Liputan6.com, Berlin - Tokoh-tokoh Jerman terkemuka telah menulis surat petisi kepada Inggris, memintanya untuk tinggal di Uni Eropa alias membatalkan Brexit.
Surat itu, yang diterbitkan di Times, ditandatangani oleh 31 orang, termasuk pemimpin Partai Uni Demokratik Kristen, Annegret Kramp-Karrenbauer --yang digadang-gadang sebagai kanselir Jerman berikutnya-- hingga mantan kiper Arsenal Jens Lehmann.
Petisi itu mengutip peran Inggris di Eropa pasca-Perang Dunia II dan menyerukan agar Britania Raya tetap tinggal.
Advertisement
"Tanpa bangsamu yang hebat, Benua ini tidak akan menjadi seperti sekarang ini," tulis mereka, seperti dikutip dari BBC, Jumat (18/1/2019).
Baca Juga
Surat itu, yang juga ditandatangani oleh kepala eksekutif Airbus, Thomas Enders, dan penyanyi punk Campino, mengatakan Inggris telah membantu mendefinisikan Uni Eropa sebagai komunitas "kebebasan dan kemakmuran".
"Setelah kengerian Perang Dunia Kedua, Inggris tidak menyerah pada kita," lanjutnya.
"Itu telah menyambut Jerman kembali sebagai negara berdaulat dan kekuatan Eropa."
"Kita ini, sebagai orang Jerman, tidak lupa dan kita bersyukur."
Para penandatangan mengatakan bahwa mereka "menghormati pilihan" orang-orang Inggris yang ingin Brexit dan, jika negara itu ingin pergi untuk selamanya, "negara itu akan selalu memiliki teman di Jerman dan Eropa".
Tetapi mereka mengatakan pilihan itu tidak dapat diubah dan "pintu kami akan selalu terbuka".
Surat itu menyimpulkan: "Inggris telah menjadi bagian dari siapa kita sebagai orang Eropa dan karena itu kita akan merindukan Inggris.
"Kami akan kangen humor Inggris yang legendaris dan pergi ke pub setelah jam kerja untuk minum bir. Kami akan rindu teh dengan susu dan mengemudi di sisi kiri jalan. Dan kami akan kehilangan melihat panto saat Natal.
"Tetapi lebih dari segalanya, kami akan merindukan orang-orang Inggris - teman-teman kami di seluruh Channel."
"Karena itu orang Inggris harus tahu, dari lubuk hati kita, kita ingin mereka tetap di sini (Uni Eropa)," alias batal Brexit.
Â
Simak video pilihan berikut:
Inggris Tetap Ingin Brexit
Perdana Menteri Inggris Theresa May selamat dari voting mosi tidak percaya di House of Commons (lower-chamber Parlemen Inggris) pada Rabu 16 Januari 2019 malam waktu lokal.
Hasil akhir voting menunjukkan, 325 anggota Commons menolak PM May lengser, mengalahkan 302 suara yang menghendaki sebaliknya, demikian seperti dikutip dari NDTV, Kamis (17/1/2019).
Voting mosi tidak percaya diajukan pada hari yang sama setelah kesepakatan Brexit yang dirancang PM May ditolak oleh Parlemen Inggris pada Selasa 15 Januari 2019. Melalui sistem pemungutan suara, 432 anggota parlemen menolak rancangan tersebut, sedangkan 202 suara mendukung.
Penolakan Parlemen terhadap kesepakatan Brexit tidak berarti bahwa Britania Raya batal keluar dari Uni Eropa. Itu hanya menunjukkan ketidaksetujuan parlemen terhadap rancangan Brexit yang dirancang sang perdana menteri. Inggris kemungkinan besar tetap pada jadwal untuk keluar dari Uni Eropa pada 29 Maret 2019, BBC melaporkan.
Selepas kekalahan itu, Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn --yang beroposisi dengan Partai Konservatif perdana menteri May-- mengajukan mosi tidak percaya pada pemerintah, yang dapat memicu pemilihan umum untuk menggeser May. Namun, sang perdana menteri selamat.
Biasanya, seorang pemimpin Inggris yang kalah dalam voting undang-undang terpenting pemerintahannya dengan selisih besar mungkin diharapkan untuk mengundurkan diri atau dilengserkan lewat mosi tidak percaya. Tetapi, kini bukan waktu yang normal di Britania Raya.
Brexit membelah masyarakat Inggris dan politisinya, membagi mereka ke dalam dua kubu pro-Brexit (Leavers) dan yang menentangnya (Remainers), namun dengan masing-masing pihak tak memiliki posisi yang kuat untuk saling mengalahkan.
PM May kini sekarang harus kembali ke Parlemen pada pekan depan untuk memberikan semacam 'rencana B' seputar rancangan Brexit-nya --yang umumnya berisi tentang 'kepergian teratur' Inggris dari Uni Eropa pada 29 Maret nanti.
Kesepakatan tersebut mencakup menyiapkan periode transisi 21 bulan untuk menegosiasikan kesepakatan keimigrasian hingga perdagangan bebas dalam skema bilateral antara Inggris dengan per negara Eropa yang masih menjadi anggota UE.
Hal itu juga termasuk menyelesaikan salah satu isu panas Brexit, yakni seputar regulasi perbatasan dan perlintasan komoditas di Irlandia (yang memisahkan Republik Irlandia yang merupakan anggota Uni Eropa; dengan Irlandia Utara yang merupakan anggota persemakmuran Inggris) --atau populer dikenal dengan istilah "The Irish Backstop".
Advertisement