Liputan6.com, New York - Ribuan wanita berkumpul di kota-kota di Amerika Serikat dan di berbagai titik di seluruh dunia, pada Sabtu, 19 Januari 2019. Mereka kembali mengikuti pawai Women's March ketiga untuk menuntut kesetaraan gender dan menyerukan perhatian pada isu-isu lingkungan, hak-hak imigran, dan lain-lain.
Dalam sebuah aksi protes di Washington D.C., hanya beberapa blok dari Gedung Putih, penyelenggara dan aktivis hak-hak transgender Abby Stein mengatakan kepada para pengunjuk rasa bahwa mereka tidak akan bisa dipecah-belah.
Baca Juga
"Banyak orang di luar sana dan media yang berusaha memecah-belah kita. Yang menyatukan kita justru bukan karena kita semua sama, namun karena kita berbeda," seru Stein, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu, 20 Januari 2019.
Advertisement
Pastor Gereja House of the Lord, Leah Daughtry, juga berorasi. Ia menekankan slogan "kita tidak boleh berhenti."
"Kita tidak akan setop sampai setiap anak dipersatukan kembali dengan orangtua mereka di perbatasan (Meksiko-AS). Kita tidak boleh setop. Kita tidak akan setop sampai setiap anak memiliki akses yang bebas dan penuh untuk mendapat pendidikan,” kata Daughtry.
"Kita tidak boleh berhenti. Kita tidak akan berhenti sampai setiap orang memiliki akses penuh, bebas, adil untuk mendapat layanan kesehatan," tambahnya.
Selain di Negeri Paman Sam, Women's March juga digelar pada akhir pekan ini di sejumlah negara di Eropa dan Australia, juga di Taiwan hingga Argentina. Sejumlah negara lain, termasuk Indonesia, juga akan mengadakan aksi serupa tahun ini.
Women's March pertama diadakan pada 2017, sehari setelah Donald Trump dilantik sebagai presiden ke-45 AS.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Tahun Lalu...
Ribuan kaum hawa di berbagai negara turun ke jalanan pada hari Minggu, 21 Januari 2018. Mereka meyerukan kesetaraan gender di dunia politik dan ekonomi, keadilan, serta diakhirinya pelecehan seksual.
Inilah Women's March kedua, yang diklaim sebagai yang terbesar dari tahun 2017.
Mengutip surat kabar New York Times, Minggu, 21 Januari 2018, Women's March di Amerika Serikat dibarengi dengan peringatan satu tahun kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Meski fokus demo memang ditujukan kepada Trump, namun persoalan mengenai hak-hak perempuan juga diseret di dalamnya.
Misalnya saja pengusutan tuntas kasus pelecehan seorang karyawati di tempat kerja -- yang dinilai "hilang ditelan Bumi" dan tak ada kejelasan setelah satu tahun laporan korban -- dan pelecehan seksual terhadap atlet Olimpiade wanita.
"Aksi ini bukan hanya melawan Trump," kata Lily Manning, perempuan 23 tahun yang bergabung dalam Women's March bersama ibunya di Paris, Prancis, di seberang Menara Eiffel. Meski saat itu hari sedang hujan dan udara begitu dingin.
Manning mencatat, selain Women's March, ada sebuah gerakan yang juga menyoroti hak-hak perempuan, yakni #MeToo.
"Kami memiliki lebih banyak platform dan semua orang mendengarkannya," imbuhnya.
Rebecca Park, warga Amerika Serikat berusia 29 tahun yang bekerja di sebuah yayasan sejarah seni di Paris, mengaku bahwa dia tak terima Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, ketika ikut dalam demonstrasi tahun lalu.
"Kali ini, tujuan saya adalah untuk menyalurkan kesedihan dan rasa amarah yang masih terpendam pada tahun lalu, mengubahnya menjadi sesuatu yang produktif," ungkap Park.
Sementara itu di London, juru bicara Women's Equality Party, Harini Iyengar, juga terlihat berada di tengah-tengah aksi demo tersebut.
Meski partai politik ini baru didirikan beberapa tahun lalu, namun Women's Equality Partytumbuh dengan cepat di Inggris.
"Plakat saya mengatakan, 'Kami telah berdemo selama 100 tahun', tapi nyatanya setelah 100 tahun kami masih belum mencapai kesepakatan politik untuk mengakhiri kekerasan seksual terhadap perempuan dan remaja atau pelecehan seksual di tempat kerja di Inggris," tegasnya.
Demonstran lain, Hannah Mudd (19), menyampaikan bahwa dirinya ikut aksi tahun ini karena termotivasi oleh Women's March tahun lalu di Amerika Serikat.
"Gerakan seperti itu sangat menginspirasi. Saya benar-benar menangis. Solidaritas ternyata tidak berdiri sendiri," ucap Mudd.
Advertisement