Liputan6.com, Las Vegas - Tidak ada dunia fantasi yang lengkap tanpa naga bernapas api. Tetapi jika naga itu nyata, bagaimana mereka bisa mendapatkan napas membara semacam itu?
Alam, tampaknya, memiliki semua bagian yang dibutuhkan naga untuk membakar dunia. Makhluk itu hanya membutuhkan beberapa bahan kimia, dan beberapa mikroba, ungkap beberapa ilmuwan dari University of Nevada di Las Vegas, Amerika Serikat (AS).
Menurut mereka, sebagaimana dikutip dari situs web Science News for Students pada Kamis (10/1/2019), api memiliki tiga kebutuhan dasar: sesuatu untuk menyalakan, bahan bakar untuk membuatnya tetap menyala, dan oksigen, yang berinteraksi dengan bahan bakar saat terbakar.
Advertisement
Baca Juga
Bahan terakhir adalah yang paling mudah ditemukan. Oksigen membentuk 21 persen dari atmosfer Bumi, di mana hal itu menjadi tantangan besar untuk menciptakan api di berbagai situasi.
"Hal yang diperlukan untuk memicu percikan adalah batu api dan baja," tulis Frank van Breukelen, seorang ahli biologi di University of Nevada.
Jika seekor naga memiliki organ seperti ampela burung, ia dapat menyimpan batu yang tertelan. Pada burung, bebatuan itu membantu memecah makanan sulit. Batu yang tertelan mungkin bergesekan dengan beberapa baja di dalam naga, memicu nyala api.
"Jika percikan cukup dekat dengan bahan bakar yang sangat sensitif, itu mungkin cukup untuk menyalakannya," jelas Breukelen.
Tetapi beberapa bahan kimia tidak membutuhkan percikan awal itu. Molekul piroforik meledak berkobar begitu mereka terhubung dengan udara.
"Pertimbangkan unsur iridium," kata Raychelle Burks, seorang ahli kimia di St. Edwards University di Austin.
Iridium memicu berbagai warna pembakaran ketika bereaksi dengan beragam molekul. Salah satunya adalah oranye atau merah, yang umum diketahui publik. Yang lain memicu warna pembakaran ungu muda.
Sayangnya, iridium tidak umum, terutama dalam biologi. "Ada banyak elemen keren di tabel periodik, tetapi (makhluk hidup) hanya menggunakan sedikit di antaranya," Burks menjelaskan.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Sendawa Api
Naga fiksi sering menyemburkan gas menyala. Tetapi gas akan menimbulkan masalah, kata Matthew Hartings, seorang ahli kimia di American University di Washington, D.C.
Gas, menurutnya, berjalan memenuhi sebuah kondisi ruang yang tersedia, di mana untuk menjaganya, dibutuhkan tekanan cukup.
"Oleh karena itu, bahan kimia seperti fosfin -- bahan kimia yang terbuat dari satu atom fosfor dan tiga atom hidrogen-- bukan solusi sempurna untuk napas api pada naga," kata Hartings.
Titik didih untuk fosfin adalah minus 84 derajat Celsius, dan menurut Hartings, itu kemungkinan cocok untuk suhu tenggorokan makhluk berukuran lebih raksasa dari komodo, yang dinilainya memiiki cukup "gas panas".
Juga, menurut catatan Hartings, gas sulit dikendalikan. Jika seekor naga meniupkan gas panas ke angin, kobaran api dapat mengenai bagian kulit makhluk itu dan menghanguskan wajahnya.
"Anda memiliki peluang yang jauh lebih baik untuk mengendalikan semprotan api ketika mendorong cairan daripada gas," jelasnya, merujuk pada reaksi kebakaran yang bisa tiba-tiba meluas karena adanya oksigen.
Â
Advertisement
Kompleksitas Bakteri Pemicu Reaksi Api
Kelompok peneliti dari University of Nevada mengatakan bahwa banyak cairan di alam bisa memicu kebakaran.
Makhluk hidup sudah menghasilkan dua di antaranya yang mungkin bekerja serupa pada tenggorokan seekor naga, yakni etanol dan metanol. Keduanya adalah jenis alkohol yang sering dijadikan sebagai bahan bakar.
"Tentu saja, kita tahu bahwa ragi membuat etanol," kata Hartings. Jamur sel tunggal ini mengubah gula menjadi alkohol. Itu sebabnya mereka terbiasa membuat bir dan membuat minuman beralkohol lainnya.
Seekor naga dengan perut berisi ragi tidak sebodoh kelihatannya. Ragi sejatinya adalah bagian dari komunitas mikroba yang hidup pada tubuh manusia dan hewan lainnya.
Sementara itu, metanol pertama-tama membutuhkan metana.
Hewan pemamah biak --termasuk sapi, kambing, harimau, dan rusa-- menghasilkan metana selama proses pencernaan. Bakteri tertentu dapat mengubah metana menjadi metanol, catat Hartings.
Seekor naga yang mendapat cukup serat dalam makanannya untuk membuat metana bisa meneruskan gas itu ke bakteri-bakteri pengsisi saluran pencernaannya, yang akan mengubahnya menjadi metanol.
Saat berada pada kondisi tubuh yang sangat panas, bakteri-bakteri di dalam perut hewan mamalia dapat mendorong tubug mengeluarkan etanol sebagai "pendingin alami".
Apabila metanol dan etanol bertemu di dalam mulut, dalam kasus umum pada manusia dan hewan, akan menciptaakn nafas berat yang cenderung bau.
"Pada kompleksitas bakteri di organ dalam naga, dengan melihat kondisinya yang digambarkan begitu raksasa, maka bisa jadi reaksi pertemuan etanol dan metanol akan menjadi suatu pemicu percikan api. Bisa jadi inilah yang disebut sebagai api naga," ujar van Breukelen.