Liputan6.com, Brumadinho - Aparat Brasil, pada 27 Januari 2019, mulai merasakan pupus harapan dalam mencari sekitar 300 korban yang masih hilang akibat bendungan jebol di tambang bijih besi Feijao di Brumadinho, negara bagian Minas, Brasil tenggara pada Jumat siang waktu lokal, 25 Januari 2019 lalu.
Dari ratusan korban, aparat baru memastikan bahwa setidaknya 34 orang tewas dalam kejadian nahas di bendungan milik Vale, perusahaan pertambangan terbesar di Brasil.
Advertisement
Baca Juga
Bendungan jebol itu menyebabkan lautan lumpur yang merambah ke wilayah sekitarnya, berupa wilayah pertanian, dan permukiman yang ditinggali sejumlah pegawai tambang. Rumah-rumah rusak, sejumlah kendaraan terpelanting bahkan terbalik di tengah kubangan lumpur.
Tim penyelamat telah menjelajahi lokasi kejadian di dekat kota Brumadinho sejak Jumat 25 Januari.
Pada Sabtu 26 Januari, layanan darurat menggunakan helikopter dan mesin berat untuk mencari korban.
Sekitar 50 orang diselamatkan dari lumpur dan 23 orang yang selamat telah dibawa ke rumah sakit, tetapi gubernur negara bagian Minas, Gerais Romeu Zema mengatakan kemungkinan menemukan lebih banyak korban selamat sangat kecil.
"Kami sepertinya hanya terus mengais jasad," kata Gubernur Zema yang mulai pupus harapan dalam proses pencarian, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (27/1/2019).
Pencarian dilakukan pada gunungan lumpur yang mengubur kantin bendungan tempat ratusan pekerja makan siang. Tim penyelamat juga memeriksa area lain yang diduga terdapat orang ketika bendungan jebol.
Kerabat korban yang hilang menuntut informasi tentang nasib orang yang mereka cintai.
"Keponakan laki-laki saya yang berumur lima tahun bertanya kepada saya apakah ayahnya meninggal. Apa yang harus saya katakan kepadanya?" tanya Olivia Rios.
Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, yang terbang di atas daerah bencana dengan helikopter pada hari Sabtu, mencuit via Twitter bahwa sulit untuk tidak menjadi "emosional" setelah melihat skala kehancuran.
Dia mengatakan dia telah menerima tawaran dari Israel untuk mengirim peralatan pencarian yang bisa menemukan orang terkubur di lumpur.
Sementara itu, pihak berwenang yang mengoordinasikan upaya penyelamatan mendesak para sukarelawan untuk menjauh karena kondisi yang berbahaya. Sementara aparat meminta media untuk tidak menggunakan pesawat tanpa awak dalam melakukan peliputan, guna menghindari tabrakan dengan helikopter SAR.
Ini bukan kali pertama musibah bendungan jebol terjadi di negara bagian yang kaya tambang itu. Pada 5 November 2015, dam yang lebih besar kolaps, airnya yang tumpah menewaskan 19 orang.
Lebih dari 60 juta meter kubik air -- yang cukup untuk mengisi 20.000 kolam renang standar Olimpiade -- tumpah ke daerah sekitarnya.
Bendungan yang jebol pada 2015 adalah milik Samarco Mineracao SA, perusahaan patungan (joint venture) antara Vale dan BHP Group Ltd. Kala itu lumpur akibat insiden tersebut mengubur sebuah desa dan menumpahkan cairan beracun ke sungai utama di wilayah itu.
Sanksi Perusahaan Pemilik Bendungan
Sementara itu penyelidik terus memeriksa sebab-musabab kejadian. Namun hingga hari ini, tidak jelas apa yang menyebabkan bendungan itu ambrol, kata aparat.
Chief Executive Vale SA, Fabio Schvartsman mengatakan, bendungan yang jebol Jumat kemarin di tambang Feijao sedang dinonaktifkan. Kapasitasnya sekitar seperlima dari total air bercampur lumpur yang tumpah di bendungan milik Samarco.
Ia menambahkan, data instrumen menujukkan, bendungan tersebut dalam kondisi stabil pada 10 Januari 2019. Schvartsman menambahkan, masih terlalu dini untuk menentukan mengapa bendungan itu hancur.
Sementara itu, Gubernur Negara Bagian Minas, Gerais Romeu Zema mengatakan, "Mereka yang terlibat dan bertanggungjawab dalam tragedi ini harus dihukum."
Pada Sabtu 26 Januari, Badan Perlindungan Lingkungan Brasil (Ibama) menjatuhkan denda awal kepada Vale senilai US$ 66,5 juta sehubungan dengan tragedi itu.
Vale juga telah mengucurkan US$ 1,6 miliar dari rekeningnya untuk membantu mendanai pekerjaan pemulihan dan menangani kerusakan.
Advertisement