Liputan6.com, Washington DC - Senat Amerika Serikat (upper-chamber Kongres AS), pada Kamis 10 Januari 2019 malam waktu lokal, dengan suara bulat menyetujui sebuah Rancangan UU yang akan menjamin pembayaran gaji dan berbagai tunjangan bagi para pegawai federal yang tertunda di tengah government shutdown atau keputusan Presiden Donald Trump untuk menutup pemerintahan.
Kedengarannya kabar baik, tapi RUU itu tidak akan membantu lebih dari 800.000 pegawai federal yang tidak mendapat gaji pekan ini sejak penutupan pemerintah dimulai tanggal 22 Desember 2018, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (11/1/2019).
Advertisement
Baca Juga
Government shutdown terjadi karena House of Representatives AS (lower-chamber Kongres AS) tidak mau memberikan dana US$ 5,7 miliar yang diminta Presiden Trump untuk membangun tembok di perbatasan AS - Meksiko, yang katanya diperlukan untuk mencegah masuknya imigran gelap dan narkoba.
Kalau berlangsung sampai Sabtu 12 Januari 2019, shutdown pemerintah ini akan menjadi yang terlama dalam sejarah Amerika Serikat, karena sampai kini belum ada tanda-tanda dicapainya penyelesaian.
Presiden Trump pada Kamis 10 Januari berkunjung ke Kota McAllen dekat perbatasan Meksiko untuk melihat persiapan pejabat setempat dalam menghentikan arus imigran Amerika Tengah ke Amerika Serikat.
Donald Trump mengancam akan memberlakukan keadaan darurat apabila fraksi Partai Demokrat di House of Representatives tetap tidak mau memberinya dana untuk membangun tembok itu.
Presiden juga akan mempertimbangkan menggunakan dana dari anggaran keperluan militer.
Â
Simak video pilihan berikut:
Ancaman Trump
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengancam untuk mengumumkan kondisi darurat nasional, menyusul tak disetujuinya rencana anggaran perluasan tembok pembatas di selatan.
"Saya memiliki hak mutlak untuk mengumumkan kondisi darurat nasional," kata Trump kepada wartawan ketika ia bertolak menuju sebuah acara di dekat tembok perbatasan.
Dia juga mengatakan Meksiko akan "secara tidak langsung" membayar pembangunan tembok perbatasan, di mana hal itu bertentangan dengan memo kampanye sebelumnya, demikian sebagaimana dikutip dari BBC pada Jumat (11/1/2019).
Sebagaimana diketahui, dalam memo kampanye yang dibuatnya pada 2016 lalu, Trump menguraikan bagaimana ia berencana untuk "memaksa Meksiko melakukan pembayaran satu kali" sebesar US$ 5-10 miliar (setara Rp 70,3 miliar hingga Rp 140 miliar) untuk tembok perbatasan.
Sementara itu, pemerintahan AS telah ditutup sebagian selama 20 hari, pembayaran kepada sekitar 800.000 pegawai federal terhambat.
Donald Trump disebut enggan beri tanda tangan pada kesepakatan mendanai dan membuka kembali pemerintahan, jika Kongres tidak memasukkan dana US$ 5,7 miliar (setara Rp 80,2 triliun) untuk perluas pagar tembok di perbatasan AS-Meksiko.
Meski begitu, perundingan tentang isu tersebut tetap menemui jalan buntu karena kubu Demokrat --yang menguasai sebagian besar kursi DPR AS-- menolak memberi Trump uang.
Di lain pihak, para pemimpin kubu Republik bersikeras mendukung Donald Trump, meski sebagian anggotanya di parlemen menyerukan untuk mengkashiri penutupan pemerintahan.
Sementara itu, sehari setelah Trump walk out dari perundingan dengan kubu Demokrat, Kamis 10 Januari 2019, dia pergi mengunjugi sebuah stasiun patroli perbatasan di Kota McAllen, yang berlokasi di lembah Sungai Rio Grande, negara bagian Texas.
Dia mengatakan bahwa jika Kongres AS tidak menyetujui pendanaan untuk tembok itu, dia akan segera menyatakan kondisi darurat nasional untuk melampaui keputusan parlemen.
Di McAllen, dia menemui para petugas patroli perbatasan, dan keluarga dari warga AS yang tewas terbunuh oleh imigran gelap.
"Jika kami tidak memiliki tembok pembatas... Anda tidak akan dapat menyelesaikan masalah ini," katanya, seraya menambahkan bahwa masyarakat AS berisiko menghadapi "kerja keras", "kelelahan akut", dan banyak kematian tanpanya.
"Mereka mengatakan tembok itu seperti teknologi abad pertengahan ... Mereka lupa bahwa ada banyak hal yang berhasil darinya," lanjut Trump.
Advertisement