa di sana mengalami kehancuran pada pagi berikutnya.

Koalisi melawan ISIS disebut menargetkan kafe internet, menurut dua sumber di lapangan, yang kerap digunakan oleh para militan untuk menyambungkan infrakstruktur komunikasi taktis mereka.

Namun, menurut sumber lain, kafe internet justru lebih sering digunakan oleh militan untuk berkomunikasi dengan dunia luar, terutama keluarga mereka di negara lain.