Sukses

Pengamat: Isu Agama Tak Akan Bertahan Lama di Dunia Politik

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, seorang akademisi dan sosiolog Ariel Heryanto memprediksi isu agama tak selamanya akan bertahan di dunia politik.

Liputan6.com, Jakarta - 2019 menjadi tahun politik di Indonesia. Pasalnya, pemilihan umum serentak, mulai dari pemilihan presiden (pilpres) hingga pemilihan legislator (pileg) akan berlangsung tahun ini.

Rentetan baliho dan iklan kampanye mulai terlihat di ruas jalanan, baik desa maupun kota. Para calon politisi pun memasukkan jargon dan misi singkat di iklan kampanye sambil mengajak pemilih untuk mencoblos nomor urut mereka.

Situasi Tanah Air dinilai banyak orang kian panas menjelang pemilihan umum. Segala isu dimainkan -- termasuk agama -- demi menyerang lawan politik.

Belakangan, isu semacam ini kerap digunakan. Sebab murah dan tak perlu banyak modal serta efektif untuk menghajar para lawan.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, seorang akademisi dan sosiolog Ariel Heryanto memprediksi bahwa praktik semacam ini tak selamanya akan bertahan.

"Saat ini banyak orang yang sudah mulai risih dengan pemakaian praktik semacam itu. Kebanyakan dari mereka adalah Cendikiawan Muslim dan jumlahnya akan semakin besar," ujar Ariel Heryanto.

"Saya percaya isu agama semacam ini tak akan bertahan lama di dunia politik. Sudah banyak orang yang menempuh cara itu, dan semakin banyak pula orang yang tidak suka," tambahnya.

Pria yang pernah tercatat sebagai salah satu guru besar di School of Culture, History and Language, The Australian National University, Australia tersebut juga memaparkan akibat yang akan diterima oleh oknum yang menggunakan praktik kotor semacam ini.

"Ini menjadi sesuatu yang sifatnya hegemonik. Jadi siapapun yang bermain-main akan mengambil risiko besar. Terlebih 'mereka' menggunakannya sebagai alat politik guna menjatuhkan lawan."

"Agama hanya digunakan sebagai alat saja. Jika di masa mendatang ada alat yang dianggap lebih efisien, maka mereka akan mengganti alat lamanya menjadi yang baru."

"Saat ini banyak sekali orang yang oportunis. Dan ini adalah politik khas jaman sekarang, sesudah tahun 1965 -- yaitu politik tanpa ideologi."

"Orang sangat prakmatis, mudah berganti-ganti partai politik karena tidak ada ideologinya. Tidak terbayang apabila seseorang ini hidup di tahun 1950-an. Mereka percaya betul ada visi politik yang berbasis Islam misalnya. Tetapi saat ini tidak ada sama sekali. Semua jadi dagangan."

Sosiolog yang pernah memelopori gerakan Sastra Kontekstual itu juga mengajak kaum muda untuk selalu memiliki wawasan historis dan tak mudah putus asa dalam satu masa saja, terutama dalam urusan politik.

"Saya ingin mengajak anak muda terutama untuk melihat apa yang menonjol di suatu jaman. Itu sifatnya proses kesejarahan bahwa sejatinya itu berubah-ubah dan tidak tetap. Banyak orang tidak memiliki wawasan itu," ujar Ariel.

"Banyak orang yang hanya beranggapan, 'ya sudah jika kondisinya seperti ini'. Pesan saya yang utama adalah ini ada batasnya. Jika kita melihat awalnya, maka ada ceritanya mengapa menjadi seperti ini. Itu yang sama mau. Saya ingin banyak anak muda yang memiliki wawasan historis," tambahnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Pesan Jokowi di Tahun Politik

Menjelang Pemilu 2019, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengingatkan pentingnya peran pemimpin di daerah khususnya kepala desa untuk menjaga persatuan, persaudaraan, dan kerukunan di masyarakat.

Jokowi juga mengingatkan bahwa kepala desa bisa menyadarkan, mematangkan, dan mendewasakan cara-cara berpolitiknya untuk rakyat.

"Memasuki tahun politik 2019, saya kembali mengingatkan pentingnya menjaga persatuan, persaudaraan, dan kerukunan di masyarakat. Sebagai yang paling depan berhubungan dengan rakyat, para kepala desa hendaknya bisa menyadarkan, mematangkan, dan mendewasakan cara-cara berpolitik kita untuk rakyat. Mari sama-sama mendinginkan suasana," imbau Jokowi melalui akun Facebooknya, yang dikutip Liputan6.com, Jumat 27 Juli 2018.