Liputan6.com, New York - Menurut sebuah laporan yang dikeluarkan oleh PBB, sepertiga dari staf dan kontraktor-nya mengalami pelecehan seksual dalam dua tahun terakhir.
Survei daring, yang dilakukan oleh Deloitte pada bulan November, ini diikuti oleh 30.364 staf dari PBB dan agen-agennya -hanya 17 persen dari mereka yang memenuhi syarat.
Dalam sebuah surat kepada para stafnya, sekretaris jenderal PBB, Antonio Guterres menggambarkan tingkat respons itu "cukup rendah," demikian seperti dikutip dari ABC Indonesia, Kamis (17/1/2019).
Advertisement
Baca Juga
"Ini memberi tahu saya dua hal: pertama, bahwa kita masih memiliki jalan panjang sebelum kita bisa membahas pelecehan seksual secara penuh dan terbuka; dan kedua, bahwa mungkin juga ada rasa ketidakpercayaan yang terus-menerus, persepsi tak ada aksi dan kurangnya akuntabilitas," tulisnya.
Survei ini dilakukan di tengah gerakan #MeToo yang lebih luas di seluruh dunia melawan pelecehan dan kekerasan seksual.
Menurut laporan itu, 21,7 persen responden mengatakan mereka menjadi korban seksual atau lelucon ofensif; 14,2 persen menerima komentar ofensif tentang penampilan, tubuh atau kegiatan seksual mereka; dan 13 persen menjadi target dari perbuatan tak menyenangkan untuk menarik mereka ke dalam diskusi tentang masalah seksual.
Sekitar 10,9 persen dari responden pekerja PBB mengaku disuguhi gerakan atau penggunaan bahasa tubuh yang bersifat seksual, yang membuat mereka malu atau tersinggung; dan 10,1 persen disentuh dengan cara yang membuat mereka merasa tidak nyaman
Â
Simak video pilihan berikut:
Dua Pertiga Pelaku adalah Laki-Laki
Lebih dari setengah dari mereka yang mengalami pelecehan seksual mengatakan hal itu terjadi di lingkungan kantor, sementara 17,1 persen mengatakan hal itu terjadi di sebuah acara sosial terkait pekerjaan.
Menurut survey itu, dua dari tiga pelaku pelecehan adalah laki-laki.
Hanya satu dari tiga orang yang mengatakan bahwa mereka mengambil tindakan setelah mengalami pelecehan seksual tersebut.
Guterres mengatakan laporan itu berisi, "beberapa statistik dan bukti serius tentang apa yang perlu diubah untuk menjadikan tempat kerja yang bebas pelecehan menjadi nyata bagi kita semua".
"Sebagai organisasi yang didirikan atas dasar kesetaraan, martabat, dan hak asasi manusia, kita harus memimpin dengan memberi contoh dan menetapkan standar," katanya.
PBB telah berusaha meningkatkan transparansi dan memperbaiki cara organisasinya dalam menangani dengan tuduhan seperti itu selama beberapa tahun terakhir setelah muncul serangkaian eksploitasi seksual dan tuduhan pelecehan terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB di Afrika.
Kepala badan PBB untuk HIV dan AIDS juga mengundurkan diri pada bulan Juni, 6 bulan sebelum masa tugasnya berakhir, setelah sebuah panel independen mengatakan "kepemimpinannya yang buruk" menoleransi "sebuah budaya pelecehan, termasuk pelecehan seksual, intimidasi, perundungan, dan penyalahgunaan kekuasaan".
Advertisement