Sukses

IOM Sebut 200 Pengungsi Tenggelam di Laut Mediterania Sepanjang 2018

Sepanjang 2018, dilaporkan bahwa sebanyak 200 orang pengungsi dari Afrika tenggelam di Laut Meditrerania.

Liputan6.com, Roma - Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melansir laporan terbaru yang menyebut sebanyak 200 orang pengungsi tewas saat berusaha menyeberangi Laut Mediterania.

Pada Sabtu 19 Januari, dua perahu tenggelam ketika mencoba melakukan perjalanan melintasi Mediterania. Tragedi itu menewaskan sedikitnya 117 orang.

Tahun lalu, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Selasa (22/1/2019), sekitar 2.297 imigran meninggal atau hilang di Mediterania, sementara 116.959 orang lainnya berhasil mencapai Eropa melalui perairan laut.

Menurut IOM, jumlah kedatangan imigran ke Eropa via laut, dalam 16 hari pertama 2019, berjumlah 4.216 orang. Fakta tersebut meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan total 2.365 orang pada periode yang sama, tahun lalu.

Angka-angka dalam laporan terbaru IOM muncul ketika Italia, pelabuhan kedatangan pertama bagi banyak orang yang mencoba melakukan perjalanan berbahaya dari Afrika Utara ke Eropa, lagi-lagi menghadapi kritik pedas atas perlakuannya terhadap para pengungsi, setelah mengirim kembali 393 orang ke Libya yang telah diselamatkan.

"Sebanyak 393 imigran yang dijemput oleh penjaga pantai Libya kemarin semuanya dalam kondisi aman dan sehat," ujar Menteri Dalam Negeri Italia, Matteo Salvini, dalam sebuah pernyataan resmi.

Salvini menegaskan bahwa mengembalikan imigran ke negara asalnya adalah satu-satunya cara efektif untuk mencegah kedatangan ilegal dari Libya, dan mengatakan penurunan tajam arus imigran saat ini, membuktikan bahwa dia benar.

Hingga Juni 2018, Italia masih menerima sebagian besar imigran yang diselamatkan oleh kelompok-kelompok kemanusiaan.

Namun, sejak itu, Salvini menutup pelabuhan Italia, mengakibatkan kekecewaan meluas di kalangan para kelompok kemanusiaan, organisasi internasional dan negara-negara Eropa lainnya.

Akibat penutupan itu, Kementerian Dalam Negeri Italia mengatakan bahwa jumlah pengungsiyang mendarat di negaranya berjumlah 155 orang pada awal tahun ini, jauh berbeda dengan 21 hari pertama pada 2018, yakni sebanyak 2.730 orang.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Bertentangan dengan Hukum Internasional

Sementara itu, PBB mengatakan bahwa imigran yang dipulangkan kembali ke Libya bertentangan dengan hukum internasional, karena mereka berisiko mengalami pelecehan dan penyiksaan di negara asalnya.

"Kembalinya dari perairan internasional ke Libya bertentangan dengan hukum internasional," ujar Vincent Cochetel, utusan khusus Badan Pengungsi PBB (UNHCR) untuk situasi Mediterania.

Cochetel mendasarkan pernyataannya, antara lain, pada laporan baru oleh Human Rights Watch (HRW), di mana merinci keadaan mengerikan yang harus dialami para pengungsi di Libya.

Menurut laporan itu, para pengungsi dibawa ke kamp-kamp penahanan Libya yang penuh sesak, tidak memiliki akses ke makanan layak, perawatan kesehatan atau sanitasi, serta kerap mengalami kekerasan oleh penjaga.

"Imigran dan pencari suaka yang ditahan di Libya, termasuk anak-anak, terperangkap dalam mimpi buruk, dan apa yang dilakukan pemerintah Uni Eropa justru membuat para pengungsi kesulitan keluar dari kondisi yang kejam ini," kata Judith Sunderland, direktur asosiasi Eropa di HRW.

Negara-negara Eropa telah lama berselisih tentang solusi permanen bagi pengungsi dari Suriah, Afghanistan, Eritrea dan banyak negara lain yang berusaha mencapai pantainya.

Sebagai akibatnya, sebagian besar kelompok kemanusiaan telah meninggalkan upaya penyelamatan laut.

Aquarius, kapal penyelamat amal terakhir yang beroperasi di Libya, mengakhiri operasinya pada bulan Desember karena "kampanye kotor" oleh pemerintah-pemerintah Eropa, menurut Doctors without Borders (MSF), yang menjalankan kapal itu.

Juli lalu, sebanyak 193 anggota PBB, tidak termasuk Amerika Serikat, menyetujui pakta yang tidak mengikat untuk mendorong kerja sama dalam migrasi.

Tetapi hanya 164 yang secara resmi menandatanganinya dalam pertemuan bulan Desember, dengan Australia, Israel dan beberapa negara Eropa Timur menolak perjanjian migrasi.