Liputan6.com, Washington DC - Angkatan Darat Amerika Serikat berencana untuk menambah robotnya. Tidak untuk bertempur --paling tidak belum saatnya-- namun robot ini akan membantu personel di medan tempur.
Robot-robot ini tidak akan dipersenjatai, namun perusahaan yang memproduksi mereka telah terlibat dalam pertempuran yang lain.
Kontrak senilai hampir setengah miliar dolar menjadi taruhan guna pengadaan robot seukuran tas ransel yang dapat menjinakkan bom dan membantu menentukan letak posisi musuh. Kompetisi untuk memproduksi robot jenis ini telah sampai ke Kongres dan pengadilan federal.
Advertisement
Proyek ini dan yang serupa dengannya suatu hari diharapkan dapat membantu pasukan untuk "memeriksa sudut-sudut yang tidak terlihat, melihat apa yang ada di tepian bukit di depan dan membuat robot tersebut menanggung risiko atau ditembaki oleh musuh," ujar Paul Scharre, seorang pakar teknologi militer di Center for a New American Security, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (4/1/2019).
Baca Juga
Persaingan sengit untuk membangun robot-robot berukuran kecil ini membuka jendela persilangan antara teknologi dan pertahanan nasional. Hal ini juga menunjukkan bagaimana kekhawatiran bahwa China akan melampaui kemampuan militer AS dalam mendorong pertarungan geopolitik untuk mengungguli lawan-lawannya.
Kondisi ini juga menimbulkan pertanyaan apakah teknologi pertahanan hanya boleh dialihdayakan kepada perusahaan-perusahaan Amerika untuk mencegah risiko kebocoran rahasia kepada musuh-musuh Amerika.
Tidak peduli perusahaan mana yang akhirnya jadi pemenang kontrak, kompetisi ini dapat memperkirakan masa depan dimana robot, yang sudah menjadi piranti militer yang biasa, akan semakin sering dijumpai.
Diperkirakan Tersedia 5.000 Robot untuk Militer
Rencana jangka pendek Angkatan Darat AS saja memperkirakan akan ada 5.000 armada robot darat dengan ukuran yang bervariasi dan tingkat otonomi. Marinir, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara telah berinvestasi dalam bidang serupa.
"Estimasi pribadi saya robot akan memainkan peran signifikan dalam pertempuran dalam waktu sepuluh atau limabelas tahun ke depan," ujar KSAD AS, Jendral Mark Milley, di bulan Mei di depan Senat dimana ia mengajukan anggaran yang lebih besar untuk memodernisir Angkatan Darat.
Milley memperingatkan lawan-lawan Amerika Serikat seperti China dan Rusia "telah berinvestasi dalam jumlah besar dan dalam waktu yang sangat cepat" dalam memanfaatkan robot di udara, laut, dan daratan. Dan sekarang, tambahnya, "kami melakukan hal yang sama."
Perubahan semacam itu akan menjadi "perubahan besar bagaimana pertempuran akan berlangsung," ujar Scharre, yang memuji kepemimpinan Milley untuk mendorong modernisasi.
Ikrar akan dilakukannya investasi besar-besaran oleh Pentagon di bidang robotika telah menjadi bonus tersendiri bagi kontraktor-kontraktor pertahanan di Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan pemula di bidang teknologi. Namun situasinya tidak begitu menjanjikan bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki ikatan dengan entitas asing.
Simak video pilihan berikut:
Memicu kekhawatiran...
Kekhawatiran akan drone komersial populer buatan China, DJI, yang rentan dimanfaatkan untuk kegiatan mata-mata telah mendorong Angkatan Darat AS untuk mengeluarkan larangan penggunaan oleh para prajurit di tahun 2017.
Dan di bulan Agustus, Pentagon mempublikasikan laporan yang mengatakan China terlibat dalam kegiatan spionase untuk mendapatkan teknologi militer dari negara lain – kadang-kadang dengan memanfaatkan mahasiswa atau peneliti sebagai "agen atau perantara untuk memperoleh teknologi itu."
Pada pameran pertahanan bulan Desember yang berlangsung di Mesir, beberapa perusahaan AS melihat apa yang mereka sebagai robot tiruan buatan China dengan teknologi curian dari perusahaan mereka.
Kekhawatiran akan kegiatan mata-mata oleh China muncul di tengah kompetisi sengit antara perusahaan Israel, Robotem dan Endeavor Robotics yang berpusat di Massachusetts terkait serangkaian kontrak besar untuk mengembangkan robot daratan generasi berikutnya yang akan dioperasikan AD.
