Sukses

Kasus Kaburnya Remaja Saudi Bikin Sikap Thailand ke Pengungsi Melunak?

Sikap pihak imigrasi Thailand disebut melunak ke pengungsi setelah kasus kaburnya remaja Saudi yang takut dibunuh keluarganya. Benarkah demikian?

Liputan6.com, Bangkok - Kepala imigrasi Thailand mengumumkan pada Rabu 16 Januari, bahwa pihaknya tidak akan lagi memaksa para pengungsi untuk pulang "tanpa pendampingan", menyusul permohonan putus asa seorang remaja perempuan asal Arab Saudi untuk suaka, menarik perhatian global.

Thailand sendiri diketahui sebagai salah satu negara yang tidak menandatangani konvensi PBB tentang pengungsi, demikian sebagaimana dikutip dari Channel News Asia pada Kamis (17/1/2019).

Selain itu, Thailand juga telah lama dikecam karena kerap menahan sepihak para pengungsi, dan tidak jarang mengembalikan mereka ke negara asal yang memiliki rezim represif, sehingga berisiko menghadapi ancaman penjara atau hukuman yang lebih buruk.

Banyak kasus sejennis tidak terungkap ke permukaan, sebelum kemudian berubah ketika seorang remaja perempuan berusia 18, Rahaf Mohammed al-Qunun, kabur dari orang tuanya yang berkewarganegaraan Arab Saudi karena mengaku murtad, dan nyawanya tengah dipertaruhkan.

Qunun mengurung diri di sebuah hotel transit di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, ketika petugas imigrasi berusaha memaksanya pulang ke negara asal. Di tengah upaya memblokade diri, dia terus menerus mengetwit tentang ketakutan kembali ke negara dan keluarganya, karena ancaman pengabaian hak asasi manusia.

Rangkaian kicauannya menarik perhatian global, membuatnya mendapat perlindungan dari badan pengungsi PBB selama beberapa hari, sebelum kemudian diterbangkan ke Kanada untuk mendapatkan suaka di sana. Qunun mendarat di Toronto pada Sabtu 12 Desember, dan disambut oleh menter luar negeri setempat, Chrystia Freeland.

Qunun mengklaim dirinya mengalami pelecehan di Arab Saudi, dan menolak untuk melihat anggota keluarganya yang datang ke Thailand, untuk membujuknya pulang.

Pemrosesan kasusnya yang sangat cepat tidak pernah terjadi sebelumnya di Thailand, dan hal itu diawasi secara penuh oleh kepala imigrasi setempat, Surachate Hakparn.

Besarnya perhatian global terhadap kasus tersebut, menurut beberapa opini media lokal, membuat Thailand "tersentil" untuk melakukan reformasi terhadap kebijakan imigrasinya.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Dituding Menyerah pada Tekanan

Menanggapi pertanyaan tentang perlakuan Thailand terhadap pengungsi, Surachate mengatakan di hadapan wartawan bahwa dia akan mengambil pendekatan baru, di mana "tidak akan ada yang dikirim kembali ke negara asal jika mereka tidak ingin kembali".

Dia menambahkan bahwa sebagai kepala departemen imigrasu, "kami sekarang akan mengikuti norma-norma internasional."

Namun, klaim itu disambut dengan skeptis oleh sebagian kalangan, menyusul penangkapan pemain sepak bola --yang juga pengungsi-- Hakeem Alaraibi di Thailand November lalu, yang sebenarnya telah diberikan izin tinggal permanen di Australia, tetapi ditahan di bandara Bangkok ketika hendak pergi berlibur.

Alaraibi, mantan pemain tim nasional Bahrain, diburu atas tuduhan perusakan kantor polisi terkait peristiwa Arab Spring di Timur Tengah, beberapa tahun silam.

Namun, kelompok-kelompok pemerhati HAM mengatakan bahwa Alaraibi tengah bertanding saat kerusuhan merebak, dan tegas mengklaim bahwa tuduhan Bahrain adalah palsu.

Australia telah menyerukan agar Alaraibi dikembalikan ke negara itu, tempat di mana dia tinggal dan bermain untuk tim sepak bola kota Melbourne.

Surachate mengatakan kasus itu berbeda karena ada surat perintah penangkapan yang bersifat luar biasa mendesak dari Bahrai terhadap Alaraibi, tetapi kemudian mengatakan bahwa ia dapat memperdebatkan kasus tersebut di pengadilan.

"Pemrosesan Qunun tidak akan menjadi contoh untuk kasus-kasus imigrasi Thailand di masa depan," tegas Surachate, seraya membantah bahwa pihaknya menyerah pada tekanan internasional pada kasus terkait.