Mesin-mesin itu akan dirancang lebih pintar dan lebih mudah dikerahkan dibandingkan dengan kendaraan yang dikendalikan remote control yang telah membantu pasukan untuk menjinakkan bom selama lebih dari 15 tahun.
Kontrak terbesar --senilau US$ 429 juta-- menuntut produksi masal robot yang berbobot 11,33 kg yang tergolong ringan, mudah untuk bermanuver dan dapat dibawa "prajurit infanteri untuk jarak jauh tanpa membebani prajurit," ujar Bryan McVeigh, manajer proyek untuk proyeksi kekuatan di pusat riset dan kontrak AD di Warren, Michigan.
Purwarupa dengan ukuran yang lebih besar adalah kendaraan pemasok nirawak seukuran tank yang telah diuji pada pekan-pekan belakangan ini dalam medan yang sulit dan dalam kondisi musim dingin di luar Fort Drum, New York.
Kontrak ketiga senilai US$ 100 juta --dimenangkan oleh Endeavor akhir tahun 2017-- untuk robot pengintai dan penjinak bom berukuran sedang yang diberi julukan Centaur.
Advertisement
Kompetisi Antar Industri Semakin Sengit...
Kompetisi ini semakin sengit dan berubah menjadi pertarungan hukum ketika Roboteam menuduh Endeavor, perusahaan turunan iRobot, yang memproduksi robot penghisap debu Roomba, telah menghancurkan peluangnya untuk memenangkan kontrak tersebut dengan menyewa perusahaan pelobi yang menyebarkan informasi palsu kepada para politisi tentang investor China yang menanamkan modalnya pada perusahaan Israel itu.
Hakim federal menolak gugatan Roboteam pada bulan April.
"Mereka menduga kita berupaya untuk merusak nama baik mereka," ujar CEO Endeavor, Sean Bielat, mantan Marinir yang telah berusaha dua kali untuk menjadi anggota Kongres mewakili faksi Republik.
"Apa yang kita lakukan adalah membawa dokumen yang dapat diakses oleh publik dan menyajikannya ke anggota Kongres karena kami rasa ada cukup alasan akan kekhawatiran tentang pengaruh China dalam bidang teknologi pertahanan."
Perusahaan pelobi, Sachem Strategies yang berpusat di Boston, mengedarkan memo kepada para anggota Komite Angkatan Bersenjata di Kongres. Yang juga mengamini kekhawatiran Endeavor adalah anggota Kongres Seth Moulton, asal Massachusetts – dan orang seperti Bielat, seorang anggota Marinir veteran – yang mengirim surat kepada pejabat militer senior bulan Desember 2016 mendesak AD untuk “mengkaji bukti adanya pengaruh China” sebelum menganugerahkan kontrak untuk membangun robot kepada sebuah perusahaan.
Enam anggota DPR lainnya kemudian juga mengangkat keprihatinan serupa.
CEO Roboteam, Elad Levy, tidak bersedia berkomentar terkait dengan perseteruan tersebut namun perusahaan itu tetap “bekerja sama secara erat dengan Angkatan Bersenjata AS," termasuk AU AS, dan juga negara-negara lainnya. Namun perusahaan itu tidak lagi bersaing untuk memperebutkan peluang kontrak menggiurkan dari AD AS.
Endeavor masih tetap berusaha untuk mendapatkan kontrak itu dengan membangun robot yang mirip forklift berukuran mini dengan roda berantai mirip tank. Purwarupa robotnya dijuluki the Scorpion dan telah berlalu lalang di sekitar lahan uji coba di belakang sebuah lingkungan perkantoran di pinggiran kota Boston.
Satu-satunya finalis lainnya hanya terpisah 32 kilometer dari bekas kantor pusat Foster-Miller di Massachusetts, yang sekarang menjadi bagian kontraktor pertahanan Inggris, Qinetiq. Perusahaan tersebut tidak menjawab permohonan berulang kali untuk mendengarkan komentarnya. Kontrak ini diharapkan akan dianugerahkan pada awal tahun 2019.
Baik Endeavor maupun Qinetiq memiliki rekam jejak yang kuat dengan militer AS, dimana mereka telah memasok militer AS dengan robot daratan generasi awal seperti Packbot buatan Endeavor dan Talon serta Dragon Runner buatan Qinetiq.